"Uncle mengatakan dari gang ini aku harus lurus sampai mentok, lalu belok kanan. Sepuluh meter dari belokan itu rumah kami," gumam Berlian.
Ia berdecak seraya menghentakkan kakinya dengan kesal, karena orang yang biasa menjemputnya tak kunjung datang. Saat ini dirinya berada di depan gang kecil menuju rumahnya. Sudah hampir tiga puluh menit dia berdiri di sana, namun tidak ada juga yang datang.
Gadis itu menggigit kukunya, tampak ragu untuk masuk ke dalam gang. Namun, jika dia tetap menunggu langit akan segera gelap. Itu akan semakin menyulitkannya untuk mencari jalan.
"Semoga saja aku tidak salah jalan," gumamnya.
Kakinya sudah terangkat hendak masuk ke dalam gang, namun dari ujung gang terlihat segerombolan pria berjas hitam lengkap dengan kacamata yang berwarna senada juga ear piece yang terpasang di telinga masing-masing para pria itu.
Hal itu membuat Berlian memundurkan langkahnya hingga ke posisinya berdiri di samping tiang gang.
"Siapa mereka?" gumamnya bertanya-tanya.
Suara derap langkah kaki yang saling bersahutan membuat Berlian menundukkan kepalanya dengan perasaan gugup bercampur takut. Entah mengapa, aura yang dikeluarkan oleh para pria itu cukup menyeramkan.
Ckitttt!
Bertambah terkejut dirinya ketika sebuah limusin berhenti tepat di depan gang, lantas salah satu dari para pria itu membukakan pintu mobil.
"Silahkan masuk, Tuan!"
"Bawa wanita bergaun merah tadi untukku!"
Suara serak-serak basah yang terdengar begitu seksi mengusik rasa penasaran Berlian untuk mengetahui siapa pemilik suara itu. Perlahan dia mengangkat pandangan dari kedua kakinya, hingga netra matanya bersobok dengan sepasang netra hitam yang begitu tajam.
Buru-buru Berlian memalingkan pandangannya ke arah lain sembari meringis. Niat hati ingin mencuri pandang malah berakhir dengan tertangkap basah.
Sungguh memalukan!
Berlian bernafas lega ketika segerombolan pria itu pergi dengan dua mobil yang berbeda.
"Tatapan matanya menyeramkan sekali," gumamnya.
Berlian membalikkan badan, hendak masuk ke dalam gang. Lengkungan di bibirnya tercetak ketika mendapati seseorang berlari menghampirinya.
Grep!
Tubuh Berlian terhuyung ke belakang ketika seseorang menerjang tubuhnya, namun tak pelak dia membalas dekapan itu sembari tersenyum penuh kelegaan.
"Uncle membuatku menunggu terlalu lama," rengek Berlian.
Vero- seorang pria yang menjadi paman angkat Berlian itu mengendurkan dekapannya seraya tersenyum teduh.
"I'm so sorry, Little Bunny. Ada beberapa urusan tadi, sampai aku telat menjemputmu di sini," ucapnya penuh sesal.
Berlian mengangguk dengan tersenyum manis.
"Apa kau baik-baik saja? Tidak ada yang mengganggumu selama menungguku di sini, kan?" cecar Vero.
Berlian lagi-lagi hanya menanggapi pamannya dengan gerakan kepala yang kini menggeleng pelan.
"Baiklah, sekarang kita pulang!" ajaknya.
Dia merangkul bahu keponakannya untuk masuk ke dalam gang yang sepi dengan cahaya lampu temaram.
"Uncle, tadi aku melihat ada segerombolan pria yang keluar dari gang ini. Siapa mereka?" tanya Berlian.
Raut wajah Vero tampak begitu tegang, namun sesaat kemudian dia kembali menormalkan raut wajahnya. Dia menoleh ke arah Berlian sembari tersenyum manis.
"Hanya pelanggan yang memesan bunga untuk dibawa pergi," tandasnya.
Berlian cukup mengerti jawaban Vero, maka dari itu dia tak mengajukan lagi pertanyaan yang mana akan menimbulkan perdebatan diantar mereka.
Setelah mereka berhasil melewati tembok tinggi yang membentang sepanjang jalan yang hanya mampu dilewati sepeda motor itu, kini mereka telah sampai di sebuah pemukiman.
Seperti pemukiman pada umumnya, banyak rumah-rumah yang berdiri kokoh di sana. Akan tetapi ada yang berbeda dengan pemukiman pada umumnya, suara musik dugem yang memekakkan telinga saling bersahutan dari satu rumah dengan rumah yang lain. Lampu kerlap-kerlip tampak indah di bawah cahaya lampu yang temaram juga langit yang perlahan menggelap.
Berlian semakin merapatkan tubuhnya pada Vero ketika dua pria keluar dari salah satu rumah dengan berjalan sempoyongan.
"Ternyata sudah banyak lebah yang mencari bunga, padahal ini masih terlalu sore untuk mereka beredar," gumam Berlian.
Vero terkekeh mendengar perkataan Berlian yang dia pahami apa maksudnya.
