Baiklah ini akan menjadi pagi yang terbaik walau aku tahu aku sedang banyak masalah.
Aku dan Riska memutuskan untuk jogging pagi - pagi. Karena pikiran kami yang sama alias sama - sama gabut, jadi daripada bermalas - malasan layaknya koal mending kita olahraga kan..
Tak perlu bersarapan aku langsung mengenakan pakaian olahraga yang bagiku masih tetap tertutup dan sangat tak nyaman. Kalau aku bisa kini aku sudah pakai celana pendek dengan kaos tanpa lengan sedikitpun.
Tentu saja aku tak memakai eprhiasan sedikitpun seperti SmartWatch, kalung dll.
Melihat keadaan dompetku yang sedang kritis begini otomatis ku jual semua perhiasan berserta HandPhone ku sekalian.
Makan saja masih dibebankan kepada Riska,, et dah.. Sampai kapan aku begini.
Ditengah perjalanan menuju alun - alun Amerika lagi - lagi aku bertemu Sinta, tetangga sebelah rumahku yang dulu.
Akhir - akhir ini kami sering bertemu. Apalagi disaat - saat lengah seperti ini.
Bisa gawat kalo dia tahu bahwa aku laki - laki. Yah.. Rumah Riska cukup jauh dari alun - alun membuatku beristirahat sejenak dipinggir jalan.
"Riska.. Duduk dulu.. Hahh.. Hah..."
Ucapku mengundang Riska untuk duduk bersebelahan sambil menahan nafas ku yang sangat tidak teratur.
Disaat itulah Sinta tidak sengaja melihatku dan mendatangiku yang sedang capek.
Tampak Sinta menutupi tangan nya dengan tas dan kantong sakunya dan perlahan mendekatiku dengan senyum menakutkan.
Pada awalnya aku mengira ekspresi Sinta adalah ungkapan rasa lelah nya tapi ternyata aku salah besar ketika Sinta melemparkan kecoa mainan yang dibuat dengan detail yang tak kalah nyata dengan kecoa asli. Serentak membuatku dan Riska kaget ketakutan dan langsung menjauh dari kursi.
Aku tahu mereka semua bilang aku pengecut, tapi memang benar kan. Serangga itu sangat menggelitik bila merayap perlahan dikakimu yang tengah asik mandi dengan HandPhone volume keras.
Ini sudah pasti membuat Riska yang pada awalnya senyam - senyum tak mengenal Sinta, langsung menyambar Sinta dengan marah.
Sudah pasti lah dia marah, orang lagi lelah dan panas seperti ini malah ngerjain tanpa alasan jelas alias dengan motif prank.
"Hey ! Sopan dikit dong.. "
Ucap Riska dengan marah. Yang hanya dijawab oleh tawa Sinta terbahak - bahak.
Selanjutnya aku hanya menenangkan Riska yang masih terpanas - panasi oleh pengalaman jahil ditengah terik nya matahari. Setelah perbuatanya tanpa berbicara sepatahpun Sinta langsung pergi meninggalkan kami yang penuh kekesalan sambil batuk - batuk mengulum tawanya
Melihat Sinta yang sudah jauh dan pasti tak akan mendengar, Riska langsung menyaut.
"Siapa sih.. Temanmu tadi !!??"
"Tetangga baru rumahku yang lama.., aku juga takan menyangka akan se jahil ini dia.."
...
Dengan nafas yang masih terenggap - enggap aku melihat Riska yang menatapku pucat sambil memegang dadanya.
Aku yang sadar bertanya kepadanya.
"Kenapa Ris..?"
Semakin ku pandangi semakin tak beres.
Ia tak menjawab apapun hanya nafasnya yang enggap - enggapan dan tubunya yang cukup berkeringat.
Sepertinya ia terlalu lelah ditambah lagi perbuatan Sinta sangat tidak pada waktu yang tepat.
Membuatku sedikit curiga pada Sinta yang selalu ingin ikut campur dalam hidupku. Maksudku dia selalu ada dimana - mana selama aku ada disana.
