Ara tak pernah tahu bahwa sesungguhnya Astri mengidolakan Legra seperti orang-orang di luar sana. Begitu bahagia pada saat akan bertemu dengan sang idola. Sama seperti Ara dulu ketika belum pernah bertemu bahakan berteman dengan Legra. Tercengang ketika dunia sekitar mendadak menjadi lautan kebahagiaan yang sering orang ceritakan. Begitu tidak pernah terpikirkan.
Astri yang begitu baik pada Ara. Dia tak pernah meninggalkan Ara ketika yang lain tidak menganggapnya ada. Rasanya tidak begitu adil pada saat Astri selalu ada tapi Ara tak berbuat apa-apa untuknya. Setelah tahu jika Astri pun mengidolakan Legra, Ara menjadi lebih semangat untuk pergi mempertemukan mereka. Tidak banyak yang bisa Ara lakukan untuk membalas peduli Astri untuknya, hanya hal-hal kecil seperti inilah yang dia bisa.
"Ini beneran Legra 'kan? Aku nggak mimpi, ini nyata 'kan? Ara?" tanya Astri. Matanya melotot dengan tangan mengepal meremas pakaian bawahnya. Jangan tanyakan dia memakai rok atau celana. Yang pasti, kebanyakan ciri orang seperti Astri akan selalu memakai celana kemanapun dia pergi. Jaga-jaga apabila ada sesuatu hal yang mendesak, dia dapat berlari lenggang dengan celana pensilnya tanpa harus menyingkap roknya.
Ara menepuk pundak Astri agak keras, "Nyata bukan?" Berbeda dengan Astri, Ara lebih memilih menggunakan kulot katun polos. Baju yang sedikit kebesaran. Bila Astri, dia tidak memilih baju kebesaran, celana kulot atau pakaian semacamnya yang membuatnya tak nyaman. Pakaian seperti itu akan lebih banyak menimbulkan keringat di badan katanya, belum lagi jika warnanya gelap.
"Iya, ini gue Legra. Salam kenal," kata Legra dengan menjulurkan tangan untuk bersalaman yang di terima Astri. "Udah, yuk, kita langsung ke sana aja. Mereka pasti udah beberes persiapan buka."
Mereka berjalan beriringan melewati gang kecil menuju studio seni oleh anak-anak luar biasa itu. Ara dan Legra memimpin di depan, sedangkan Astri di belakang bersama An. Sesekali An melirik ke arah Astri di sampingnya membuat Astri tersadar akan itu. Risih juga lama-lama disepertiitukan. Sampai Astri berjalan lebih cepat, tapi An malah menyamai langkahnya.
Sesampainya mereka di tempat itu, Legra langsung menyapa mereka dan disambut dengan baik.
"Hallo, semua. Lagi pada ngapain ini?" tanyanya dengan nada humble.
"Hai, kakak-kakak," jawab mereka serempak.
"Kita lagi persiapan alat buat melukis, kak," Gandhi yang mengatakan itu. Anak ini mudah sekali akrab dengan orang lain. Seperti Legra.
"Karya kalian makin banyak aja."
"Iya dong, kak. Kita 'kan rajin."
"Oh, ya, kakak bawa teman baru, nih. Kenalin kak An sama kak Astri."
"Hai," sambut Astri, sedangkan An hanya tersenyum.
"Kakak mau lihat dulu, ya."
"Boleh, kak."
Setelah beberapa lama mereka berada di dalam. Legra mengajak Ara keluar untuk membeli sesuatu. Tetapi sebelumnya, ia berbicara terlebih dahulu pada An supaya dia tidak mencari-cari. Mereka menghampiri An yang sejak tadi sepertinya terus berada di dekat Astri ketika memasuki studio ini.
"An, gue sama Ara mau keluar. Nggak usah cari-cari entar.
"Siapa juga yang mau cari, lo. Yaudah, sana."
"Terserah," balas Legra cuek. Pasalnya An akan selalu mewanti-wanti Legra ketika dia pergi ke suatu tempat. Bukannya khawatir, An pasti tidak mau repot karena jika nantinya akan tertangkap mata reporter maupun fans gila, begitulah pikirnya.
"Mau kemana? Jangan sampai gue kerepotan nanti." Begitu bukan? Cara bertanya-nya saja dengan sok sibuk melihat-lihat lukisan yang terpajang di dinding.
"Aman pokoknya. Ayo, Ra."
Sementara Legra dan Ara pergi, An masih saja mengikuti Astri di depannya. Jelas saja Astri merasa risih jika terus diikuti seperti itu. Sewaktu An dan Legra bercakap tadi Astri hanya diam memperhatikan. Jika Astri diam, apa lagi Ara, Ara bahkan lebih diam dari pada Astri.
"Kita mau kemana, Gra?" Karena bingung, Ara memilih bertanya langsung pada Legra yang belum memberitahunya akan diajak kemana. Lama Legra menjawab, dia hanya mengambil sesuatu di dalam saku jaket hitamnya dan memakainya yang ternyata adalah masker untuk menutupi wajahnya.
Sambil berjalan dan menarik tangan Ara, Legra menjawab pertanyaanya, "Kita ke pasar kayak waktu lalu. Beli jajanan pasar itu, enak, Ra. Aku jadi ketagihan, tau."
