App herunterladen
2.33% BROTHERHOOD : Pengorbanan seorang Kakak / Chapter 6: Hujan air mata

Kapitel 6: Hujan air mata

Malam hari saat Sonia baru saja memasuki gang menuju ke arah rumahnya, melihat bendera kuning yang terpasang di sudut tiang lampu jalan. Lalu seketika seorang ibu dengan meneteskan air mata memeluknya.

"Sonia kamu yang sabar ya," ucap Ibu itu yang tidak lain tetangga rumahnya.

"Ada apa ini Bu? Aku tidak mengerti," jawab Sonia dengan wajah bingung lalu melepaskan pelukannya.

"Memang si Andrew enggak kasih kabar?" tanya balik Ibu itu membuat Sonia semakin bingung.

Dia berjalan pelan salangkah demi selangkah menuju rumahnya yang sudah ramai orang di depan rumahnya. Andrew yang baru keluar, masih memakai seragam coklatnya melihat Sonia dengan wajah sedih dan bingung, dengan cepat Andrew berjalan cepat memeluk Sonia.

"Nenek baik-baik saja kan?" tanya Sonia melihat ke arah rumahnya yang penuh orang.

"Sonia kamu harus kuat ya," pinta Andrew sambil memeluk Sonia yang terlihat lemas sekali.

Sonia melepas pelukan Andrew, lalu dia melangkah dengan cepat memasuki rumahnya. Melihat jasad Nenek Iyah yang sudah terbujur kaku ditutup selembar kain.

"Nenek...." lirih Sonia menangis berlari memeluk jasad yang sudah kaku itu. "Jangan tinggalkan Sonia Nek, demi Tuhan Nek! Jangan seperti ini," ucap Sonia sambil mengelus wajah neneknya yang sudah pucat.

Semua yang sedang mengaji merasa sedih dengan tangisan Sonia yang begitu kehilangan Nenek Iyah, lalu seorang Ibu maju ke depan mendekatinya.

"Sonia,,, Ikhlaskan ya sayang ya, biar Nenek Iyah istirahat dengan tenang. Jangan ditangisi seperti itu ya, pemali sayang," ucap Ibu itu sambil mengusap-usah punggung Sonia.

"Nenek bangun Nek! Bangun... Sonia....

Dia jatuh pingsan di jasad Neneknya, lalu Andrew yang melihatnya langsung menggendongnya untuk membawanya ke kamar.

"Biar saya saja yang membawanya," ucap Andrew menggendong di bagian depan lalu membawanya ke kamar.

Mereka melanjutkan mengaji dengan membacakan lantunan ayat Yasin di depan jasad Nenek Iyah. Di kamar Andrew meletakkan tubuh Sonia di ranjang, lalu dia menyelimuti tubuhnya yang kurus itu. Ikut merasakan kesedihan yang Sonia rasakan, karena Nenek Iyah juga merawatnya.

"Maafkan aku Sonia, yang tidak memberitahumu terlebih dulu. Aku tidak ingin kamu panik Sonia," ucap Andrew sambil memperhatikan wajah Sonia yang belum sadarkan diri.

Baru saja ingin pergi dari kamar, lirih suara Sonia menghentikan langkahnya.

"Nenek..." Sonia mulai membuka matanya.

Andrew berbalik lalu mendekatinya. "Sonia,,," ucapnya sedih melihat Sonia meneteskan air mata kesedihannya.

"Kenapa kamu enggak kasih tahu aku sebelumnya?" tanya Sonia sambil meraih tangan Andrew.

"Aku tidak tahu caranya memberitahukanmu, aku takut kamu panik dan sedih. Maafkan aku Sonia," jelas Andrew sambil memegang tangan Sonia yang dingin.

Sonia menangis sesenggukan sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangannya, membuat Andrew merasa bersalah. Lalu dia tak kuasa dan pergi meninggalkan kamar Sonia untuk keluar dari rumahnya. Di luar seseorang tetangga menegurnya, untuk menanyakan soal pemakaman Nenek Iyah.

"Andrew... Besok mau di makamkan dimana? TPU jeruk purut atau dimana?" tanya Pak RT kepada Andrew yang baru keluar dari dalam rumah Sonia.

"Jeruk purut saja Pak," jawab Andrew sambil memakai sendalnya. "Saya pulang dulu ya Pak, mau berganti pakaian," pamit Andrew sambil memegang kerah bajunya.

"Iya sudah, ganti saja pasti gerah," jawab Pak RT sambil tersenyum lalu menepuk bahu Andrew.

"Hem...," dehem Andrew sambil tersenyum tipis lalu melanjutkan perjalanan menuju rumahnya yang ada tidak jauh hanya melewati tiga rumah dari Sonia.

Di ujung gang sebuah mobil terparkir, di dalamnya Mathew sedang melihat ke dalam gang dengan ramai bendera kuning membuat dia sedikit cemas.

"Siapa yang meninggal," gumamnya sambil melihat bendera kuning yang menggantung di tiang lampu jalanan.

