Menjelang pergantian semester, aku pergi ke rumah pamanku. Saat itu aku sedang diminta menjaga rumah paman, karena keluarganya akan pergi hingga sore dan pembantunya tinggal di rumah, karena kondisi perutnya yang kurang baik. Menjelang keberangkatan keluarga paman, aku sudah datang di sana.
Saat ini aku kuliah sudah di Tingkat 2 tepatnya semester 4, dan karena kuliah ku tinggal dua tahun lagi makanya aku memilih untuk segera mencari pekerjaan tetap. Dan tentunya aku juga mencari saudara-saudaraku yang ada di kota Tokyo ini. Siapa tahu mereka bisa merekomendasikan tepat pekerjaan yang bagus. Bukannya aku tidak mau melanjutkan pekerjaan ayah, tapi, ayah sendiri yang memaksaku harus bekerja mandiri.
"Hah....
Setelah aku bertemu paman yang tinggal di kota Tokyo, kebetulan karena aku juga sedang ada waktu luang makanya ia meminta tolong pada ku menjaga rumahnya. Paman adalah adik ayah ku.
"Hideki-san.. Kira-san akan tinggal di rumah, perutnya agak kurang beres. Jadi tolong temenin dia jaga rumahnya", bibi memberi tahuku.
"Oh, iya", jawabku.
Tidak lama kemudian mereka berangkat. Aku bergegas memasukkan sepeda motor ke dalam rumah. Saat aku mengurus SIM, ayah membantu ku membeli sepeda motor agar memudahkan ku berpergian. Tentu saja karena ayah ingin aku mandiri aku tetap harus menyicilnya darinya.
Kira-san lalu mengunci pagar. Aku masuk rumah lalu cepat – cepat duduk di depan komputer, browsing, karena paman memasang internet untuk mendukung pekerjaannya.
Pembantu paman bernama Taniguchi Kira, usianya lebih tua dariku 2 tahun. Usia ku saat ini adalah 20 tahun.
Menjelajah internet dan sekalian menonton anime. Dan tentunya aku juga membawa film dewasa yang akan kuputar nanti. 10 menit kemudian Kira-san menyajikan segelas es teh untukku.
"Makasih ya Kira-san", kataku.
"Iya Tuan. Silakan diminum", katanya.
Pembantu paman memang dibiasakan untuk memanggil "Tuan" pada saudara - saudara majikannya, padahal terdengar sedikit asing di telinga.
Kira-san lalu kembali ke dapur, aku lalu meminum es tehnya.
"Hah.. segarnya", cuaca sedikit panas walau agak mendung.
Kira-san kembali memasuki ruang keluarga, merapikan mainan - mainan anak pamanku. Posisi meja komputer dan mainan yang bertebaran di lantai selisih dua tatami. Semula aku belum memahami akan hal itu. Mataku masih menatap layar komputer. Namun saat Kira-san mulai memasukkan kembali mainan - mainan ke keranjang, baru aku menyadarinya. Sesekali aku meliriknya.
"Sedikit putih ternyata Oneesan ini. Bodynya biasa aja sih, langsing dan kayaknya masih padat. Wah.. ini gara - gara nonton film dewasa jadi aku mikir macem – macem", pikirku.
Karena jarak kami yang lumayan dekat, maka saat Kira-san berlutut di lantai merapikan mainan di keranjang, otomatis kaosnya yang sedikit longgar memperlihatkan bentuk keindahan yang terbungkus penutup warna biru. Kira-san jelas tidak tahu kenakalan mataku yang sedang menatap sebagian keindahan tubuhnya.
"Andaikan aku….. uhh.. ngayal nih". Tak terasa penisku mulai membesar, Aku langsung ke kamar mandi membetulin posisi penis sambil kencing".
Komputer kutinggal dengan layar bergambar Maria Ozawa sedang disetubuhi di kamar mandi. Aku lalu masuk ke kamar mandi, membuka jins dan celana dalam lalu mengeluarkan penis. Agak susah juga kencing dengan penis yang sedikit tegang.
