Aku dan Bagus masih asik bermain game saat Santosa datang. Pria yang lebih tua dariku itu pun duduk di sofa yang berhadapan dengan kami.
"Mau minum apa?" tanyaku tanpa menoleh ke arahnya.
"Langsung aja," sahut Santosa.
Aku menghela napas panjang, lalu meletakkan handphone-ku di meja. Kutatap dalam manik mata Santosa.
"Lo kalau nggak becus ngurus Blackstone, ngomong aja. Gue akan dengan senang hati cari orang buat gantiin lo!" ucapku dengan nada datar.
Aku belajar dari Bang Sayuti, bahwa nada datar bisa membuat orang yang mendengarnya bergidik ngeri.
"Ada masalah?" tanya Santosa dengan kening berkerut.
"Lo masih tanya? Gue yakin lo lebih tahu kondisi Blackstone dari gue!" sahutku.
Aku pun menyandarkan punggungku pada sofa, dan menaikkan kakiku mencari posisi duduk yang lebih nyaman.
"Gue jamin nggak akan ada anak buah gue yang akan bikin repot Elang Hitam!" seru Santosa dengan tatapan mata tajam yang tertuju padaku.