***
Jophiel dan malaikat lainnya melihat pertempuran yang tak kunjung usai antara manusia dan iblis. Dengan liciknya, para malaikat itu tidak ingin membantu manusia atas dasar alasan kubu mereka netral di peperangan ini. Michael yang mencetuskan ide tersebut dan langsung disetujui oleh mayoritas suara dari Malaikat Agung lainnya, Jophiel dan Gabriel menolak usulan tersebut.
"Pertempuran mereka bisa dibilang seimbang," ungkap Raphael.
Jophiel mengangguk, ia lebih banyak diam setelah kejadian perpisahannya dengan Evan. Ia masih menyimpan rasa kesal kepada malaikat lainnya, tetapi dirinya harus bersikap rasional, tidak baik saling bermusuhan antara sesama ras. Kedudukannya yang penting di antara malaikat lainnya menjadi pertimbangan Jophiel untuk tidak bertindak gegabah.
"Para iblis itu, meski mereka tidak sebanyak manusia tetapi ukuran badan dan kemampuan mereka jauh lebih baik," jelas Gabriel, ketiganya berdiri di tepi awan putih menyaksikan pertumpahan darah yang tak perlu terjadi.
"Dan manusia. Mereka memiliki kuantitas yang melebihi para iblis, tetapi kemampuan mereka tentang sihir dan ilmu berpedang sangat payah."
Raphael dan Gabriel terus berdiskusi dan membicarakan segala kemungkinan. Keduanya berdiri di sisi samping kanan dan kiri Jophiel, sehingga wanita itu bisa mendengar percakapan mereka dengan jelas.
Berbeda dengan mereka, Jophiel dengan mata malaikatnya mencoba menelisik dari tebalnya awan dan rindangnya pepohonan, mencari sosok pria yang ia rindukan. Tak membutuhkan waktu lama baginya menemukan Evan karena pemuda itu terhubung dengannya secara tidak resmi, Gabriel tidak mengetahui kalau kekuatan yang dimiliki Evan adalah setengah dari kekuatan Jophiel.
Jophiel cukup kaget dan khawatir ketika Gabriel menarik kekuatan Evan untuk masuk dimensi waktu, pasalnya ia takut kekuatannya diserap oleh pria tersebut. Namun, ia bersyukur kalau kekuatan miliknya masih tertanam di tubuh Evan, hanya saja belum mampu ia gunakan secara maksimal.
"Apa kau sedang mencari sesuatu, Jophiel?" tanya Raphael.
Pria itu menyadari kalau wanita di sampingnya tidak sedang memerhatikan medan perang, kedua manik matanya menatap tajam ke sisi lain yang searah dengan tempat Raphael berdiri. Jophiel mengedipkan matanya beberapa kali dan tersenyum tipis berbalik memandang Raphael.
"Tidak ada. Aku sedang menikmati kegiatan manusia di pedesaan, sangat berbanding terbalik antara ini dengan itu."
Tunjuk Jophiel membandingkan ketentraman dua tempat yang begitu kontras, antara pedesaan dengan perbatasan. Gabriel mengangguk, ia mengakui kalau kegiatan manusia lebih menarik untuk diketahui, tetapi sebagai pemimpin ras malaikat, ia tidak boleh mengutarakan ketertarikannya tersebut ke hadapan publik, bisa-bisa ada kecemburuan yang muncul di antara malaikat.
"Oh lihatlah! Aku melihat seseorang yang tampak bersinar di sana," tunjuk Raphael.
Ucapan pria itu menarik perhatian dari Gabriel, bahkan Jophiel ikut menyaksikan siapa orang yang dimaksud oleh Raphael. Sinar itu meredup ketika ia mulai memasuki medan peperangan, dilihat dari zirah putih dan tombak kerucut yang besar nan kuat, dia adalah Ksatria Agung, Maximilian.
"Ia akan menjadi masalah besar kita," Michael datang tatkala melihat keasyikan medan perang yang mulai menggila, mendengar dari seruan Raphael terhadap orang tersebut. Jophiel tidak suka dengan keberadaan Michael, pria itu selalu saja memiliki pembawaan yang pemarah dan ambisius.
"Kupikir kau akan mudah melawannya," ujar Raphael, Michael tertawa lantang dengan percaya diri membenarkan ucapan Raphael padanya.
