Aku telah melakukan pembunuhan. Pembunuhan berdarah dingin. Pada banyak pria yang mengenakan wajah berbeda dari setan. Dan aku melakukannya dengan berbagai alasan. Entah mereka memperkosa seorang anak, membunuh orang tak bersalah, atau menghancurkan hidup seseorang yang tak pantas mendapatkannya.
Tapi aku tak pernah membunuh karena cemburu. Selalu ada yang pertama untuk segalanya, kurasa.
Archibald Talaverra sedang menempelkan bibirnya pada gadisku, tangannya menjelajah ke dalam celananya. Dia menyentuhnya. Sialan, menyetubuhinya dengan jarinya. Menggumamkan kata-kata kotor yang membuat pipinya merona.
Dan saat itu, aku memutuskan kalau dia tak akan hidup malam ini.
Begitu aku melihat mereka bersama, seluruh kendaliku hampir runtuh. Aku ingin menyerbu klub itu dan menyeretnya keluar dari sana.
Karena bukan hanya pria lain yang mencoba mengklaim gadisku, tetapi Archibald Talaverra adalah seorang psikopat. Psikopat sejati.
Dia memukuli mantan istrinya hingga babak belur beberapa kali, menjadikan hidupnya neraka saat wanita itu akhirnya memutuskan untuk menceraikannya. Wanita itu masih dirawat di rumah sakit jiwa, menjalani perawatan karena PTSD parah. Dia benar-benar menghancurkan wanita itu, dan sementara dia menghabiskan hari-harinya mencoba pulih dari kekejamannya, Talaverra menikmati malam-malamnya di klub, memilih wanita berbeda untuk dibawa pulang dan ditiduri.
Terakhir kali aku dengar, dia bukan pecinta yang lembut. Caranya bermain kasar tidak pernah memberikan kenikmatan, terutama ketika wanita-wanita itu berakhir dengan hidung berdarah dan bibir pecah.
Bajingan itu pantas mati. Dan aku senang mendapat kehormatan itu.
Kejahatan pria ini dan keluarganya hanya remah-remah dalam skema besar. Mereka terlibat dalam kejahatan kecil, merasa diri mereka mafia Seattle. Tapi mereka cuma semut dibandingkan dinosaurus yang berkeliaran di kota ini.
Aku biarkan mereka selama ini, karena ada ikan yang lebih besar untuk ditangkap daripada penjahat rendahan yang merasa diri mereka penguasa kejahatan. Ancaman mereka pada kemanusiaan tidak ada apa-apanya dibanding orang-orang yang aku buru dan bunuh. Sampai mereka mulai berdagang sesuatu yang lebih serius daripada serbuk putih, mereka tak pernah masuk radarku.
Sampai sekarang.
Tak ada yang bisa menghentikan Addie membuka mulut dan melapor pada polisi kalau dia punya seorang penguntit. Tak peduli bahwa aku sudah menghancurkan semua bukti laporan polisi itu.
Dan jika keluarga Talaverra mengetahui hal itu, mereka akan membunuh Addie untuk sesuatu yang sama sekali di luar kendalinya. Tidak peduli bahwa keluarga ini punya banyak musuh. Segala kemungkinan akan dihabisi begitu mereka menemukan bahwa pewaris kekaisaran Talaverra telah dibunuh.
Jadi malam ini, aku akan membersihkan Seattle dari hama-hama kecil yang sudah berkumpul, sehingga aku bisa fokus kembali pada hal-hal yang lebih besar. Membuat Adeline jadi milikku dan menghancurkan jaringan pedofil yang berkeliaran.
Aku memutar leherku, berjalan cepat ke pintu depan, dan mengetukkan kepalan tanganku sekeras mungkin ke kayu itu. Aku tuangkan semua amarahku, tak peduli kalau kayu itu retak di bawah tinjuku. Sama seperti malam saat bajingan berpenis kecil itu ada di sini. Kabur dari rumah dalam keadaan telanjang dengan hanya mengenakan satu kaus kaki, mengutuk nama Addie.