"Lebah tidak akan berhenti mencari nektar yang ma---"
"Vero, kapan kau akan melepas bunga kesayanganmu?"
"Iya, Vero. Aku akan membelinya dengan harga fantastis."
Vero menggeram kesal ketika pembicaraannya dengan Berlian harus terpotong oleh kalimat dua pria yang sedang di bawah pengaruh alkohol. Hal itu sungguh membuatnya meradang, namun dia tidak mungkin mengeluarkan kedua taringnya di depan Berlian.
Alhasil, dia hanya mendorong wajah kedua pria itu dengan telapak tangannya yang besar hingga mereka terjungkal.
"... manis yang dihasilkan oleh bunga. Jadi, mereka tidak akan berhenti sebelum mereka terkena diabetes," kelakarnya melanjutkan perkataan yang sebelumnya.
Berlian tersenyum getir seraya merasakan sesak di dada saat membayangkan bila nanti dirinya akan menjadi bagian dari mereka, para wanita yang berdiri di sepanjang gang hingga berdiri di depan rumah menanti pelanggan yang akan memilih mereka untuk sekedar menemani atau bahkan sampai menghangatkan ranjang dengan tarif yang sudah ditentukan oleh pamannya, Vero.
Terlalu asik dengan lamunanya, tak terasa bila mereka telah sampai di depan sebuah bangunan yang terlihat lebih megah dari bangunan lainnya. Bangunan yang menjadi tempat tinggal juga tempat teraman untuk Berlian.
"Hei, kau melamun, Little Bunny!"
Berlian mengerjapkan mata seraya menatap Vero dengan tatapan linglung. "Ah, tidak. Aku tidak melamun."
"Vero, tolong aku!"
Mendengar suara orang meminta tolong sontak membuat Berlian menoleh ke belakang, namun tidak dengan Vero. Matanya terbelalak ketika mendapati Flo- kekasih Vero, tengah diseret paksa oleh salah satu pria yang sempat ditemuinya di depan gang.
Seketika ingatannya dibawa kembali pada kejadian beberapa menit yang lalu, di mana seorang pria mengatakan ingin wanita bergaun merah. Dan yang lebih mencengangkan lagi, wanita bergaun merah itu adalah Flo.
"Berlian, tolong kakak!"
Berlian lantas menoleh ke arah Vero yang bergeming tanpa berani menatap kekasihnya.
"Uncle, kak Flo ...." Berlian menggantung perkataannya, tak mampu melontarkan apa yang ada dalam pikirannya.
"Cepat bawa dia pergi!" titah Vero dengan suara berat.
"Berlian, tolong bujuk Vero!" pinta Flo. Dia terus meronta ketika pria berkacama hitam itu menyeret paksa dirinya.
Berlian semakin kalang kabut dibuatnya, terjebak diantara Flo yang terus meminta tolong dan Vero yang hanya diam mematung membiarkan kekasihnya dibawa pergi pria lain.
Sungguh situasi yang sangat tidak diharapkan olehnya!
"Ayo masuk!"
Vero menarik tangan Berlian untuk masuk, namun ditepis olehnya dengan kasar. Tak menyerah pria itu kembali menangkap pergelangan tangan Berlian, kemudian menyeretnya untuk segera masuk ke dalam rumah yang dijaga oleh beberapa pria berbadan tegap.
"Little Bunny, ayo!" bujuk Vero masih dengan sabar membujuk Berlian.
Berlian menyentak tangan Vero ketika mereka sudah berhasil masuk ke dalam rumah dan pintu sudah kembali tertutup.
"Uncle, jangan katakan jika kau ...."
Berlian menunjuk wajah Vero, namun lidahnya terasa kelu untuk melanjutkan kalimat yang ada dalam pikirannya hingga tertelan kembali.
"Ya, Flo diminta untuk melayani raja lebah. Aku tidak bisa menolak, karena satu hal yang tidak bisa aku jelaskan padamu," ungkap Vero.
Plaaaakkkk!
Berlian menatap tangannya yang bergetar dengan cairan bening mengembang di pelupuk matanya. Untuk pertama kali sepanjang hidupnya, dia menampar pria yang sudah melindungi serta merawatnya dengan penuh kasih sayang tanpa pamrih. Akan tetapi, kekecewaan dirinya pada Vero sudah tidak terbendung lagi.
"Dia kekasihmu, Uncle!" bentak Berlian.
Vero mengusap pipinya yang meninggalkan jejak kemerahan juga rasa perih dan kebas. "Dia memang kekasihku, tetapi dia juga sumber penghasilanku."
"Dasar brengsek!" umpat Berlian.
Sejurus kemudian dia membalikkan badan, lantas berlari menaiki tangga menuju ke kamarnya.
"Lian, tunggu!" Vero menyusul Berlian yang berlari, hingga akhirnya dia berhasil menangkap pergelangan tangannya.
Berlian menghela nafas dalam, mengatur nafasnya yang memburu akibat emosi. Lantas dia menoleh ke arah Vero dengan tatapan sendu.
"Apa kau akan melakukan hal yang sama padaku, Uncle? Menjualku? Menjajakkan tubuhku seperti wanita di luar sana?"