Aku berhasil mengakhiri ‘kencan’ dengan sukses: tidak ada masalah, tidak ada rasa menyesal, dan aku tidak membiarkan Adib menciumku.
Dia ingin menciumku, aku bisa melihatnya, tapi aku tidak ingin memberikannya—walau ingin. Itu terlalu beresiko untukku dan ketidakjelasan hubungan kami ... ya, itu juga salah satu alasannya.
Aku buru-buru masuk rumah saat mobil yang dikemudikan Adib berhenti, menutup pintu depan dan bersandar, semua berjalan lancar tapi entah kenapa aku tidak merasa senang.
Malam ini harusnya menjadi malam yang ‘normal’. Aku sudah beberapa kali makan malam dengan pria, dan tidak ada bedanya dengan malam ini. Namun sesuatu yang ‘lain’ tentang Adib secara tak terduga datang, dan hal itu membuatku ingin mengenalnya lebih dalam bahkan, ada sedikit perasaan bahwa aku menginginkannya. Secara fisik, itu akan sangat logis—aku manusia, dan dia pria yang sangat tampan—tapi aku takut menginginkan dia di level lain.
Dan sialnya, malam ini aku tidak bisa tidur karena terus mimikirkan Adib Bramantyo. Bukankah seharusnya kami bertukar nomor ponsel? Itu normal, kan? Bagaimana jika dia ... ah! Bagaimana jika aku ingin tahu kabarnya? Sangat tidak efesien kalau satu-satunya cara agar dapat tahu kabarnya adalah saat di kampus atau saat tiba-tiba dia muncul di hadapanku—seperti biasanya.
***
Senin pagi akhirnya datang juga dan aku merasa bersemangat datang ke kampus. Sebenarnya aku lelah, karena semalam aku tidur hanya dua jam, tapi aku sangat ingin bertemu Adib. Kemarin aku berharap dia tiba-tiba muncul di depan rumah lalu mengajakku pergi, tapi tidak terjadi.
“Na, tebak siapa yang akan liburan ke Bali?”
Sambil memasukkan buku di dalam loker aku menatap Rini dan berkata, “Aku? Katakan bahwa itu aku dan kau akan jadi sahabatku selamanya.”
“Sayangnya ... bukan.”
Aku memutar mata dan menutup pintu lokerku. "Kau?” tanyaku datar.
"Bukan aku juga. Tapi ... ayah dan ibuku. Mereka akan pergi hari Sabtu, dan aku ingin mengadakan pesta. Kau tahu, seperti yang dilakukan remaja Amerika?”
“Tidak,” kataku sambil menggeleng. “Aku tidak akan datang walau diundang.”
“Kau tidak akan diundang, tapi kau harus membantuku membuat pesta.”
“Yang benar saja!”
“Ya, tentu benar. Kau hanya harus belanja makanan ringan atau bir.”
"Aku tidak punya tabungan untuk membeli makanan ringan dan bir."
“Aku yang akan memberimu uang, kau tinggal membelinya,” katanya sambil memutar mata. "Tapi kau tidak usah minum, karena terakhir kali ... kau mabuk hanya karena dua kaleng bir.”
“Itu waktu aku minum pertama kali!”
“Terserah kau saja, yang penting kau harus datang. Harus!”
“Entah aku bisa atau tidak. Kau tahu kan, aku juga harus menjaga adik-adikku?”
“Katakan pada ibumu untuk menitipkan mereka di tempat nenekmu.”
Sepertinya aku akan kalah berdebat dengan Rini, dia memang keras kepala sekali dan bodohya, sedari tadi aku berpikir untuk mengajak Adib ke pesta itu. “Akan kupertimbangkan,” kataku dengan gaya terpaksa. “Kau akan mengundang banyak orang?”
“Hanya yang dekat-dekat saja,” jawabnya.
“Bagaimana jika aku mengundang seseorang?” tanyaku ragu-ragu.
Dia menatapku dengan tatapan tertarik. “Riko?”
"Tidak," kataku, agak tegas. “Kau juga mengundang Riko?”
"Mungkin. Aku pikir kau akan senang? ”
Aku menggeleng. “Riko adalah berita lama. Tidak ada lagi Riko.”