Riska yang tampak pucat duduk tumbang disampingku membuatku sangat cemas.
Sampai tak bisa berkata - kata.
Apalagi aku tak benar - benar mengerti apa yang sebenarnya terjadi pada Riska.
Makin lama ia makin tumbang dari kursinya. Sampai akhirnya menutup matanya dan menjatuhkan tubuhnya kearahku, serentak membuatku kaget.
Aku berteriak meminta tolong, sampai akhirnya seseorang menghentikan mobilnya dan memberi kami tumpangan menuju rumah sakit.
Aku hanya duduk menunggu dokter - dokter itu keluar memberikan hasil dari ruang pemeriksaan Riska.
Duduk dengan posisi membungkuk menyangga kepala dengan tangan.
Menunggu sambil menghentakan kaki ke lantai.
Mencemaskan Riska, sambil memikirkan mengapa Sinta bertingkah laku layaknya orang gila. Itu semua tercampur aduk dibenakku.
Seorang berbaju putih dengan pangkat dokter itu pun keluar dari ruangan dan langsung menemuiku.
"Gimana dok.."
"Maaf pasien anda Mati"
Mendengar itu langsung merundukan kepala dan hampir meneteskan seluruh air mata. Tak percaya akan apa yang terjadi dan mengapa secepat ini.
"Mengapa harus secepat ini dok... Padahal saya sudah mulai merasa dekat.. !! Mengapa nasib sa-...."
"Ssstt..."
Potong sang dokter dengan wajah tanpa sedih sedikitpun maupun simpati.
"Maaf mbak,, MATI itu Masih Di Teliti, mati lampu tadi.., tapi hasil test tadi pasien sudah sadar.."
Atas ucapan dokter itu membuatku langsung memerahkan kedua pipi dan menanggung malu atas ketidak telitian ku sendiri.
Lagian mengapa singkatan nya mengandung arti tajam sekali..
"Maap dok.. Hahaha.. Terimakasih."
Aku langsung kabur menuju ruangan tempat Riska dirawat.
Tampak Riska dipasang alat bantu nafas di hidungnya.
Aku mendekat melihat Riska yang masih sadar walau loyo dan lemas.
Aku menggapai tangan Riska yang tergeletak dengan jarum infus yang tertancap dipunggung tangannya.
Serentak Riska melepaskannya lagi
Dan berkata
"Apa sihh lo.. Jan kek drama deh.."
Aku langsung gugup dan duduk dikursi didepan ranjang rumah sakit Riska.
Cukup malu untuk menanggapinya, aku tak mau ini dibesar - besarkan.
Seakan aku lupa bahwa aku ini masih berwujud perempuan.
Dan jelas saja jika Riska berfikir aneh kalau aku memegang tanganya layaknya laki - laki seperti ini.
"Ehemm.. Kamu gpp kan Ris.."
Ucapku yang sedikit malu terhadap drama yang akan kumulai tadi.
Riska yang terbaring dengan infus dan pakaian khas berwarna biru dari rumah sakit ini sedikit mencondongkan kepala nya dan berkata
"Hemm.."
Membuka HandPhone dan mengecek pesan - pesan yang sudah kudapat selagi aku tak membukanya.
Tertanda dari Sinta tetangga Entut
"Maaf soal tadi, besok temui aku diRumah lama mu."..
Yang sama sekali aku tak menjawabnya.
Tiba - tiba saat asik membaca seseorang membuka pintu dan masuk.
Tampak seorang pria yang cukup sederhana menggunakan kaos dengan celana jeans biasa yang pastinya tak mahal masuk kedalam ruangan ini dan mengkhawatirkan Riska.
Mendekati Riska dan melakukan yang ingin kulakukan tadi. Memegang tangan Riska sambil mencemaskan ala gentleman..
Seandainya aku ini pria mungkin aku akan lebih dulu melakukan nya dari pada pria sederhana itu.
Melirik nya dari sofa kecil cokelat membuatku sedikit kesal dengan nya. Dia pikir dia adalah pangeran gitu. Sok - sok pegang tangan Riska.
Lagian Riska juga cuman kaget. Mungkin..