Aku lega melihat Addie sendiri yang menendangnya keluar. Itu satu-satunya alasan aku tak membunuhnya malam itu. Tapi itu tak berarti aku tak memotong lidahnya untuk kata-kata yang dia lontarkan pada Addie.
Dia masih belum tahu soal itu, karena aku sudah mengusirnya dari kota ini dan melarangnya menghubungi Addie lagi.
Aku menyelinap kembali ke bayang-bayang di luar teras.
Aku tahu tipe Archie. Dia akan muncul dengan gaya pahlawan, berpikir dia penyelamat bagi gadis dalam kesulitan. Siap melawan serigala jahat besar seolah dia bukan nenek tua yang akan segera dilahap.
Nyatanya, dia hanya seekor rubah gila yang berpura-pura jadi serigala. Gigitannya menyakitkan, tapi tak sebanding dengan predator sejati.
Tepat sesuai dugaan, Archie membuka pintu dengan kasar, tangan memegang pistol.
"Keluarlah, bajingan. Aku tahu kau di sana."
Datanglah padaku, Archie.
Dia ragu sejenak di ambang pintu, merasakan bahaya yang tersembunyi dalam kegelapan.
Tapi setelah beberapa saat, dia menjadi pengecut dan berlari keluar pintu, menuruni tangga teras. Kepalanya menoleh, matanya membesar saat dia menangkap sekilas wajahku, dengan setangkai mawar merah di mulutku, batangnya terjepit di antara gigiku.
Aku menampakkan gigiku, senyum liar yang bisa membuat iblis pun merinding. Sebelum dia sempat bereaksi, aku meloncat keluar, meraih lengannya, dan memutarnya. Tanganku menempel di mulutnya saat aku menarik punggungnya ke dadaku.
Dengan pisauku berputar, aku menusuk perutnya dua kali. Di titik yang tepat agar tak merusak organ vital. Dia mengerang di bawah tanganku, shock membuatnya hampir tak bersuara.
Sebelum kesadarannya pulih dan dia mulai berteriak, aku mendorongnya menjauh dan memberikan satu pukulan tajam ke belakang kepalanya.
Semua selesai dalam sepuluh detik, tanpa satu suara pun keluar dari mulutnya.
Lenganku menyambar, menangkapnya di bagian belakang jasnya sebelum dia mencium tanah dingin dan berlumpur. Tak sadarkan diri, darah mengucur deras.
Aku harus menahan luka itu sebelum dia kehilangan terlalu banyak darah.
Tapi pertama-tama, aku tarik mawar dari mulutku dan mencelupkan kelopaknya ke dalam darah yang mengalir dari lukanya.
Tak bisa kubiarkan si tikus kecilku berpikir bahwa tak ada konsekuensi saat membiarkan pria lain menyentuh apa yang jadi milikku. Dia akan segera tahu bahwa aku tak membuat ancaman kosong.
Aku sandarkan tubuh Archie di teras sebentar, lalu aku melangkah ke depan pintu dan melemparkan mawar itu ke depan pintunya. Aku terlalu marah untuk melakukan lebih dari itu.
Kemudian, aku angkat tubuhnya dan mulai berjalan ke hutan di mana Mustang-ku menunggu. Saat polisi tiba, semuanya sudah terlambat.
Jejak darah akan mengarahkan mereka ke bekas ban, dan mungkin mereka bisa mempersempit model dan jenisnya dari jejak tersebut, tapi bukti itu akan segera hilang.
Polisi tak akan tahu ke arah mana harus mencari. Dan keluarga Archie akan mengira musuh-musuh mereka akhirnya berhasil menangkapnya.
Dan mereka tidak salah. Mereka hanya tidak akan bisa menebak siapa pelakunya sampai aku berdiri di depan mereka dengan pisau tertancap di leher mereka.
"Lepasin aku, bangsat! Kau pikir aku orang yang bisa kau mainkan? Kau tahu siapa aku dan siapa keluarga ku?"