Dia tampak terkejut. "Yang benar? Kau tidak dekat lagi dengannya dan kau tidak cerita kepadaku?"
“Untuk apa? Lagian aku tidak ada hubungan spesial dengan Riko. Tapi aku sedang dekat dengan seseorang. Bukan dan belum jadi pacarku tapi ... mungkin akan menyenangkan jika dia datang.”
"Siapa?”
Aku mencoba untuk tidak meringis saat berkata, "Adib Bramantyo."
Senyuman langsung hilang dari wajah Rini ketika mendegar nama itu. “Adib Bramantyo?”
Aku mengangguk, dan entah kenapa ingin meminta maaf.
“Kau ingin aku ngundang anak gengster ke rumahku? Kau serius?" Dia mengulurkan tangannya dan memegang dahiku. “Aneh, kau tidak sakit.”
"Aku tahu dia bukan ‘orang biasa’ bagi sebagian kita, tapi ...”
Dia menatapku dan bertanya, "Kau sedang dekat dengannya?”
"Tidak—" Aku berhenti, wajahku memerah, dan aku hampir berkata 'belum' bukannya 'tidak'. "Baiklah, lupakan saja."
“Hey, ayolah!” katanya. “Keluarganya melakukan hal yang mengerikan, Irina. Pria itu mungkin terlihat tampan dari luar, tapi ... astaga. Aku tidak bisa mengundangnya. Karena jika ayahku tahu aku mengundang seorang gengster ke rumah, aku akan dimarahi habis-habisan.”
“Kau tidak mengenalnya,” gumamku, tapi aku sudah kehabisan energi untuk berdebat. Bahkan untuk sekarang, setelah mendengar komentarnya tentang Adib, aku takut dia akan membuat Adib merasa tidak diinginkan di pestanya jika diundang.
“Tidak, aku tidak bisa mengunangnya.” Rini menambahkan.
"Ya, lagian sepertinya aku tidak bisa datang ke pesta," kataku padanya dengan mengangkat bahu cepat. “Jika kamu ingin nongkrong, aku bisa nongkrong, tapi aku tidak bisa keluar sepanjang malam dan minum-minum dan ... “
“Kau tidak mau datang ke pestaku karena aku tidak mau mengundang Adib Bramantyo?” tanyanya sambil menatapku seperti tidak percaya.
“Bukan karena itu,” kataku, mencoba berkelit.
“Jadi?”
“Aku selalu mengimbangi keinginan orang lain, termasuk kau” kataku tegas. Aku tidak bermaksud mengatakannya meskipun itu benar. “Aku selalu bersedia datang ke tempat yang kau minta meskipun di tempat itu kau juga mengundang cewek yang menyukai Riko, dan sebenarnya aku sama sekali tidak ingin ada di tempat itu. Dan mengenai Adib, apakah menurutmu dia semenjijikan itu?”
Mulut Rini ternganga, tidak percaya bahwa aku bisa menjadi sangat menyebalkan—baginya, tentu saja.
"Kau harus periksa ke psikolog," katanya lalu pergi meninggalkanku.
***
Setelah berbicara dengan Rini tentang Pesta Amerikanya, aku merasa hari ini semakin melelahkan. Namun semangat itu datang lagi ketika aku sampai di dalam kelas, saat mataku menangkap Adib sedang duduk di kursi samping kursiku. Tumben dia datang lebih awal dan, hal baiknya, aku tidak perlu buru-buru meninggalkan kampus saat kelas usai untuk menghindari Adib. Karena aku memutuskan keluar kelas bersamanya nanti.
“Kau terlihat lelah,” katanya setelah aku duduk.
“Terima kasih, aku anggap itu sebagai bentuk perhatianmu,” balasku.
Dia tersenyum lalu berkata, “Mau keluar?”
Aku mengernyit. “Maksudnya?”
“Bolos,” jawabnya berbisik. “Akan aku traktir pizza kalau kau mau.”
Itu adalah tawaran yang terlalu menggoda untuk ditolak, apalagi sekarang aku sedang ‘perang dingin’ dengan Rini.
“Kau yakin kita tidak akan dapat masalah?” Aku bertanya.
Sebagai tanggapan, Adib memutar matanya.
