App herunterladen
0.5% Akibat Mertua Toxic (AMT) / Chapter 2: Bab 2 Mertua keras kepala

Kapitel 2: Bab 2 Mertua keras kepala

"Iya tau. Kenapa emang?" Kevin bertanya balik.

"Nggak ada Vin, di tas aku, itu kan padahal sepasang, nggak ada semua lho." Marisa masih sibuk mengopek tasnya yang berukuran lumayan besar. Ia sampai harus mengeluarkan seluruh isi tasnya sehingga membuatnya berantakan karena berserakan di kursi mobil.

Kalung mutiara yang Marisa maksud itu sepasang. Rencananya ia akan memakainya satu untuk dirinya sendiri. Dan yang satunya untuk ibu mertuanya. Namun sekarang entah di mana keberadaan kalung tersebut.

Mendengar penjelasan dari Marisa Kevin menghela napas. "Ya nggak ada orang di paper bag yang ini," ucap Kevin seraya mengangkat paper bag berwarna merah yang ia maksud tadi.

Marisa tertawa kecil. "Kamu pasti yang umpetin tadi," goda Marisa. wajahnya memerah seperti kepiting rebus karena malu.

Kevin tak menjawab, hanya menggelengkan kepalanya saja, diikuti helaan napas yang berat. heran dengan kelakuan istrinya yang tiba-tiba jadi pelupa.

"Kamu sejak kapan sih jadi pelupa gini?" tanya Kevin. Dan Marisa hanya terkekeh. Ia sendiri juga heran. Mungkin Marisa sedang lelah.

Kevin segera keluar dari pintu mobil yang sudah dibukakan oleh sopirnya tadi. Dan setelah itu Kevin bergantian membukakan pintu untuk Marisa. Begitulah peraturannya, jika Kevin dan Marisa satu mobil Kevin lah yang membuka pintu untuk istrinya tersebut, Kevin sendiri yang membuat peraturan itu.

Kevin mengulurkan tangannya, Marisa kemudian menatapnya dengan senyuman yang lembut, mengulurkan tangannya seraya berkata. "Terima kasih sayang."

"Tidak masalah sayang," sahut Kevin, yang berbalas tersenyum lembut dengan sedikit memiringkan kepalanya.

Entah mengapa hati Marisa masih merasakan akan ada hal buruk yang terjadi. Tapi Marisa berusaha menepis pikiran itu.

Mereka tidak berlebihan, memang sehari-hari Marisa dan Kevin menjalani pernikahan mereka dengan romantis seperti itu.

Keduanya lalu berjalan bersama, dengan lengan Marisa yang menggamit lengan Kevin.

Tak disangka, sampai di dalam rumah, ibu Kevin datang dan menyambut kedatangan mereka dengan hangat.

Ibu mertuanya tersenyum ramah lalu memeluk Marisa. "Ibu… kenapa tidak bilang kalau mau datang?" tanya Marisa.

"Memangnya kenapa? Apa aku harus minta izin untuk menemui anak-anakku sendiri?" Debi bertanya balik, bermaksud untuk menggoda Marisa saja.

Marisa yang hafal betul candaan ibu mertuanya tertawa geli dengan menutup mulutnya.

"Ibu mau memastikan, kalian lupa tidak membelikan aku oleh-oleh?" Itu termasuk candaan juga yang dilontarkan oleh Debi, karena ia bukanlah ibu mertua yang materialistis kepada anak.

Bahkan Marisa sudah dianggap sebagai anak sendiri oleh Debi. Begitu pula dengan Marisa yang merasa nyaman dan akrab seperti ibu kandung sendiri. Jadi tidak ada jarak diantara mereka.

"Ah! Ibu, selama liburan di sana hatiku begitu tak tenang memikirkan oleh-oleh untuk ibu saja," jawab Marisa hiperbola.

Debi menaikan sudut bibirnya ke atas. "Ah, lebay," jawabnya melengos kan wajah, kemudian tertawa.

"Kalian berdua mandi sana!" suruh Debi.

Kevin menghela napas. "Itulah yang kutunggu dari tadi ibu. Tapi dari tadi kalian malah asyik mengobrol," gerutu Kevin.

Tanpa basa-basi Kevin merangkul leher Marisa dan mengajaknya naik ke atas untuk mandi.

"Kami mandi dulu Bu," pamit Marisa.

"Hmm, aku akan menunggu kalian di ruang depan," jawab Debi.

Dari atas tangga Marisa dan Kevin turun dengan membawa sebuah bingkisan, siapa lagi kalau bukan untuk Debi.

Marisa melihat paper bag yang ia tenteng, sambil sesekali melihat isinya dan tersenyum.

"Lihat Kevin. Ibu pasti akan menyukainya," tebak Marisa dengan riang. Dan Kevin hanya mengangguk dan tersenyum.

Namun tak seperti ekspektasi Marisa, justru pil pahit yang harus ia dapatkan seperti tadi. Perlahan bulir bening keluar dari matanya dan mulai membasahi pipi, melihat paper bag yang tadi akan ia berikan kepada Debi.

"Canda tawa ibu tadi, honeymoon, kenapa sekarang berubah menjadi seperti ini?" tanya Marisa dengan isakan tangis di belakangnya.