"Ya.. pintu lupa di tutup", aku terkejut.
"Terlanjur. Tidak ada orang lain kok", aku menenangkan diri.
Aku keluar dari kamar mandi dan kembali duduk di depan komputer, melanjutkan nonton film dewasa yang aku beli.
"Cari cemilan di meja makan ah.. jadi lapar".
Aku mencari apa yang bisa dimakan untuk menemani ku menonton.
"Ada roti sama biskuit nih.. asyik".
Roti kusemir mentega dan selai kacang dan diatasnya kulapis dengan selai blueberry, "Hmm..enaknya. Nanti bikin lagi ah..masih banyak rotinya".
Rumah pamanku agak kecil, jadi jarak antar ruangan agak dekat. Letak meja makan dengan kamar pembantu hanya 3 meteran. Kulihat di ujung, Kira-san sedang di kamarnya entah beraktifitas apa. Selesai menyelesaikan semiran roti, aku kembali ke ruang keluarga yang melewati kamar pembantu dan kamar mandi mereka. Selama 2 detik aku dan Kira-san bertatapan mata, tidak ada sesuatu, biasa saja. Kumakan roti sambil nonton lagi.
Terdengar gemercik air di belakang. Mungkin Kira-san sedang mencuci perabotan dapur atau sedang mandi.
"Belum ambil air putih nih..", tidak ada maksud apa - apa.
Hanya kebetulan aku belum minum air putih, walau telah ada es teh. Aku ke ruang makan lagi dan mengambil gelas lalu menuju dispenser. Mata dan pikiranku hanya tertuju pada air yang keluar dari dispenser. Baru setelah melewati kamar mandi pembantu ada yang special di sana.
"Lah.. pintunya kok sedikit dibuka. Kira-san lupa dan sedang apa dia di dalam. Semoga saja tidak mandi. Bisa dilaporin ngintip aku".
Masih tidak terlihat kegiatannya, setelah tangan yang sedang menggapai gayung dan kaki yang diguyurnya baru aku mengerti. Kira-san sedang mandi.
"Duhh. Kesempatan langka ini. Tapi, kalo dia teriak dan nanti dilaporkan ke paman atau bibiku bisa gawat dan malah jadi masalah. Berlagak gak liat aja ah".
Aku menutup pintu kaca ruang makan dan melewati kamar mandi Kira. Tiba – tiba.
"Ahh. Ada kecoak. Hush.. hush.. Aduh.. gimana nih", terdengar keributan di sana.
"He3x.. ternyata dia takut kecoak toh", aku tersenyum sambil pegang gelas saat melewati kamar mandi.
"Tuan, tuan", Kira-san memanggilku.
"Walah. malah aku dipanggil. Gimana nih".
"Tolong ambilkan semprotan serangga di gudang ya Tuan. Cepet ya Tuan. atau", tidak terdengar lanjutan kalimatnya.
Sejak Kira-san bersuara, aku sudah berhenti dan diam di dekat pintu kamar mandi.
"Atau. Tuan yang masuk pukul kecoaknya. mumpung masih ada", lanjutnya.
Deg. "Ini. antara khayalan yang jadi nyata dan ketakutan kalau dilaporkan", aku berpikir sejenak.
"Cepet Tuan. Kecoaknya di dekat kloset. Tuan masuk aja, nggak pa-pa".
Nggak bakal saya laporin ke Tuan dan Nyonya", Kira-san tahu keraguanku".
"Jangan ah. nanti kalau ada yang tau atau kamu laporin bisa rame", jawabku.
"Nggak Tuan. Bener. Aduh. Cepat Tuan. dia mau pindah lagi", Kira-san kembali meyakinkanku dan meminta aku cepat masuk karena kelihatannya si kecoak mau lari lagi.
"Ya udah kalau gitu. Bentar saya ambil sandal dulu". Sambil tetap menimbang, take it or leave it.
