"Cewek yang lo suka?" Alvin mengernyitkan dahi lalu melirik Keira.
"Jangan ganggu dia." Cowok pembawa bola basket itu segera pergi setelah memperingatkan sekali lagi keduanya.
"Siapa tuh bocah?" tanya Zein sepergiannya.
"Kayaknya gue pernah lihat dia di 10-7. Gue nggak tahu siapa namanya," jawab Alvin.
"Satu angkatan sama kita?" tanya Zein lagi.
"Iya, tapi nggak tahu sekarang dia masuk kelas apa. Songong juga," Alvin memandang ke lapangan di mana cowok tadi telah berada.
"Heh, bocah! Siapa dia?" Zein tiba-tiba beralih menanyai Keira.
"Mana gue tahu?" Cewek itu mengangkat bahu secara otomatis.
"Bukannya dia bilang dia suka lo?" desak Zein tak percaya.
"Terus? Emang gue harus tahu siapa-siapa yang suka gue? Kenal juga nggak kok. Udah ah, gue mau pulang." Keira langsung berlari kecil meninggalkan mereka.
Zein dari tempatnya mengalihkan perhatian ke lapangan, menatap tajam si cowok bermuka angkuh itu. Ia yakin kalau bola itu sengaja dilemparkan ke arahnya.
***
"Dear God,
The only thing I ask to you is to hold her when I'm not around ,
When I'm much too far away..."
"Kei, pelanin sedikit bisa nggak sih? Kuping Mama bisa pekak tiap hari dengerin kamu karaokean terus."
Keira tak mempedulikan seruan sang Mama. Ia justru mengambil remot layaknya mic lalu bernyanyi mengencangkan suara. Sesekali kepalanya mengangguk-angguk tampak begitu menikmati alunan lagu yang dilantunkan.
"Some search, never finding a way
Before long, they waste away...."
Speaker mendadak mati. Sontak Keira berhenti menyanyi.
"Cukup untuk hari ini. Mama ada arisan di rumah sebelah. Nanti mereka dengar." Rupanya Mama Keira menekan tombol off speakernya.
"Mamaaaa! Keira belum selesai nyanyi, Maaa!" jerit anak itu kesal.
"Kamu ini. Mama malu sama tetangga. Tiap sore pulang sekolah bawaannya karaoke melulu. Iya kalau lagu-lagunya bagus. Kaset orang teriak-teriak aja dibeli, dikoleksi, ditiru pula. Mama pusing dengerin tiap hari," omel Mamanya.
"Siapa yang teriak-teriak? Buktinya lagu yang tadi kalem. Slow bikin hati adem," bantah Keira sambil mencoba menekan on lagi speakernya, tapi sang Mama langsung menepis tangan Keira.
"Tetangga pada komentar. Katanya rumah kita sering kedombrangan, mutar musik kelewat kencang. Kamu nggak bisa mutar lagu pelan-pelan?"
"Rocker, Ma. Rocker! Mana ada rocker nyanyi pelan-pelan?" Keira menunjukkan tiga jari khas ala rocker pada Mama.
"Hahh, tobat..." Mamanya sampai menggeleng-gelengkan kepala. "Itu juga. Rambut kamu ngapain pakai wig merah menyala begitu? Model potongannya juga nggak karuan. Mata juga dihitam-hitamin begitu biar apa? Nakutin anak tetangga aja."
"Iihh, namanya juga rocker, Ma. Ini model harajuku. Nggak kelihatan kalau ini rambut palsu, kan? Haha, yes! Kei udah mirip Hayley Williams, kan? Keren abiiis!" Keira langsung berkaca sambil menyibakkan rambut merahnya. "Mas Fadil harus lihat gayaku sekarang. Rock, man!"
"Fadil sudah berhenti jadi orang gila. Dia sudah menikah dan hidup lumrah sekarang," potong Mamanya. "Kenapa sih Fadil nurunin hobi sinting pada adik ceweknya?"
"Sudah lah, Ma. Yang penting kan Keira bertingkah aneh cuma di rumah saja. Kei kita di sekolah tetap juara, kok. Biarin dia menikmati masa remajanya." Papa Keira yang baru pulang kerja menenangkan istrinya.
"Tapi Mama takut Keira lama-lama kayak gini di luar, Pa."