***

Kevin berdiri tak jauh di belakang ibunya yang sedang duduk sendiri. Ia masih bingung harus berkata apa pada ibunya.

Di satu sisi Kevin tidak mau memaksa Marisa untuk punya anak, karena ia tahu alasan dibaliknya. Namun di sisi lain ibunya tidak salah jika ingin segera menimang cucu dari rahim Marisa.

Sementara itu Debi saat ini masih berkutat dengan pikirannya alih-alih mendapatkan ketenangan. Ia duduk di sebuah kursi taman yang di cat putih di belakang rumah Kevin.

**

Tadi, beberapa detik setelah bayangan Marisa dan Kevin pergi, Debi mengedarkan pandangannya ke sekitar.

Debi menghela napas panjang kemudian mengembuskan perlahan. "Rumah ini begitu besar. Tapi rasanya hampa sekali tanpa kehadiran celoteh anak-anak kecil," keluhnya.

Perasaan ini selalu dipendam sendiri oleh Debi. Ia ingin seperti yang lainnya juga, hidup bahagia bermain dan bercanda dengan cucu mereka, bahkan sepertinya tidak masalah juga bila mempunyai cucu yang nakal sekalipun.

Debi sendiri heran, mengapa Marisa dan Kevin belum juga dikaruniai anak. Padahal mereka terlihat bahagia dan sehat-sehat saja.

Debi berjalan sambil terus memikirkan hal itu. Setelah di ruang depan ia kemudian duduk dan menyalakan televisi.

Wanita yang umurnya lebih dari setengah abad itu bahkan tidak tahu apa yang ditontonnya. Asal ada suara saja.

Pandangannya tiba-tiba buram, karena masih saja kepikiran dengan nasib keturunan Kevin. "Apa aku sebaiknya tanya lagi saja ya pada mereka?" tanya Debi bertopang dagu. Dan terjadi kekacauan tadi.

Debi menoleh ke samping kanannya, ketika Kevin, anak pertamanya sudah duduk di sampingnya.

"Ibu kenapa?" tanya Kevin dengan hati-hati.

"Ibu kan sudah bilang, ibu ingin cucu, ibu sudah lelah menunggu, harus berapa tahun lagi sih ibu menunggu?"

"Kami akan lebih berusaha Bu," jawab Kevin.

"Kau mau membiarkan aku mati sebelum bisa menimang cucu hah?" Dari tadi nada Debi selalu tinggi, urat-urat pada kepalanya menegang setelah itu merasakan pusing karena seperti ringan dan berputar. Ia lalu memijat-mijat pelipisnya.

Kevin membelalakkan matanya lebar, bagaimana tidak, ibunya menjadi melemas seperti itu. Ia lalu menguncang-guncangkan pundak ibunya dengan panik.

"Ibu, bangun Bu…"

Bukannya sadar ibu Kevin malah pingsan. Kevin dengan sigap menyangga tubuh ibunya yang tergolek bersandar di tubuhnya.

"Tolong…" Kevin berteriak meminta bantuan siapapun yang ada di sana, namun belum ada satupun yang menjawab.

Kevin lalu membopong tubuh Debi dan bergegas mengantar ke rumah sakit, ia benar-benar panik jika terjadi sesuatu pada ibunya tersebut.

Prang!

"Ibu!"

Marisa yang kaget melihat Kevin membopong Debi, spontan menjatuhkan baki yang ia bawa. Di atas baki tersebut terdapat cangkir yang berisi teh hangat yang akan Marisa berikan kepada Debi. Tapi kini malah jatuh dan menjadi pecah.

"Mbak Siti!" panggil Marisa pada asisten rumah tangganya.

Setelah panggilan kedua dan dengan suara yang lebih keras asisten rumah tangganya datang menghampiri dengan tergesa-gesa.

Melihat pecahan cangkir tersebut, Siti sang asisten rumah tangga terkejut sambil menutup mulutnya yang terbuka lebar. Ia tanggap harus berbuat apa. "Saya akan bereskan nyonya," ucap Siti.


next chapter
Load failed, please RETRY

Geschenke

Geschenk -- Geschenk erhalten

    Wöchentlicher Energiestatus

    Rank -- Power- Rangliste
    Stone -- Power- Stein

    Stapelfreischaltung von Kapiteln

    Inhaltsverzeichnis

    Anzeigeoptionen

    Hintergrund

    Schriftart

    Größe

    Kapitel-Kommentare

    Schreiben Sie eine Rezension Lese-Status: C2
    Fehler beim Posten. Bitte versuchen Sie es erneut
    • Qualität des Schreibens
    • Veröffentlichungsstabilität
    • Geschichtenentwicklung
    • Charakter-Design
    • Welthintergrund

    Die Gesamtpunktzahl 0.0

    Rezension erfolgreich gepostet! Lesen Sie mehr Rezensionen
    Stimmen Sie mit Powerstein ab
    Rank NR.-- Macht-Rangliste
    Stone -- Power-Stein
    Unangemessene Inhalte melden
    error Tipp

    Missbrauch melden

    Kommentare zu Absätzen

    Einloggen