Pagi yang sangat cerah, sinar matahari nampak malu-malu ke luar dari persembunyiannya. Udara pagi yang segar ikut menambah betapa indahnya cuaca di pagi hari itu.
Tok ... tok ... tok ...
"Tuan. Sudah bangun atau belum? Tuan Leo." Tidak ada jawaban dari dalam, hanya hening dan sunyi yang menjawab. "Sepertinya Tuan belum bangun, lebih baik aku kembali lagi nanti," gumamnya sendiri.
"Selamat pagi, Pak Bowo," tiba-tiba terdengar suara dari belakang tubuhnya yang membuatnya kaget.
"Kamu mengagetkan saja, bagaimana kalau Bapak kena serangan jantung?" kata Pak Bowo sedikit kesal sambil mengelus-elus dadanya.
"Begitu saja kaget. Bapak malah sering ngagetin aku," jawab Ratih. "Bapak lagi ngapain di sini?" tanya Ratih kemudian.
"Bangunin Tuan Leo, tetapi sepertinya Tuan belum bangun."
"Tuan pasti bangunnya siang, pulangnya larut sekali. Semalam aku melihat Tuan baru ke luar dari mobil, sepertinya Tuan habis mabuk. Jalannya sempoyongan, wanita nakal mana lagi yang Tuan tiduri semalam, bau minyak wangi wanita tercium menyengat begitu lewat di depan aku." Panjang lebar Ratih menerangkan.
"Hush, jangan sembarangan kalau ngomong," kata Bowo menaruh jari telunjuk di bibirnya sendiri.
"Siapa yang sembarangan? fakta nyata, aktual tajam terpercaya. Bukan sekali ini saja, Tuan pulang dengan kondisi seperti itu. Aku sering melihatnya. Aku malah kasihan. Menurutku Tuan lebih baik menikah saja. Umurnya sudah cukup dewasa, 30 tahun sudah matang sekali. Wanita mana coba yang tidak mau, Ratih juga mau." Ratih mengoceh seperti air yang mengalir.
"Ingat posisimu, jangan berani ikut campur urusan pribadi Tuan kita?" Bowo memotong perkataan Ratih.
"Bukan ikut campur, Ratih hanya kasihan saja melihatnya selalu seperti itu. Walau pun Ratih tidak pernah mengobrol dengan Tuan, tetapi Ratih tahu kalau Tuan itu kesepian."
"Kamu bicara melantur kemana-mana. Sudah, nanti Tuan dengar," Bowo menyudahi obrolannya dengan Ratih. Di dalam hatinya, Bowo juga membenarkan kalau Tuan Leo memang kesepian.
Bowo berlalu dari hadapan Ratih untuk melanjutkan tugasnya, begitu pun dengan Ratih melanjutkan kembali pekerjaannya.
.....
Suasana kelas yang ramai sudah menjadi pemandangan yang biasa di jam-jam istirahat.
"Kamu melihat Bagas?" tanya Kiara ke salah satu teman sekelas Bagas.
"Tadi aku lihat ada di kantin bareng anak-anak lainnya," jawabnya.
"Ok, thanks Anto." Kiara pun pergi dari sana dengan tersenyum manis.
"Sama-sama cantik," jawab Anto. "Memang benar-benar cantik ceweknya si Bagas," gumam Anto melihat kepergian Kiara yang menghilang dibelokkan ujung kelas.
"Kenapa bengong begitu?" tanya seseorang yang menepuk bahu Anton. "Lihat setan?" tanyanya lagi.
"Bukan setan, justru bidadari yang turun dari khayangan."
"Lebay, memang siapa sang bidadari itu?" tanyanya lagi.
"Kiara, ceweknya si Bagas. Barusan ke sini cari si Bagas."
"Si Kiara memang cantik, beruntung si Bagas jadi pacarnya. Aku mau ke Perpustakaan, mau ikut nggak?" ajaknya.
"Ayo, aku juga mau cari beberapa buku buat bahan ujian." Mereka lalu pergi ke arah Perpustakaan yang letaknya agak jauh dari ruangan yang lain.
Suasana kantin di jam-jam istirahat memang selalu ramai. Tidak ada satu pun kursi yang kosong.
"Di mana Bagas?" gumam Kiara yang celingukan mencari sosok keberadaan kekasihnya.
"Cari siapa," tanya seseorang dari belakang, menepuk bahu pelan.
"Cari Bagas. Apa kamu lihat Bagas, Rara?" tanya Kiara.
"Tadi sih si Bagas di sini, sekarang tidak tahu ke mana," jawab Rara.
"Begitu ya, aku cari ke tempat lain deh. Thanks ya, Rara."
"Iya, nanti kalau ketemu si Bagas, aku kasih tahu kalau kamu mencarinya," jawab Rara.
"Ok." Kiara pun pergi dari kantin, melanjutkan kembali mencari sang pujaan hati.
"Kiara," panggil seseorang dengan suara khas cemprengnya.
Tanpa melihat pun Kiara sudah tahu itu suara siapa.