Mereka berempat sontak membelalakkan kedua mata mereka melihat satu kali tusukan dari Maximilian mampu membunuh sekitar 500 iblis yang berada di belakang arah tombak tersebut, mirip seperti sinar laser berukuran besar yang mampu membunuh satu baris pasukan dengan mudah.
"Siapa yang memberinya anugerah?" tanya Raphael, ketakutan.
"Haha menarik sekali! Aku tidak sabar bertarung dengannya."
Michael bersemangat dan pergi dengan percaya dirinya dengan senjata miliknya, Gabriel menghentikan langkah Michael dan mengingatkan pria itu atas perjanjian yang ia buat. Awalnya Michael menolak dan bersikeras ingin "memeriahkan" medan perang. Namun, melihat kemarahan Gabriel membuat Michael menggerutu kesal dan kembali dengan ekspresi berang.
Melihat kemampuan Maximilian di medan perang membuat Jophiel merasa khawatir dan cemas dengan keadaan Evan. Ia hanya bisa berharap dan berdoa kepada Tuhan kalau Evan akan baik-baik saja.
***
Satu minggu kemudian
Evan pergi ke kantor petualang bersama keempat remaja yang sudah ia latih. Mereka belajar dengan rajin dan mengerti dengan cepat. Karena itulah Evan mengajak keempatnya mengunjungi kantor petualang untuk mencari misi yang cocok bagi mereka.
Di salah satu mading kayu, tertempel berbagai misi yang siap menguji kemampuan mereka. Mulai dari misi tingkat A hingga paling rendah tingkat D, melihat kemampuan mereka selepas pelatihan, Evan menyuruh keempatnya mengambil misi dua tingkat dari bawah.
"Apa kau yakin? Melawan Minotaur yang berkeliaran di malam hari bukan hal yang mudah," jelas Bella, wanita itu jadi yang paling pintar dalam mengatur strategi dan rencana penyerangan.
"Tapi hanya ini saja misi tingkat B yang tersedia," balas Julius, menunjuk kertas misi yang tertempel.
"Tidak, lebih baik kita bernegosiasi dengan Kak Evan untuk memulai misi dari tingkat C," timpal Bella, menunjuk kertas misi tingkat C di dinding kayu tersebut.
"Tcih! Bantu aku, Hiro," pinta Julius kepada Hiro untuk menambah argumennya melawan Bella.
"A-Aku ikut saja apa yang kalian putuskan."
"Mira?" tanya Julius, perempuan itu pun mengangguk dan berpendapat yang sama dengan Hiro.
Ketika mereka berempat tengah berdiskusi panjang tentang misi pertama mereka. Evan berjalan mendekati resepsionis kantor petualang dan menunjukan peta yang diberikan ketua kelompok zirah padanya. Evan berencana menguak rasa penasarannya kenapa pria itu memberikan peta hasil pemetaan mereka kepadanya dan apa yang ada di dasar gua tersebut.
"Di mana letak goa ini?" tanya resepsionis wanita tersebut.
"Di dekat kota Ilfheim."
"Ilfheim, yah? Tunggu sebentar, sepertinya aku memiliki peta yang lebih lengkap darimu."
Wanita itu berbalik dan pergi masuk ke sebuah ruangan, memeriksa rak buku yang tersusun rapi layaknya perpustakaan kecil dan mengambil sebuah buku arsip dari petualang Ilfheim. Keempat remaja itu selesai berdiskusi dan memutuskan untuk mengambil misi tingkat C, melawan segerombolan goblin yang meresahkan desa.
Bella berjalan mendekati meja resepsionis seraya memberikan kertas misi tersebut untuk diproses, ia berdiri bersama gurunya, Evan yang menunggu informasi dari resepsionis tadi.
"Tingkat C? Apa kau ketakutan?" tanya Evan, heran.
"Aku minta maaf, tetapi sepertinya untuk misi pertama, kami akan mengambil tugas yang lebih mudah dulu. Kami berjanji akan mengambil misi yang lebih susah lain waktu," ungkap Bella, menundukkan kepala.
"Yasudah itu terserah kalian."
"Apa kau marah?" tanya Bella, takut.
"Tidak. Aku hanya akan marah kalau kalian gagal menjalankan misi itu," jelas Evan.
