3rd POV.
...
Bau tanah basah masih segar di ingatan, padahal hujan sudah berhenti sejak sejam yang lalu. Cuacanya pun masih sama, terasa dingin meski tak sampai menusuk kulit.
"Aku akan ke Jakarta. Temanku menyarankannya, ada dokter syaraf yang bisa menangani soal cedera itu."
"Aku akan mengabarimu begitu kami sampai disana." Panggilan itu tertutup setelahnya, pemuda tinggi itu lalu melangkah keluar rumah. Menghela nafas sebentar sebelum menghampiri seorang pemuda yang masih duduk diam di tempatnya.
Ia menepuk lembut bahu pemuda yang tiga tahun lebih muda darinya. Membuat si empunya menoleh, lalu tersenyum tipis.
"Kita akan ke Jakarta." Ucapnya, membuat si pemuda yang satunya mengernyit bingung. Pemuda tinggi itu mengangguk, lalu duduk jongkok di depannya.
"Ada dokter yang lebih ahli untuk menanganimu, dan itu di Jakarta. Kamu mau kan, Jian?" Dan Jungkook Jiandra tak akan pernah menolak barang sedikit pun yang kakak sepupunya—Namjoon Mahardika, inginkan. Terlebih itu adalah untuk kebaikkannya.
—
—
—
Truk pengangkut itu menurunkan semua barang-barang, tepat setelah truk berhenti di salah satu ruko. Dika segera turun dari mobil, mengeluarkan kursi roda dari bagasi dan membantu Jian turun dari sana.
"Jian, lebih baik kamu tunggu di dalam. Biar semuanya, abang yang beresin." Ucap Dika mendorong hati-hati kursi roda tersebut, berhenti sebentar untuk membuka gembok ruko lalu setelahnya kembali membawa Jian masuk kedalam.
"Maaf ya bang, gak bisa bantuin." Lirih Jian merasa tak enak hati. Dika tersenyum lalu mengangguk.
"Abang urus sisanya. Kamu istirahat aja." Ucap Dika sebelum bergegas keluar. Jian dari tempatnya duduk memandang ke luar lewat lewat kaca. Pandangannya sendu, kedua tangannya meremat kuat lutut, tidak terasa sama sekali.
"Terimakasih." Dika membungkuk mengucap terimakasih. Lalu kembali membereskan sisa barang yang masih ada di luar.
Hingga sebuah tangan merebut kardus yang ia pegang, Dika terkejut lantas tersenyum saat tahu siapa si pelaku.
"Aji?" Taehyung Aji tersenyum kotak, lalu menoleh ke arah di mana Jian terlihat lewat kaca. Melambai penuh ceria yang di balas lambaian dan senyum tipis dari Jian.
"Tahu bang Dika udah sampai, aku buru-buru keluar kelas begitu selesai." Jelas Aji lalu membawa kardus itu masuk. Dika mengangguk lalu mengambil kardus lain untuk ia bawa.
Aji meletakkan kardus itu di atas meja sebelum menghampiri Jian. "Jian, gimana kabarmu??"
"Baik bang, gimana kuliah?" Aji menggaruk kepalanya yang tiba-tiba gatal.
"Jujur aja sih, awalnya sedikit bosen. Tapi, sekarang lebih semangat."
"Tumben," Dika menyahut dari belakang, lalu menghampiri keduanya. "Memangnya, apa yang bisa membuat seorang Taehyung Aji Natanegara, bisa gak bosen kuliah?"
Aji berdecak, "Ada bang. Dosen cantik di fakultas." Tutur Aji malu. Jian dan Dika terkekeh.
"Kemajuan."
...
Dika duduk gelisah, sesekali melihat jam di pergelangan tangan. Ia janji bertemu dengan seorang teman di Worldwide cafe siang ini. Namun sudah setengah jam di sini, temannya itu belum menampakan diri.