Dua puluh menit kemudian, duduk berseberangan dengan Adib sambil menyantap pizza dan sosis berukuran besar (digoreng? Tidak-tidak! Sepertinya dipanggang), aku yakin kali ini sudah membuat keputusan yang tepat.
Mengambil sepotong sosis dan bersiap untuk memasukkannya ke dalam mulut, aku berkata, "Bung, aku jarang mendapatkan topping kalau makan pizza, dan sekarang kau membelikan yang lebih dari topping."
Sambil mengernyit Adib bertanya, "Kenapa?"
"Adik-adikku. Mereka suka keju, atau pepperoni. Jadi mereka akan mengambil topping-nya, aku yang makan rotinya.”
“Masuk akal. Anak-anak memang suka itu,” katanya, mengangkat potongan pizzanya yang kedua. Gumpalan keju yang lengket membentang sampai akhirnya pecah, dan dia menumpuknya di atas pizza sebelum menggigitnya.
“Tempat ini bagus.”
“Kau belum pernah ke sini?”
Aku menggeleng. “Aku berpikir untuk mencoba makan di sini beberapa kali, tapi ... tidak pernah datang.” Sebenarnya tempat ini terlalu mahal untukku. Ada tempat pizza lain di dekat sini, dan aku bisa mendapatkan pizza ukuran yang sama dengan harga kurang dari setengahnya.
"Keluargamu sudah lama tinggal di sini?" tanyanya sambil menatapku.
“Tiga tahun. Sebelumnya kami tinggal di Pringsewu, dan sebelumnya lagi ... di Tangerang—ibuku berasal dari sana. Pacarnya—Om Benny—yang meminta ibuku untuk pindah ke sini. Kebetulan Om Benny menawarkan pekerjaan kepada ibuku dengan gaji yang lumayan.”
“Benny? Bukannya pacar ibumu bernama ... Anton? Kau ingat, aku sembunyi di kamarmu saat dia menyebutkan nama itu.”
“Ya, Om Benny menikah dengan wanita lain. Yang lebih muda. Seumurku mungkin. Dan dia pindah ke Kalianda,” jawabku. “Ibuku berencana pindah tahun depan.”
“Kenapa harus tahun depan?”
“Karena waktu sewa rumahku habis.”
Adib mengangguk. “Lalu, kau juga ... ingin bekerja?”
Oh ya, dia mendengar semuanya saat itu. “Karena ibuku memiliki tagihan yang cukup banyak. Jadi, aku berpikir untuk membantunya. Setidaknya, ya, aku bisa biayai hidupku sendiri.”
“Hebat,” katanya. “Dan, kalau ibumu menikah dengan pacarnya, kau berarti hidup dengan ayah tirimu?”
“Ya, itu pasti. Dia punya rumah di daerah Antasari.”
“Punya anak?”
"Tidak. Dia masih muda. Mungkin ... umurnya tiga puluh tahun.”
“Aku menebak kau pasti lebih senang jika ngekos, menjauh dari itu semua,” katanya.
“Aku pernah berpikir seperti itu, tapi akan memakan biaya. Mungkin jika aku memiliki pekerjaan sampingan, hal itu bisa dipertimbangkan.”
“Kuliahmu?”
Aku mengangkat bahu, dan tidak benar-benar ingin membicarakannya. “Bagaimana denganmu? Mengapa kau mengambil jurusan ekonomi?”
“Hanya ingin. Sebenarnya orang sepertiku tidak perlu kuliah.”
Sambil mengernyit, aku bertanya, "Kenapa?"
Bibirnya terangkat membentuk senyum kecil yang dipaksakan. “Tidak membutuhkannya dalam pekerjaanku.”
Ah, ya… tentu. Aku mengunyah dan menatapnya saat terus menghindari tatapanku. “Apakah … um … maksudku, jelas aku hanya tahu dari yang kutonton di film dan acara TV tentang mafia atau gengster, tapi tidak kah kau punya pilihan menentukan masa depanmu sendiri?”
Sambil menggeleng, dia berkata, “Tidak. Aqmal tidak mungkin membiarkanku melakukan itu.”
"Kenapa tidak?"
“Karena dia bajingan.”
Aku mengangguk, menatap pizzaku. “Siapa Aqmal? Dia bos? Atau … ?"