"Jajanan yang mana? Kemarin aku, eh maksudnya kamu 'kan beli banyak banget."
"Ya semua yang aku makan kemarin. Aku masih ingat itu yang dari kelapa apa namanya?" tanya Legra.
"Em, kue Rangin?"
"Itulah, yang itu mungkin." Mereka sama-sama tertawa lucu.
Mereka akhirnya sampai di ujung gang yang mengantarkan mereka ke jalan raya. Tidak terlalu jauh tapi cukup tersembunyi menurut Ara. Legra menyuruh Ara untuk masuk ke dalam mobil sedan hitamnya. Sering kali ketika Legra masuk ke wilayah perusahaan pemroduksi film tempat Ara bekerja menggunakan mobil itu. Ara tau mobil Legra tidak hanya satu itu, mungkin itu favoritnya. Dan pantas saja jika Egan mengetahui itu.
Saat ini adalah kali kedua bagi Ara menunggangi mobil Legra. Ara selalu merasa tidak pantas menunggangi bahkan menyentuh barang-barang yang menurutnya mewah itu. Ara bukan siapa-siapa hingga diperbolehkan duduk di samping kemudi, di samping Legra seperti itu. Tapi dia berusaha nyaman.
"Rileks aja, Ra. Nggak usah sungkan." Ara pun mengangguk menurut.
Kemudian, mobil itu Legra hidupkan dan melesat pergi menuju tempat yang dituju. Rasanya seperti ada kipas angin besar yang mengipasi Ara. Terlalu dingin dan membuat perutnya tertekan. Di dalam sana tidak ada lubang apapun untuk memasukkan angin dari luar, kaca pintu di sampingnya pun tertutup rapat. Hanya saja AC yang sengaja Legra nyalakan untuk menghilangkan panas di badannya. Ara rasa itu sumbernya, sumber yang membuat Ara mual sepanjang jalan tadi.
"Gra, berhenti dulu, Gra. Aku mual banget pengen muntah."
"Apa, Ra?" Sedari tadi fokusnya pada jalanan hingga ia tidak mendengar terlalu jelas akan permintaan Ara.
"Aku mual."
"Sial, gue lupa lagi."
Segera Legra matikan AC dan menepikan mobilnya ke tepian jalan. Karena itu Ara langsung keluar dan memuntahkan isi perutnya. Beruntung di sana ada got sehingga ia tak mengotori jalan. Bisa bisanya dia memikirkan jalan kotor bahkan dia masih dengan segala pertahanan untuk menghilangkan rasa mual. Legra yang melihat itu pun juga keluar dengan tak lupa memakai kembali masker untuk menutupi wajahnya. Jalanan ini cukup sepi untuk mengenali Legra bersama mobilnya yang bisa dikatakan banyak yang paham.
Legra menghampiri Ara yang masih berjongkok. Dengan sabar ia memijit tengkuk Ara sambil berucap, "Maaf, ya, Ra. Aku tadi lupa buat nggak hidupin AC." Tangannya masih setia memijit Ara.
Setelah merasa lebih baik, Ara membersihkan mulutnya dengan tisu yang Legra bawa tadi. Dengan Legra yang terus memijat tengkuknya, membuat ia merasa tidak pantas jika Legra berlaku seperti itu padanya. Menjadi temannya saja Ara sudah bersyukur dan sekarang Legra yang perhatian padanya sampai seperti ini. Ara tak mau percaya diri bahwa Legra memang perhatian padanya. Bisa saja itu hanya karena simpati belaka karena ia sedang sakit. Tapi, hatinya menolak logika itu. Ara seperti berharap bahwa perhatian Legra memang benar-benar ada dan bukan hanya simpati belaka.
"Nggak apa-apa, Gra, bukan salah kamu. Aku aja yang terlalu katrok, sama AC aja mual," jawabnya terkekeh.
Legra hanya diam mengamati, hingga Ara kembali bersuara, "Terima kasih, ya."
"Kenapa aku terlalu berharap besar. Perasaan macam apa ini? Kamu tidak pantas merasakan itu Ara! Sudah untung dia mau jadi temanmu disaat yang lain tak mau berteman denganmu," batinnya bersuara menyadarkannya.
Ara berharap agar perasaan seperti itu tidak akan muncul lagi di kemudian waktu. Ia tidak boleh berlaku seperti itu. Bahkan tidak boleh ada kata cinta untuk Ara pada Legra. Rasanya itu sangat tidak pantas. Mereka sangat jauh berbeda jika dibandingkan. Mungkin seperti air laut yang luas dan jernih yang dibandingkan dengan air sawah yang penuh lendut (lendir) sawah, dangkal, dan kecil. Jangankan cinta, suka saja itu pantang untuk Ara ke Legra. Mana mungkin juga Legra mau menerima seseorang seperti Ara. Tapi hati siapa yang tau jika dia mau.
Harapku,
Tak akan pernah ada rasa antara aku dan kamu
Tersadar jika kita terhalang tugu
Kamu di puncak sementara aku di bawahmu
Namun aku selalu ragu
Dapatkah aku mengendalikan rasaku