"Astaga Siti!!!! Kemaren mecahin piring, sekarang keran air patah!!!" Dika berjengit kaget mendengar suara cempreng dari balik dapur yang nyaring terdengar di telinga. Lalu, di lihatnya seorang pria keluar dari dalamnya dengan wajah cemberut.
Pandangan Dika masih mengikuti sampai si pria itu berjalan ke arah counter kasir. Mengambil gagang telepon, dan menekan nomor dengan kesal.
"Halo, tukang reparasi? Saya butuh anda datang ke Worldwide caffe di jl. Xxx no.69, sekarang!"
"Dika?!" Dika tersentak begitu sang teman yang di tunggunya sudah berdiri di depannya.
"Ah, Edo. Hai, gimana kabarmu?" Tanya Dika sambil menjabat tangan Jackson Edo dan menyuruhnya duduk.
Edo mengangguk, "Kabar baik. Kamu gak dateng bareng Jian?" Tanya Edo sambil mendudukkan diri.
"Jian aku suruh istirahat. Takut kelelahan setelah acara pindah rumah." Jelas Dika. Dan Dika pun langsung banyak bercerita tentang masalah yang di alami Jian dan soal kakinya yang mendadak lumpuh pasca kecelakaan setahun yang lalu.
"Kamu bisa bertemu dengannya, dia lulusan termuda di angkatan kami. Anak kesayangan Prof. Bang." Jelas Edo lalu menyodorkan kartu namanya. Dika mengambilnya, membacanya sekilas sebelum memasukkan kartu nama itu kedalam saku mantelnya.
...
Jimin mengendap-endap bak maling kutang di depan ruko milik Dika. Ia menelisik ke dalam lewat jendela kaca, mencari-cari sosok Dika. Namun nihil, Jimin tak mendapati seorang pun ada di dalam ruko yang masih terlihat begitu berantakan.
"Tidak ada..." Gumam Jimin, berniat ingin pergi tapi sosok yang keluar dari balik rak buku mengurungkan niat Jimin.
Kepalanya miring, wajahnya memasang raut tengah berpikir. "Siapa ya?" Gumam Jimin bertanya-tanya.
Jian pun sama, ia menyadari seseorang tengah melihat-lihat di balik kaca. "Jangan-jangan... maling." Jian mendorong kursi rodanya, bergerak menuju pintu untuk membukanya.
Klek!
Jimin berdiri mematung di tempatnya, ia terkejut karena tiba-tiba pintu itu terbuka. "Siapa kamu??!"
"Duh mas, galak banget." Ucap Jimin sembari tersenyum lembut.
Jian mendengus, tatapannya tajam dan terkesan dingin. "Kamu mau maling, ya??"
Jimin total terkejut, wajah tampan rupawan bak malaikat begini kok di katain maling?? "Eeeh, sembarangan mas ini."
"Ya terus maksud kamu apa, ngendap-endap kayak maling barusan." Sembur Jian yang membuat Jimin beringsut mundur.
"Beringas amat mas. Rawrrr." Ledek Jimin menggoda, lalu terkikik setelahnya.
"Apa??"
"Jimin!!" Jimin menoleh dan mendapati Anto sudah berkacak pinggang di belakangnya. Tapi, yang membuat Jimin terkejut bukan lah panggilan Anto. Melainkan sosok yang kini berdiri tidak jauh dari Anto.
"Anto..." Anto membeku, kenal sekali dengan suara yang memanggilnya. Lalu menoleh patah-patah ke arah belakang. Di mana sudah ada Dika yang berdiri dengan pandangan terpaku padanya.
"Hoseok Septianto kan???"
Dan entah sadar atau tidak, Anto mengangguk patah. Bisa Anto lihat Dika tersenyum lega, bahwa ternyata perkiraannya benar.
"Seneng ketemu kamu lagi. Apa kabar??"
— Bald kommt ein neues Kapitel — Schreiben Sie eine Rezension