“Dia sepupuku. Seorang Bramantyo yang sangat dihormati, dan Aqmal, sekarang dia menjadi pemimpin keluargaku.”
“Apakah keluargamu seperti ... kau pernah nonton film The Godfather?” tanyaku, dan langsung merasa bodoh saat dia menyeringai kepadaku.
"Tidak." Dia tertawa kecil, menjatuhkan pizzanya ke piring. “Sebenarnya, keluargaku tidak seperti yang kau pikirkan. Kami bukan mafia Sisilia. Al Capone, dan semua hal yang kau lihat di TV, kami tidak seperti itu.”
“Oh, jadi bukan? Tapi aku pikir ... "
“Tidak. Keluarga ayahku memang orang Italia, tapi mereka memulainya di sini, setelah Perang Dunia Kedua. Aku belum pernah ke Italia, mungkin tidak akan pernah. Kami bukan yang seperti itu walau ... orang terus mengaitkan dengan garis keturunan dan kebetulan apa yang keluargaku lakukan hampir sama saja.”
Aku mengernyit, bingung. "Orang Italia? Dan, bagaimana keluargamu memulainya?"
“Kakek buyutku melakukan berbagai hal untuk bertahan hidup di kota ini, aku pikir. Ya ... jadi semua ini berawal dari situ, tidak teroganisir seperti, mafia. Orang luar mungkin hanya mengenal atau menyebut satu nama untuk kami, Bramantyo—“
“Tunggu!” aku menyela. “Kenapa Bramantyo? Itu bukan nama Italia, kan?”
Adib tersenyum. “Pribumi yang memberikan nama itu kepada buyutku. Kenapa? Aku lupa.”
Sambil tersenyum aku mengangguk-angguk. “Baiklah, lanjutkan.”
“Ya ... bagi kami ... tidak seperti itu. Ada pemetaan di dalam keluarga Bramantyo dan menjadikan itu kelompok-kelompok kecil. Dan cara kami berbeda-beda. Kami memiliki banyak pengikut yang tidak ada hubungan darah dengan kami, tetapi orang-orang inti; harus yang memiliki darah Bramantyo. Ayah Aqmal adalah bos sebelumnya, dan Aqmal adalah pewarisnya. Tapi nanti, saat dia memilki anak laki-laki ... “
"Dia akan resmi menjadi bos berikutnya setelah memiliki anak laki-laki?" aku bertanya.
Adib mengangguk sekali. “Kecuali terjadi sesuatu yang mengubah rencana itu, tentu saja. Jika seseorang membunuh Aqmal, pewaris akan berubah. "
"Astaga," kataku dengan mata terbelalak. “Jika itu terjadi, kau tidak merasa sedih?”
“Hm?”
Aku tersenyum. "Sungguh aneh mendengar seseorang berbicara begitu santai tentang anggota keluarga yang berpotensi dibunuh."
“Mereka semua bajingan,” katanya dengan nada rendah. “Setiap pria di keluarga saya bajingan, dan Aqmal adalah yang terburuk."
“Bagaimana dengan ayahmu?” Tanyaku, sambil bermain-main dengan sedotan.
“Jika nama belakangnya adalah Bramantyo dan mereka lelaki, anggap saja mereka semua berengsek. "
Aku tersenyum. “Kau?”
“Kita akan lihat,” katanya, seolah itu tidak terlalu penting. Setelah mengambil pizzanya, dia berkata, "Ngomong-ngomong, kita tidak seharusnya membicarakan ini."
"Aku suka mengetahui banyak hal tentang hidupmu," kataku padanya.
Sedikit mengangguk, dia berkata, “Aku mengerti, tapi aku tidak ingin melibatkan kau dalam hal itu dan tidak ingin kau terlalu tahu. ”
"Aku tidak akan mengatakan apa-apa kepada siapa pun," kataku padanya, lalu mengambil sepotong sosis. “Pasti melelahkan, mengkhawatirkan tentang merahasiakan seluruh hidupmu dan tersegmentasi seperti itu."
Aku mendongak dan melihat dia menatapku, kilatan lembut di matanya yang langsung melepaskan segerombolan kupu-kupu di perutku. Aku menawarkan senyum malu-malu sebagai tanggapan, lalu aku merusaknya dengan melahap sosis dan mengunyah dengan suara yang berisik.