Aku menaruh gelas di meja makan lalu mengambil sandal untuk membunuh kecoak nakal itu. Entah rejeki atau kesialan bagiku tentang kemunculannya.
"Aku masuk ya Kira-san", aku masih ragu.
"Masuk aja Tuan", Kira-san tetap membujukku.
Kubuka pintu kamar mandi sedikit, lalu kuintip letak kecoaknya, belum terlihat. Pintu dibuka lebih lagi oleh Kira. Kepalanya sedikit terlihat dari balik pintu dan tangannya menunjuk letak kecoak", tuh Tuan mau lari lagi".
Aku melihatnya dan mulai masuk. Kira-san berdiri di balik pintu dengan menutupi sedikit bagian tubuhnya dengan handuk. Terlihat paha; pundak dan payudaranya. Serta rambut yang diikat di belakang kepalanya, walau hanya sedikit semua. Handuknya menutupi bagian paha ke atas, perut hingga bagian dada, warna biru, yang disangga tangan kirinya. Semua itu terlihat sedikit, karena fokusku pada sang kecoak.
"Memang mulus dan cukup putih", masih sempat aku memikirkannya. Bagaimana tidak, jarak kami hanya 2 sampai 3 langkah, tidak ada orang lain lagi di rumah.
"Plak..plak", kecoak pun mati dengan sukses. Aku guyur dengan air agar masuk ke lubang pembuangan. Tanpa memikirkan lebih lanjut, aku lalu melangkah ke luar kamar mandi.
"Terima kasih ya Tuan Hideki-kun. Sudah mau nolongin".
"Oh..iya..", sambil kutatap dia dan Kira-san tersenyum.
"Tuan nggak cuci tangan sekalian. Di sini saja", katanya.
"Wah. Ini. Makin buat dag dig dug".
"Emm. Iya deh".
Saat aku akan mencuci tangan dengan sabun, ternyata posisi tempat sabun ada di belakang tubuhnya. Aku menengok ke belakang tubuhnya. Rupanya dia baru sadar, lalu mengambilkan sabun.
"Maaf Tuan. Ini sabunnya".
Ia mengulurkan sabun dengan tersenyum. Sabun yang sedikit basah berpindah dan tangan kami mau tidak mau bersentuhan.
"Makasih ya", kataku.
Aku mencuci tangan dan mengembalikan sabun padanya.
"Tuan nggak. Sekalian mandi", tanya Kira.
"Waduh. tawaran apa lagi ini. Tambah gawat".
"Iya. Nanti di tempat kost".
"Nggak di sini saja Tuan?".
"Kalau di sini yaa di kamar mandi depan".
"Di kamar mandi ini saja Tuan".
"Nggaklah, jangan. Di depan aja. Kalau di sini ya habis kamu mandi".
"Maksud saya sekalian sekarang sama saya. Hitung – hitung Tuan sudah nolongin saya". Matanya memohon.
Deng, sebuah lonceng menggema di kepala. "Ini ajakan yang membahayakan, juga menyenangkan", pikirku.
"Tuan Hideki nggak usah mikir. Saya nggak akan bilang siapa - siapa. Ya Tuan di sini saja", dia memahami kekhawatiranku.
"Emm, ya udah kalau kamu yang minta gitu", jawabku.
Entah mengapa aku merasa canggung saat akan membuka kaosku. Padahal tidak ada orang lain dan aku juga sudah sering melakukannya mandi dengan cewek pastinya.
Aku buka jam tanganku dulu, lalu aku keluar dari kamar mandi dan kuletakkan di meja makan. Posisi kira-san masih tetap di belakang pintu, dengan tangan kanan menahan pintu agar tetap agak terbuka. Kembali ke kamar mandi, kubuka kaosku dan kugantungkan di gantungan yang menempel di tembok.
"Kira-san pintunya nggak ditutup aja?", tanyaku.
Pertanyaanku sesungguhnya tidak memerlukan jawaban, hanya basa basi.
"Nggak usah Tuan, kan nggak ada siapa - siapa", jawabnya.