"Keira itu pintar. Dia sudah bisa membedakan mana yang baik dan bukan. Toh dari SMP dia sudah suka lagu-lagu koleksi kakaknya, sampai sekarang dia baik-baik saja, kan? Itu kan cuma hobi Keira. Di sekolah dan di luar dia nggak begini juga."
"Papa... udah pulang, Pa?" Keira yang baru memasang sabuk gitar di pundaknya menyapa kedatangan Papanya. "Rock, Man!"
Papanya cuma tertawa.
"Terserah deh. Mama mau arisan. Awas lho, Kei! Jangan sampai ada guci pecah lagi. Nyanyi ya nyanyi aja. Nggak usah pakai nendang barang-barang Mama," pesan Mamanya sebelum keluar.
"Beres, Bos! Jangan lupa tutup pintu depan ya Bos? Biar nggak kedengaran tetangga!" Keira meneriaki Mamanya.
"Tanpa kamu bilang Mama sudah tahu," terdengar sahutan kesal Mama.
"I'm just a kid
And life is a nightmare
I'm just a kid
I know that is not fair...“
Keira asik bernyanyi lagi sambil memainkan gitarnya. Suaranya bahkan dimirip-miripkan Pierre Bouviere, vokalis dari band Simple Plan. Jelas sekali ia menyukai lagu-lagu lumayan jadul peninggalan Fadil, kakak laki-lakinya. Bahkan dulu sebelum Fadil menikah, mereka sering bernyanyi bareng bak konser bersama.
"I'm all alone to night..
Nobody cares to night..
Cause I'm just a kid to night...."
Lagu selesai dan barulah Keira sadar. Ada orang tengah mengetuk-ngetuk pintu rumahnya. Sepertinya sudah sedari tadi. Berhubung Keira menyanyi terlewat keras, sudah pasti dia tidak dengar.
Tok. Tok. Tok.
"Yaaa sebentaarr...!" Keira berteriak sambil berlari ke ruang tamu. Masih dengan gitar tertenteng di tangan, Keira membuka pintu.
"Lama banget sih," terdengar si pengetuk pintu sedang menggerutu.
"Maaf, maaf. Silakan masuk!" Keira segera menunduk tak enak. "Ada kepentingan sama siapa?" tanya dia kemudian.
Tamu itu rupanya seorang cowok. Anak SMA. Terbukti dia masih berseragam putih abu-abu.
"Pak Arya ada?"
"Ooh, Papa ada. Mari, sila... kan... ma... suk..." Omongan Keira mendadak tersendat lalu menjadi pelan. Cowok itu. Dia memakai bet seragam SMA Pahlawan! Keira memperhatikannya lagi dan seketika ia terbelalak.
Dia cowok di ujung tangga siang tadi. Dia si tampang dingin yang melempar bola basket ke kepala Zein. Keira langsung pucat pasi menyadarinya.
Cowok itu memandang Keira dari ujung kaki sampai ujung kepala. Wajah cantik pucat, rambut merah menyala berantakan, garis mata hitam tebal, sebuah gitar tersampir di pundak. Ia sampai tak berkedip melihatnya.
Celaka, pikir Keira berdebar-debar. Bagaimana kalau dia ingat aku yang di sekolah tadi? batinnya cemas. Ia segera menutupi muka dengan poni rambut wig merahnya.
"Pak Arya-nya mana?" tanya si cowok lagi menyadarkan lamunan Keira.
"O-oh iya. Masuk dulu. Papa lagi di dalam." Keira pun mundur untuk memanggil ayahnya. Keira mencoba menenangkan diri bahwa cowok itu tak mungkin mengenalinya sebagai anak SMA Pahlawan. Apalagi mereka tak saling kenal.
"Pa, tamu tadi siapa?" tanya Keira setelah Papa menemui cowok itu.
"Kayaknya sih anak rekan kerja Papa. Kenapa? Kamu kenal dia?"
"Nggak. Nggak kenal," jawab Keira cepat-cepat. "Tapi seragamnya sama kayak Keira aja."
"Ooh begitu. Ya sudah, Papa mau meriksa ini dulu." Papa pun bergegas masuk ke ruang kerja dengan stofmap di tangan.