Mulutnya akan distaples rapat dalam dua detik kalau dia terus ngoceh, itu aku pastikan. Aku katakan itu padanya, dan dia menjawab dengan tawa seperti hyena.
Aku berbalik dan menghantam mulutnya, sementara tetap menjaga Mustang-ku melaju lurus.
Kata-kata kasar keluar dari mulutnya, tapi tak lebih terang daripada darah yang mengalir bersama mereka.
Sekarang tampangnya tak secantik sebelumnya.
Dia akan merasakan yang jauh lebih buruk begitu aku sampai di tempatku nanti. Dia berani menyentuh dan berbicara tentang gadisku, dan ada konsekuensi untuk kesalahan bodoh seperti itu.
Dia sadar sekitar lima menit setelah perjalanan dimulai. Dua potongan kain dari bajunya diikat erat di sekitar setiap luka tusukan di perutnya. Tangan dan kakinya terikat erat—tidak ada kesempatan dia bisa lolos dari itu.
Aku sudah terlalu banyak berlatih.
Dia terus ngoceh sejak dia bangun, dan itu membuat kepalaku seperti mau meledak. Dia melontarkan ancaman kosong seperti peluru, tapi sebenarnya hanya kertas yang tertiup angin. Tak satupun dari mereka mengenai sasarannya. Bahkan, tak ada yang mendekati.
Tapi begitu dia menyebut Addie, amarahku membuncah menjadi niat membunuh.
"Ayolah, bro. Jangan terlalu serius hanya gara-gara cewek? Suaranya mungkin cocok buat film porno, dan vaginanya ketat banget, tapi sial, kau bisa mendapatkan yang seperti itu di cewek-cewek lain juga. Aku sudah tidur sama banyak dari mereka."
Kematian yang tadinya bakal terjadi cukup lambat kini akan menjadi kematian paling lambat yang pernah ada sejak awal keberadaan manusia.
Sudah cukup buruk dia bicara tentang gadisku dengan cara yang menjijikkan, tapi kemudian dia memperparah dengan mengisyaratkan bahwa Addie bukanlah sesuatu yang istimewa.
Dia adalah yang pertama dari jenisnya yang pernah ada, dan takkan pernah ada yang lain sepertinya.
Aku belok masuk ke jalan menuju gudangku. Bangunannya tak begitu besar, dulunya digunakan untuk memproduksi kamera oleh perusahaan sialan yang bangkrut dalam lima tahun.
Bangunan itu disita, dan aku membelinya dengan harga sangat murah. Lalu aku habiskan ratusan ribu dolar mengubahnya menjadi benteng yang tak bisa ditembus.
Lantai utama kuubah menjadi ruang hidup dengan sistem keamanan tercanggih. Seekor semut pun takkan bisa masuk tanpa aku tahu.
Lantai kedua adalah ruang kerjaku. Puluhan komputer dan teknologi ilegal memenuhi ruangannya, memungkinkan aku melakukan apa yang perlu dilakukan. Dan di basement, di sanalah semua urusanku diselesaikan—tempat para pedofil kusiksa dan kubunuh saat aku butuh informasi.
Aku membangun garasi bawah tanah yang langsung mengarah ke basement. Memudahkan saat aku harus membawa brengsek setinggi enam kaki dua ini ke meja.
Aku pria besar, tapi tetap bisa keseleo punggung seperti orang lain. Aku masih manusia, sialan.
Setelah menutup pintu garasi, aku mematikan mobil dan berbalik.
Aku mendesah melihat kondisinya. Biasanya, aku lebih siap saat menculik orang. Mereka masuk ke bagasi, jadi aku tak perlu khawatir mobilku kotor. Tapi tadi, karena buru-buru, aku lempar dia begitu saja ke kursi belakang.
Darahnya sudah di mana-mana, dan aku harus membayar ekstra buat tim bersih-bersihku untuk membersihkan noda itu. Dengan darah sebanyak itu, siapa pun pasti bertanya-tanya.
Tapi mereka dibayar terlalu mahal untuk bertanya hal-hal bodoh yang bisa bikin mereka mati.