Lalu kubuka jinsku, kugantungkan juga. Sesaat aku masih ragu melepas kain terakhir penutup tubuhku, celana dalamku.
"Tuan tidak nglepas celana dalam?", tanyanya.
"Heh, ya iya", kujawab dengan nyengir.
Penisku sebisa mungkin kutahan tidak mengembang, tapi hanya bisa kutahan mengembang ¼ nya. Sengaja kutatap matanya saat melepas celana dalamku. Matanya sedikit membesar. Kugantungkan juga celana dalamku. Lalu dengan tenang ia mengantungkan handuknya yang sedari tadi menutup sebagian tubuhnya.
"Duh, pantatnya masih ok. Pinggangnya tidak berlemak. Sabar ya, kita lihat situasi dulu", kataku pada penisku sambil kuelus.
Ia lalu membalikkan badan. Cegluk, suara ludah yang kutelan.
"Uhh, payudara masih bagus juga. Putingnya nggak terlalu besar, areolanya juga, warnanya sesuai nggak hitam banget. Perutnya sedikit rata dan, hmm, rambut bawahnya hanya sedikit". Mau tidak mau, penisku makin mengembang dan itu jelas terlihat olehnya. Kembali sebisa mungkin kutahan perkembangannya.
Ia lalu menggosok gigi dahulu. Karena aku tidak membawa sikat gigi, hanya berkumur dengan obat kumur.
"Tuan saya mandiin dulu ya", katanya.
"Terserah kamu", jawabku sambil tersenyum. ia lalu mengambil segayung air, diguyurkan ke badan dari leher dan pundak.
Mengambil lagi segayung, diguyurkan ke perut dan punggung ditambah senyum manisnya. Ia lalu meraih sabun, digosokkan ke leher; pundak; dada dan tangan kananku. Dibasahinya sabun dengan diguyur air lalu digosokkan ke tangan kiri; perut; penis; bola- bolaku.
"Uhh gimana bisa nahan penis nggak ngembang".
Bagaimana tidak, saat menggosok penis dan bola – bolaku sengaja digosok dan di urutnya. Ditatapnya senjata kebanggaanku, lalu menatapku dan tersenyum. Aku hanya bisa membalasnya dengan senyum juga. Diambilnya lagi segayung air, sabun dibasahi dan sisanya diguyurkan ke paha dan kaki lalu digosoknya. Sabun kemudian diletakkan di pinggir bak mandi, kemudian mengambil segayung air dan diguyurkan ke badan depanku. Ambil segayung lagi dan diguyurkan lagi, tak lupa senjataku dibersihkan dari sisa – sisa sabun. Sedikit diremas olehnya. Kutahan keinginanku untuk membalas perlakuannya, "Biar Ia yang pegang kendali".
"Balik badan Tuan", perintahnya. Air diguyurkan ke punggung dan bagian bawah badanku. Digosoknya punggung; pantat; lalu paha dan kaki sisi belakang. Bonusnya, kembali menggosok penis dan bola – bolaku dan meremasnya.
"Duh, kira-san. Dia sengaja membuat panas aku".
Kembali air mengguyur tubuh belakangku, sebanyak 3x. Dibalikkan badanku lalu mengguyur senjataku, digosok – gosoknya hingga sedikit memerah. Jantungku makin berdebar.
"Sudah selesai Tuan", katanya.
"Makasih ya Kira-san". "Emm, kamu mau tidak di mandiin juga?", telanjur basah, kutawarkan permintaan seperti dia tadi.
"Nngg-nggak usah Tuan ngrepotin Tuan".
"Ya nggaklah jadi imbang kan".
Langsung kuambil segayung air lalu kuguyur ke tubuh depannya. Ia hanya menatapku. Kuambil lagi segayung. Lalu sabun yang tadi tergeletak di pinggir bak mandi kuambil dan aku basahi. Kugosok leher; pundak; dan kedua tangannya. Kubasahi sabun lagi dan kugosokkan ke dada; kedua payudaranya dan putingnya; serta perut. Kutatap matanya saat kugosok kedua gunungnya yang kumainkan sedikit putingnya. Ia juga menatapku. Matanya mulai sedikit sayu. 1 menitan kumainkan kedua putingnya, lalu sedikit kuremas patudara kirinya. Bibirnya sedikit membuat huruf o kecil dan "ohh, hhmm".