Tak ada luka sedikitpun, kenapa harus kasih bunga dan pegangan tangan seperti itu kan..
Jujur aku belum pernah mengenalnya semenjak bertemu Riska untuk pertama kalinya. Memang dia siapanya Riska..
" Riska kamu tak apa kan ?, ada yang sakit gak ?, aku kaget banget lohh waktu lihat kamu tadi.. !"
Aku menirukan ucapan pria tersebut dalam hati sambil menyudutkan bibirku.
Entah mengapa semakin lama ia disini hanya semakin memanas - manasi aku.
***
Keesokan harinya walau aku sudah punya janji dengan Sinta si tetangga blo'on itu.
Aku tetap mengabaikan nya.
Hanya menginap satu malam Riska sudah diperbolehkan untuk pulang. Menggunakan mobil Riska aku mengajaknya jalan - jalan dengan mengingat satu saran dokter yaitu 'jangan terlalu kelelahan untuk sementara waktu ini'.
Kami berhenti disalah satu tempat nongkrong yang cukup terkenal disvote
ReBucks Caffe, tempat yang selalu rame sepanjang waktu. Mulai dari kopi sampai makanan berat seperti nasi, mie, pizza. Sudah pasti tersedia semua disini.
Entah berapa banyak koki yang ada didalam. Sampai - sampai seluruh menu trending amerika sudah pasti ada.
Tunggu.. Aku melupakan sesuatu.. Aku tak memikirkan biaya yang harus kubayar diakhir suapan nanti.
Ini merupakan tempat berkelas bagaiman aku membayarnya nanti.
Kami mendapat tempa duduk outdoor yang cukup sepi.
Percayalah tempat ini sangat luas, jarak 1 paket meja dengan meja lain ada 1 kilo lebih.
Para pelayan - pelayan itu menghampiri kami dan mengerjakan tugas mereka dengan sangat baik.
"Mbak steak nya satu, tea caramel nya satu.."
"Saya air putih sama sari roti nya satu aja deh.."
Segera pelayan itu menutup bukunya dan berlari memberikan buku yang siap dibaca oleh para koki - koki itu.
Semoga saja hsrga air putih disini masih terjangkau. Kayak nya aku benar - benar salah sasaran hari ini.
Tadi Riska dimobil udah bilang sih..
"Emang kamu ada uang.. ?"
Merasa sedikit tak enak mendengarnya langsung kujawab dengan lantang.
"Tenang saja biar itu jadi urusanku !"
Aku tak terlalu berfikir jauh untuk itu..
Sekarang malah aku yang kena batunya kan.. Salah siapa sih ini.
Pesanan datang dengan cepat, sepertinya kami tidak perlu menunggu lebih dari lima menit pesanan sudah datang dan siap disantap. Melihat label struk yang diberikan oleh pelayan aku langsung berkeringat dingin.
Pulang - pulang dompet malah makin tipis.
Tak ingat tujuan utama ku sekarang adalah mencari uang agar tidak membebani Riska selalu.
Tertulis pada label yaitu
Steak $200
Tea Caramel $180
Air putih $80
Potongan roti $50
Sepertinya aku yang akan tumbang dikursi untuk selanjutnya nih..
"Terimakasih mbak.."
Ucap Riska kepada pelayan dengan senyum nya yang manis.
Dengan senyum manisnya saja sudah dapat membuatku tersipu.
Saat melirik tak sengaja aku mengetahui keberadaan Sinta.
Benar kan apa kataku, dia selalu mengikutiku. Tak ada kerjaan saja.
Aku tak ingin ia mengganggu kenyamanan kami disini. Aku langsung memindahkan tempat kami makan di ujung sana
Sepertinya kami sudah terlalu jauh.
Lagian belum tentu benar bahwa Sinta memang benar sengaja mengikutiku dan mencelakai Riska.
Walau tak terlihat jelas karena pengaruh jarak, tapi Sinta terus memperhatikan ku seakan mencoba membalas pelanggaran perjanjian yang telah kuperbuat.
Thanks for reading, please follow and vote!