Bella tersenyum senang seraya merapatkan kedua telapak tangannya, rona merah di pipinya terkembang jelas membuat penampilannya jauh lebih menarik. Ia tak lagi merasa bersalah atas keputusannya mengambil misi tingkat C. Ia yakin di balik ekspresi dingin Evan, pria itu menyimpan rasa peduli yang tinggi pada mereka.
"Apa kau sedang menunggu—"
"Maaf membuatmu menunggu."
Wanita dewasa itu memberikan peta yang mirip dengan peta milik Evan, rutenya sama dan ikonnya juga mirip. Perbedaan yang mencolok adalah rute di peta milik resepsionis jauh lebih panjang dan berliku, sepertinya mereka melakukan pemetaan dalam waktu yang lama.
"Pintu ini berada di paling dasar, apa isinya?" tanya Evan, penasaran.
"Menurut penjelasan petualang yang selamat, di dalam ruang tersebut terdapat artefak pahlawan yang mampu meningkatkan kemampuan dan sihir seseorang," jelas wanita tersebut.
Kedua mata Bella membulat sempurna mendengar kalau di dalam ruang tersebut terdapat artefak pahlawan, sesuatu yang sangat berharga dan begitu didambakan oleh banyak orang, bahkan Ksatria Agung tidak ada yang pernah bisa membuka pintu tersebut.
"Artefak Pahlawan? Seperti apa itu?" tanya Evan.
"Pedang, cincin, perisai, zirah, bahkan emas yang tak terhitung jumlahnya. Konon, siapa pun yang memilikinya akan mendapatkan kekuatan pahlawan," ujar wanita tersebut, menjelaskan dengan semangat.
"Tapi urungkan saja niatmu, monster untuk mencapai titik itu tidak semudah yang kau pikir," sambung resepsionis tadi, memasukan peta itu kembali ke buku arsip dan hendak meletakan buku tersebut ke rak buku.
Evan terdiam, ia sangat membutuhkan uang untuk menjalani hidupnya seraya menunggu kedatangan Altair dan Sophie. Ia pikir, dengan kekuatan yang dimilikinya, ia mampu mencapai titik terdalam dan mengambil artefak pahlawan yang banyak dibicarakan itu.
"Tunggu!"
Bella memandang wajah Evan lekat-lekat, begitu juga dengan kedua resepsionis yang tengah berdiri di belakang meja. Resepsionis itu menjulurkan tangannya, memberikan isyarat kepada Evan untuk tidak mengatakan sesuatu yang mengerikan.
"Aku akan ambil artefak itu," ujar Evan, teguh hati.
Bella tak bisa berkata apa-apa, tangan kanannya menutup mulutnya yang menganga kaget tak percaya. Remaja perempuan itu memanggil ketiga temannya untuk mendekat, mulutnya tidak sanggup menahan informasi yang ia dapatkan untuk diberitahu kepada mereka.
"Kak Evan mencoba menelusuri goa pahlawan," balas Bella, antusias.
"Benarkah?" tanya Julius, bersemangat.
Bella mengangguk, keempatnya kembali berdiskusi untuk menentukan apa yang akan mereka lakukan selanjutnya.
"Aku tidak akan menanggung akibatnya," jelas resepsionis tadi seraya kembali memberikan peta tadi kepada Evan untuk disketsa.
"Apa kau sudah menyiapkan perlengkapannya?" tanya kembali resepsionis tersebut, Evan terdiam dan tidak menjawab.
Bella mengambil kertas misi tingkat C tadi dan menempelkan benda itu kembali ke dinding kayu. Keempatnya memutuskan akan pergi bersama Evan untuk menelusuri goa pahlawan, mereka ingin mengetahui kemampuan Evan yang sebenarnya.
"Sudah!" ucap Bella.
Resepsionis dan Evan segera memalingkan wajahnya, memandang Bella dengan wajah penuh keterkejutan. Evan tersenyum tipis seraya mengajak Bella pergi menjauh dari meja resepsionis, ia hendak bertanya maksud dari ucapan tadi.
"Apa maksudmu tadi?" tanya Evan, kaget.
"Kami berempat sepakat untuk ikut denganmu."
"Tapi kalian bisa mati, apa kau mengerti hal itu?" tanya Evan, kesal.
"Jika pun kita mati, siapa yang akan berduka? Tidak ada, jadi jangan khawatir."
Evan terdiam mendengar perkataan dari Bella, ia tidak pernah menduga kalau perempuan itu akan mengucapkan hal semenyakitkan itu.
Like it ? Add to library!