Dia ingin keluar dari dalam mobilnya, tapi sekretarisnya melarangnya untuk tidak menunjukkan dirinya.

"Nie wychodź, ktoś nas śledzi (jangan keluar! Ada yang sedang mengikuti kita)" larang James kepada Mathew yang akan membuka pintunya.

Mendengar larangan dari James, dia langsung mengurungkan niatnya dan memintanya untuk menjalankan mobilnya.

"Uruchom teraz samochód (Jalankan mobilnya sekarang)" perintah Mathew sambil menghela nafasnya dan menyandarkan kepalanya di kursi.

Setelah berganti pakaian Andrew bersiap untuk pergi ke rumah Sonia, tapi seketika ponselnya berdering panggilan dari Malik yang sedari tadi menghubunginya.

"Ya ada apa?" tanya Andrew sambil berjalan keluar.

"Kenapa kau tidak balik lagi ke kantor?" tanya Malik kepada Andrew. "Oh ya tadi apa kau dipanggil Pak Agung?" tanya Malik penasaran menunggu jawaban dari Andrew.

"Nanti saja ya aku bicaranya, aku sedang sibuk sekali," jawab Andrew lalu mematikan panggilannya dan menonaktifkan ponselnya.

Malik yang sedang bersama Darwis menunjukkan wajah yang mengecewakan. Mereka masih penasaran dengan Andrew yang tadi dipanggil ke ruangan Pak Agung.

"Dia tidak menjawab?" tanya Darwis kepada Andrew yang duduk di hadapannya.

"Boro-boro, dia bilang sibuk, tapi aku tidak tahu dia sibuk apa," jawab Malik sambil berdiri. "Ya sudah aku pulang dulu, istriku pasti sudah sampai di rumah," pamit Malik melihat Darwis yang sedang duduk di kursinya.

"Ya sudah sana hati-hati," ucap Darwis kepada Malik.

"Kau tidak pulang ke kos?" tanya Malik sambil memakai tasnya.

"Nanti aku harus menulis laporanku dulu," jawab Darwis lalu membuka dokumen yang ada di atas meja kerjanya.

"Ya sudah aku pulang dulu," pamit Malik lalu pergi meninggalkan Darwis.

Sesampainya di rumah mewah dengan arsitektur yang bergaya elegan, Mathew keluar dari mobilnya lalu berjalan masuk diikuti oleh James dari belakang. Tak lupa Mathew memberikan perintah kepadanya tentang peraturan.

"James! Ini Indonesia, kita harus," ucap Mathew sambil melihat James.

"Kita harus berbicara bahasa Indonesia," jawab James yang menguasai 15 bahasa termasuk Indonesia.

"Baguslah kalau begitu, apa tugasku besok?" tanya Mathew sambil duduk di sofa.

"Besok Anda harus bertemu dengan para gengster yang akan menjadi bawahan Anda," jawab James memberitahu Mathew.

"Ya sudah persiapkan saja, aku ingin istirahat," pamit Mathew lalu berdiri dan berjalan pergi.

"Bos..." panggil James sambil melihat punggung Mathew. "Aku hanya ingin mengingatkan untuk tidak berbalik ke masa lalu, jika memang Anda ingin dia tetap aman," lanjut James memperingatkan Mathew.

"Hm... Jangan mengingatkan aku terus, aku tahu apa yang harus kulakukan, Pergilah sana," jawab Mathew sambil melanjutkan perjalanannya menuju kamarnya.

Dalam benaknya sungguh sangat sakit, di negara yang sama tapi tetap dia tidak bisa bertemu dengan orang yang sangat dirindukannya. Namun keputusan yang diambil olehnya, merupakan keputusan yang paling berat yang pernah diambil olehnya.

"Aku telah mengambil sebuah keputusan yang tidak boleh kusesali, ini semua demi kebaikannya," batin Mathew sambil membuka jasnya dan kemejanya lalu dia berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan dirinya.

 


next chapter
Load failed, please RETRY

Geschenke

Geschenk -- Geschenk erhalten

    Wöchentlicher Energiestatus

    Rank -- Power- Rangliste
    Stone -- Power- Stein

    Stapelfreischaltung von Kapiteln

    Inhaltsverzeichnis

    Anzeigeoptionen

    Hintergrund

    Schriftart

    Größe

    Kapitel-Kommentare

    Schreiben Sie eine Rezension Lese-Status: C6
    Fehler beim Posten. Bitte versuchen Sie es erneut
    • Qualität des Schreibens
    • Veröffentlichungsstabilität
    • Geschichtenentwicklung
    • Charakter-Design
    • Welthintergrund

    Die Gesamtpunktzahl 0.0

    Rezension erfolgreich gepostet! Lesen Sie mehr Rezensionen
    Stimmen Sie mit Powerstein ab
    Rank NR.-- Macht-Rangliste
    Stone -- Power-Stein
    Unangemessene Inhalte melden
    error Tipp

    Missbrauch melden

    Kommentare zu Absätzen

    Einloggen