"Yes, aman! Aku yakin nggak mungkin ketahuan." Keira melonjak dan segera memutar lagu lagi keras-keras. Sesekali gitarnya digenjreng menyesuaikan nada lagu dan lirik yang sedang dinyanyikan.
"Cause we lost it all..
Nothing last forever,
I'm sorry I can't be perfect...."
"Ehem!"
Mendadak ada yang berdeham di akhir lagu. Otomatis Keira menoleh ke arah suara itu. Si cowok tamu tadi rupanya. Ia sudah berdiri di depan pintu ruang tengah, bersilang tangan di depan dada dan tampak sedang menikmati aksi Keira.
"Apa Pak Arya-nya masih lama?" tanya cowok itu. Sepertinya ia sudah sedari tadi berdiri di sana.
"Papa?" Keira megap-megap menahan rasa terkejutnya. "Mm... Papa...."
"Oh, ini! Maaf lama, ya? Soalnya tadi ada yang belum ditanda tangani sama belum distempel dari kantor." Papa Keira serta merta muncul dari tangga. "Nah ini, makasih banyak. Sampaikan salam saya pada Pak Roni."
"Ya, Om. Sama-sama," jawab cowok itu sambil melirik Keira. "Saya pamit dulu. Permisi," ujarnya kemudian.
"Ya, hati-hati!"
Selama beberapa detik Keira cuma diam saja. Begitu suara pintu ditutup terdengar, ia langsung menjerit pada Ayahnya. "Papaaa! Kenapa nggak bilang-bilang kalau dia belum pulang, Pa?" serunya panik.
Ayahnya malah bingung. "Kenapa juga Papa harus bilang-bilang? Orang dia tamunya Papa, kok. Kan dia cuma nunggu Papa ngecek berkas sebentar."
"Tapi dia jadi ngintipin Keira nyanyi tadi."
"Lha terus kenapa? Hobi kamu memang nyanyi sama jingkrak-jingkrak, kan?"
"Ahh, Papa! Gimana kalau dia sampai tahu Keira satu sekolah sama dia?" rengek Keira, kelabakan.
"Ya bagus dong, nambah-nambah teman," sahut Papanya santai.
"Papa nggak tahu aja sih? Keira kan di sekolah nggak kayak gini. Keira malu kalau anak-anak tahu."
"Nah, syukur kamu sadar hobi kamu ini aneh nggak sesuai sama Keira yang orang-orang tahu. Tapi tenang saja, dia nggak bakal ngenalin Keira kok. Papa aja kadang pangling kamu anak Papa apa bukan kalau pas dandan kayak begini."
Keira sedikit lega mendengar kata-kata Ayahnya. Namun tetap saja Keira malu. Ini pertama kalinya Keira dilihat orang lain selain anggota keluarganya. Anak cowok, satu sekolah pula. Haaah, bahaya! Keira langsung melepas wig merahnya.
***
Hari ini jam pertama pelajaran olah raga. Anak-anak 11-IPS-3 ditugaskan berlari keliling lapangan 10 kali putaran. Mereka dinilai dari segi kecepatan dalam berlari. Dari 30 anak di kelas itu, Keira ikut 5 besar paling lamban. Tentu saja. Dia pintar di semua mata pelajaran, kecuali olahraga.
"Si Genius ternyata keong, ya?" Zein meledek saat Keira terengah-engah duduk di bawah pohon.
Keira tak bisa berkata apa-apa. Zein memang paling cepat di antara anak-anak sekelas. Ternyata dia juga hebat berolahraga.
"Capek, ya? Baru juga 10 putaran," Zein terkekeh lalu menjatuhkan diri di sebelah Keira. "Ayo, Genius, apa lo mampu mengalahkan sang profesional ini?"
"Yah, gue memang lemah di lapangan. Lagian siapa juga yang genius?" Keira akhirnya bersuara. "Gue bukan bocah pintar dari lahir. Gue pintar karena belajar."
"Ooh, ya?" Zein tertawa. Sebentar ia melirik Keira tapi begitu cewek itu balik menatapnya, ia langsung berpaling. "Apa lihat-lihat?" kesalnya tanpa menoleh. Suaranya mendadak jadi cuek lagi.
"Zein," sebut Keira pelan tapi pasti. "Apa kita pernah kenal sebelumnya?"