Kubasahi lagi sabun, dan kugosokkan ke pinggang; paha dan kedua kakinya. Vagina luar hanya kusentuh sedikit dengan sabun, takut perih dan iritasi nanti. Itupun sudah cukup membuat matanya makin meredup. Air segayung lalu kuguyurkan ke tubuhnya 2 - 3x. Kugosok dan kuremas sedikit keras dua gunungnya. Sedikit berguncang. Dua tangannya memegang pinggir bak mandi, mulai erat. Kumainkan lagi kedua putingnya.
Aku menundukkan badan dan kujilati kedua payudaranya bergantian. Tak perlu lagi ijin darinya. Tangan kiriku mengusap-usap lembut luar vaginanya.
"Ouuh Tuan....", Ia mulai mendesah.
Kucium bibirnya lembut, "nanti dilanjut lagi".
Matanya seakan bernada protes, tapi ia diam saja. Kubalikkan tubuhnya, lalu kuguyur punggungnya. Setelah itu kugosokkan sabun ke punggung; pinggang; pantat. Sabun kubasahi lagi lalu kugosokkan ke paha dan kaki bagian belakang. Aku menyusuri tubuh depannya lagi dari pinggang belakangnya. Ia sedikit menggeliat geli.
Kuremas ke dua payudaranya. Aku senang bermain-main di payudaranya yang bagus atau masih ok. Seluruh belakang lehernya aku cium dan jilati, begitu juga dua kupingnya dan kubisikkan.
"kamu diam saja ya, sayang".
"Geli Tuan", Ia mendesah lagi.
Kedua payudaranya semakin mengencang dan keras. Aku menyentil - nyentil, kuputar – putar seperti mencari gelombang radio. Dua tangannya mencengkeram paha depanku.
"Ah..... hmm....", erangnya.
Tangan kananku mengambil segayung air, kuguyur ke tubuh depannya. Kali ini kuusap – usap vagina luarnya dengan tangan kanan, sedang yang kiri tetap di payudaranya yang kanan.
Pahaku makin dicengkeramnya. Kepalanya menggeleng ke kiri dan kanan seiring jilatan dan ciumanku di belakang leher dan daun – daun telinganya. Sesekali aku menyentuh bibir dalamnya. Terasa telah menghangat dan sedikit basah.
"Tuan..... oh.....". Tubuhnya mulai bergerak-gerak. Jari tengah kanan kumasukkan sedikit dan kusentuhkan pada dinding atas vaginanya, sedang jempol kananku kutekan – tekankan di lubang kencingnya.
"Aauugghh Tuan..... eemmm....". Kuku - kuku jemarinya terasa menggores ke dua paha depanku.
"Kenapa Kira-san hmm kamu sendiri yang memulai kan", bisikku.
Tangan kiriku meraih kepalanya dan kupalingkan ke kanan, dan kutahan lalu kucium dan ku jilati pipinya. Ia terkejut, matanya sedikit membesar tapi kemudian ia menikmatinya. Ganti tangan kananku melakukan hal yang sama. Ia hanya bisa mengeluarkan suara yang tertahan.
"nngg.. emm.... nnngggg", begitu berulang-ulang.
Vagina dalamnya makin hangat dan basah. Secara tiba - tiba kuhentikan lalu kubalikkan badannya menghadapku. Kemudian aku sandarkan tubuhnya di bak mandi. Aku kemudian berjongkok dan mulai menjilati vaginanya.
"Jangan... Tuan... jorok...", dengan dua tangannya menahan laju kepalaku.
Kutatap matanya dan "sssttt..", jari telunjuk kanan kuletakkan di bibirnya. Dua tangannya kusandingkan di samping kiri dan kanan tubuhnya.