"Aku cari-cari kamu dari tadi, ke mana saja sih kamu?" tanya Silvi.
"Keliling dunia," jawab Kiara asal dengan muka yang kesal.
"Si Bagas sekarang ada di kelas, nungguin kamu. Makanya aku muter-muter cari-cari kamu."
"Pantas saja aku dari tadi cari dia tidak ketemu, ternyata dia ada di kelas." Kiara memasang muka kesal dengan bibir yang cemberut.
"Ayo, kita ke kelas. Mungkin si Bagas mau ngomongin acara buat nanti malam," ajak Silvi menarik tangan Kiara.
"Bagas, Kiara tadi juga lagi cari-cari kamu. Aku ketemu dia lagi celingukan seperti induk ayam yang lagi cari anaknya." ucap Silvi yang berjalan di depan, di ikuti Kiara dibelakangnya.
"Benarkah?" tanya Bagas melihat ke arah Kiara.
Kiara langsung duduk di sebelah Bagas dengan memasang wajah cemberut.
"Aku dari tadi di sini nungguin kamu," kata Bagas melihat wajah kekasihnya.
"Dari tadi aku muter-muter cari kamu," jawab Kiara cemberut.
Bagas tersenyum melihat kekasihnya yang sedang cemberut. "Iya, maaf. Aku tidak langsung mencari kamu begitu bel istirahat berbunyi. Tadi aku lapar, makan dulu ke kantin."
"Makan sendirian nih, tidak ngajakin kita," celetuk Silvi yang duduk di belakang mereka.
"Kalian belum makan? ayo, kita ke kantin," ajak Bagas yang siap-siap mau berdiri.
"Tidak usah, seleraku sudah hilang," kata Kiara dengan wajah yang masih memasang muka cemberut.
"Jangan ngambek begitu, nanti cantiknya hilang," kata Bagas tersenyum.
"Sepulang Sekolah, kita pulang bareng ya. Langsung ke Butik langganan Mama, cari baju buat nanti malam."
"Aku boleh ikut ngga?" tanya Silvi dari belakang.
"Aku bawa motor, tidak mungkin kita naik bertiga," jawab Bagas.
"Mama kamu tahu kita akan ke sana?" tanya Kiara.
"Tahu, Mama sudah bilang ke Tante Susi kita akan ke sana. Nanti dia yang akan memilihkan baju untuk kamu pakai nanti malam. Tenang saja Mama sudah mengatur semuanya," kata Bagas tersenyum manis.
"Baiklah, sepulang sekolah kita ke sana," kata Kiara tersenyum.
"Jadi ceritanya sekarang sudah tidak marah lagi, tidak cemberut lagi," goda Bagas.
"Masih marah, kamu tadi makan sendirian di kantin. Sekarang aku lapar," kata Kiara, memasang wajah cemberut lagi.
"Betul, aku juga lapar," Silvi menimpali dari belakang.
Bagas tertawa melihat Kiara cemberut lagi, memang menggemaskan sekali kekasihnya itu. "Ayo, kita ke kantin. Sebelum jam istirahat habis," ajak Bagas berdiri memegang tangan Kiara. Mereka bertiga ke luar dari kelas menuju ke kantin.
.....
Di tempat lain, di ruangan Kantor. Terlihat Pak Presdir sedang berkutat dengan dokumen yang ada di depannya. Sesekali menyeruput kopi yang sudah hampir habis.
"Monika, buatkan kopi," perintahnya dengan memakai telepon yang ada di atas mejanya.
Tidak lama kemudian Monika masuk membawa nampan berisi secangkir kopi dan kue-kue kecil sebagai pelengkapnya.
"Kopinya Pak." Monika menaruh kopi dan kue di atas meja.
"Monika, apa semua persiapan untuk nanti malam sudah selesai?" tanya Leo tanpa melihat ke arah Monika.
"Menurut Pak Bayu, semuanya sudah selesai. Tinggal acaranya saja nanti di mulai, mudah-mudahan sampai selesai acara tidak ada masalah," jawab Monika.
"Bagus, aku tidak mau mendengar keluhan apa pun di dalam acara nanti. Jam 3 sore nanti, pulangkan semua karyawan biar mereka bisa bersiap-siap menyambut acara perusahaannya. Aku ingin mereka ikut bangga dengan perusahaanku."
"Baik Pak," jawab Monika yang tidak lepas menatap wajah Leo dengan begitu dalam.
"Apa kamu sudah membeli gaun?" tanya Leo yang membuat hati Monika seakan mau ke luar. Terkejut tidak menyangka, Leo akan menanyakan hal seperti itu.
"Sudah Pak," jawab Monika berusaha menenangkan keterkejutannya.
"Bagus. Sekarang ke luar, aku harus cepat menyelesaikan semua ini."
"Permisi." Monika melenggang ke luar dengan hati yang berbunga-bunga, ternyata Pak Leo memperhatikannya.
Jangan lupa tinggalkan komentar atau vote di setiap chapter