Kota Bandung membuatmu seburuk itu?" Aku bertanya.
"Oh, tidak," katanya. "Semua orang di sini baik padaku, sebenarnya. aku hanya..."
Dia terdiam, mengarahkan pandangannya ke sungai. Ada rasa sakit yang nyata di matanya, jenis rasa sakit yang biasa kulihat ketika dia berbicara tentang masa kecilnya. Dia selalu menenggelamkan rasa sakit semacam itu dengan alkohol.
"Hanya kesepian. Aku kira," katanya. Dia berbalik ke anak anjingnya. "Ayolah, Bandi. Ayo kembali ke dalam."
"Tunggu," kataku saat dia mulai kembali ke pondok.
Dia menatapku dari balik bahunya.
Aku tidak yakin mengapa aku menyuruhnya menunggu. Sudah seminggu sejak dia datang ke barku, dan sejak itu, dia melayang-layang di kepalaku setiap hari, tidak peduli seberapa keras aku mencoba mengabaikannya.
Setiap kali aku pergi ke toko kelontong, mataku mengamati lorong-lorong, tahu aku bisa bertemu Liam kapan saja. Di tempat kerja, Aku mendapati diri Aku memeriksa pintu setiap kali seseorang masuk, berpikir itu mungkin dia.