Kukecup kecil, sekali dua kali. Kemudian lidahku mulai menjulur di pintu kenikmatan kami. Mataku kuarahkan menatapnya. Ia agak malu rupanya, tetapi ada sedikit senyum di sana. Lidahku makin intens menyerang vagina luar dan dalamnya.
"Sudah... Tuan.... aduh.... oh.....", disertai gerakan tubuh yang makin menjadi.
Karena tak tahan dengan seranganku, dua tangannya meremas dan sedikit menarik rambut dan kepalaku. Cairan lavanya makin keluar. Ke dua tanganku mendekap erat buah pantatnya. Jari tengah kiriku sesekali kumasukkan ke vagina dari belakang lalu kesentuhkan dan kutekan sedikit ke anusnya.
"Ampun... Tuan... oouuuggghh..... eemm..." sudah.... oh...", matanya agak terbuka ke atas dan kepala serta rambutku diremasnya kuat. Lava kenikmatannya mengalir deras, rasanya gurih sedikit manis. Kudekap erat ia dengan kepalaku di vaginanya dan pantatnya kuremas - remas. Kepalaku tetap diusap –usap oleh nya.
Ia menarik kepalaku dan menciumnya ganas. Lambat laun ia dapat belajar dariku. Tangan kanannya meremas dan menarik – narik penisku.
"Panjang ya Tuan Hideki", tanya Kira-san.
"Biasa kok Kira.. pingin ya..", godaku.
"Aahh Tuan..", jawabnya dengan memainkan bola - bolaku.
Ia menundukkan tubuhnya lalu tangan kirinya memegang penis dan menciumnya. Mungkin ia belum pernah meng oral suaminya dulu karena penisku hanya dicium - cium dan diremas - remas.
"Kamu mau ngemut penisku Kira, kayak ngemut permen lolly? Tapi kalo belum pernah ya nggak usah nggak pa-pa kok". Ia menatapku dan kubelai rambutnya.
Dengan wajah ragu didekatkannya penisku di bibirnya. Ia mulai membuka mulut, sedikit demi sedikit penisku memasuki mulutnya. Ia menatapku lagi, meminta penjelasan langkah selanjutnya. "Sekarang, kamu maju mundurkan dengan dipegang tanganmu. Ya, gitu oh... hhmm". Rupanya muridku cepat mengerti penjelasan gurunya. Rambut dan kepalanya kubelai dan kuremas-remas.
"Lalu lidahmu kamu puter - puter di kepala penis atau di lubang kencing yang bergaris panjang itu.... yah... sudah..... pintar..... kamu.... Kira....".
Kuangkat kepalanya dari penisku dan kami berciuman dengan panas. Saling meremas payudaranya; pantat dan kelamin masing – masing. Lalu kubalikkan lagi tubuhnya menghadap bak mandi. Dua tangannya kuletakkan di pinggir bak mandi. Kembali aku bermain – main di gunung Kira. Penisku yang telah panas dan mengacung sekali kudekatkan ke vaginanya. Kukecup - kecup pundak dan leher belakangnya. Ikat rambutnya aku lepas sehingga dirinya terlihat makin seksi saat menggeliat - geliat dan rambutnya tergerai ke sana kemari. Aku gesek - gesekkan penisku di pintu surgawinya, sengaja aku mempermainkan rangsangan padanya.
"Oh.... Tuan..... masukin..... Tuan.....", pintanya.
"Kamu mau penisku kumasukkan.. hmm.. ?".
"Iya..... Tuan..... ayo... Tuan...", rintihnya makin kencang.
Kumasukkan penisku pelan - pelan. "Eemm.....", erangnya.
Lalu kudorong pelan hingga penisku terasa menyentuh dinding belakang.
"Ooouuggghh.... Tuan..... mentok Tuan...".
Aku menggerakkan tubuhku pelan - pelan, kunikmati jepitan dinding - dindingnya yang masih kuat. Ke dua tanganku tidak henti bermain di dadanya. Kumainkan irama di vaginanya dengan hitungan 1, 2 pelan 3 kuhentakkan dalam - dalam. Lalu tangan kananku meraih kepalanya seperti tadi dan kucium panas bibirnya. Dinding vaginanya makin hangat dan banjir sepertinya. Dua tangannya mencengkeram erat pinggir bak mandi.
Sekarang tanpa hitungan, kumasuk keluarkan penisku cepat dan kuat.
"Oohh... oohh… hhmmppffftt..", erangnya berulang.
Sedang aku sedikit menggeram dan "oouugghhh... hhmm..... vaginamu enaknya Kira....".
"Pe-penis Tu-Tuan Hideki ju-juga...".
Jarak pinggangku dan pantatnya makin rapat. Tangan kanan kuusap - usapkan di vaginanya. Di dalam kamar mandi hanya ada suara tetes air satu - satu serta suara desahan, bunyi beradunya paha dan pantat dan erangan kami.
"Tu-Tuan..... sa-saya..... ma-mau..... o-oh.....".
" Kira-san tunggu... aku..... juga.... Di dalam apa di luar....", tanyaku.
"Di.... dalam... aja... Tuan..... obatnya.... masih.... ada...", jawab nya.
Mendengar itu aku sedikit heran dan serangan makin kufokuskan. Segala yang ada di tubuhnya aku remas. Ke dua tangannya ku tahan di pinggir bak mandi dan ia mencengkeram paha serta pantatku. Bibirku diciuminnya lalu "hhhmmm....". Pantatku diremas kuat - kuat. Bibirnya dilepas dariku dan "ooouuggghhh...", desahnya panjang.
Lava yang hangat terasa mengaliri penisku yang masih bekerja. Kepalanya tertunduk menghadap air di bak mandi. Kudekap erat tubuh depannya. Kukecup dan kugigit leher belakangnya. Lalu tangan kiriku meraih kepalanya dan kucium dalam – dalam. Dengan satu hentakan dalam kumuntahkan magma berkali - kali.
"Ough.... Kira-san.... hhhmmm..". kepalaku tertunduk di pundaknya dengan tangan kiri di payudaranya sedangkan yang kanan di vaginanya. Lama kami berposisi seperti itu.
"Makasih ya Kira kamu baik sekali. Enak banget tubuhmu", kataku dengan membalikkan badannya dan kucium mesra bibirnya.
Penis kumasukkan lagi, masih ingin berlama- lama didalam hangatnya vaginanya.
"Saya yang terima kasih Tuan. Sudah lama saya pingin tapi sama orang nggak kenal kan nggak mungkin Tuan. Penis Tuan sesuai di dalam vagina ku", ia menjawab dan mencium bibirku juga.
"Vaginamu masih kuat nyengkeramnya dan panas". Kubelai – belai kepalanya.
"Kok bisa kamu pingin ngajak main sama aku? Malah aku yang takut kamu laporin". Sambil mengusap - usap punggungnya.
"Tadi waktu aku bersihin mainan adik, aku lihat gambar di komputer. Terus waktu Tuan kencing tadi kan lupa nutup pintu, keliatan penis tuan yang agak gede saat keluar dari celana".
"Oo gitu.. nakal ya kamu. Tadi yang kamu maksud obat untuk anti hamil kan benaran kamu masih ada?", sambil kucubit pipinya.
"Benaran kok Tuan, Tuan Hideki tenang saja masih ada sisa yang dulu", jawabnya.
Makin lama terasa penisku yang mengecil. Kucium dalam - dalam lagi bibirnya.
"Sekarang mandi yang beneran".
"Heeh, iya Tuan", Ia menjawab sambil tersenyum manis.
Ia lalu memelukku erat. Aku membalasnya dengan memeluk erat dan mengusap – usap punggung serta kepalanya.
Sejak saat itu di saat aku sedang ada waktu, aku sering kerumah pamanku selain pergi ke rumah sepupu ku.
Aku jadi teringat sama Risya-san.
Next