"Kita bisa lakukan ini dengan cara mudah atau cara sulit. Aku bisa bikin kau pingsan, atau atau bisa jadi anak baik dan diam di tempat."
Mulutnya yang berdarah membentuk kata "fuck," dan bukan jenius namanya kalau aku tak tahu kata apa yang bakal keluar berikutnya. Sebelum suku kata pertama keluar, aku sudah menghantam hidungnya.
Bunyi tulang yang remuk di bawah tinjuku itu hampir seperti orgasme. Saat aku menarik tinjuku, darah sudah menyembur dari hidungnya yang patah. Dia meludah, dan sebuah gigi terbang keluar dari mulutnya, jatuh ke lantai mobilku.
Aku akan menendang pantatnya hanya karena itu.
Aku keluar, memutari mobil, dan membuka pintu.
Dia mulai memprotes, tapi kata-katanya berubah menjadi tidak jelas ketika aku mencengkeram kerahnya dan menyeretnya keluar. Dengan anggota tubuh terikat, dia merasakan setiap guncangan dan benturan saat tubuhnya kutarik keluar dan kubawa ke meja.
Dia menggeliat seperti cacing di ujung kail, dan dari ekspresi paniknya, aku tahu dia merasakan itu—perasaan kalau nyawanya kini berada di tepi jurang, dan aku siap menendangnya ke dalam kegelapan.
Meski dia meronta, aku berhasil menempatkannya di atas meja bedah, mengurai tali tertentu sehingga bisa mengikatnya di meja sambil tetap membuatnya tak bisa bergerak.
Dia menoleh dan melihat Fernando yang sudah mati di meja lain.
Setelah aku mengantar Sicily, Michael mengantarkan Fernando ke tempatku sementara aku pergi ke Parsons Manor untuk mencari informasi. Addie dan temannya sedang pergi ke klub malam, jadi aku mengikuti mereka.
Dibutuhkan seluruh kesabaran untuk tidak menembak kepala setiap pria yang menggoyangkan pinggul mereka ke tubuh Addie. Aku memutuskan pulang dan bereskan urusan sebelum melakukan hal bodoh seperti menculiknya.
Saat aku menginterogasi Fernando, aku memasang monitor dan memantau Addie lewat kamera klub. Aku akui, metode penyiksaanku jadi jauh lebih berdarah saat melihat Archie membawanya ke lantai atas.
Aku mendapat informasi yang kubutuhkan dari Fernando. Proses mereka menculik gadis-gadis, nama-nama kurirnya, dan siapa yang jadi atasannya. Ternyata orangnya ada di Ohio, jadi aku serahkan urusannya ke tentara bayaran lainnya. Mereka akan mendapatkan informasi tentang bosnya dan merangkak naik ke rantai komando.
Para kurirnya sudah ditemukan dan jadi target. Jadi setelah aku selesai mengurus dua bajingan ini, peluru penembak jitu akan menghantam kepala mereka, lalu giliran keluarganya Archie.
"Apa-apaan kau, brengsek?" Archie meludah, nada suaranya campuran antara takut dan muak. Wajah Fernando sudah mulai bengkak.
Aku hanya mengangkat bahu, tak peduli. "Malam ini ada banyak mayat yang harus kubereskan. Akan lebih mudah kalau kubuang semuanya sekaligus."
"Dengar, apa pun yang keluargaku lakukan, kita bisa buat kesepakatan," Archie mencoba bernegosiasi, kata-katanya sedikit kacau dan tidak jelas karena giginya yang patah. Hidungnya sudah bengkak dan memar, bibirnya yang sobek dan bengkak juga menambah penderitaan. Dia terlihat seperti habis bertarung lima ronde di ring tinju dengan tangan terikat di belakang.
"Aku tidak punya urusan apa pun dengan keluargamu," jawabku tenang. "Setidaknya sampai sekarang."
Dia terdiam sejenak, menatapku dengan tak percaya saat otaknya memproses bahwa aku bukan musuh keluarga Talaverra.
"Terus kenapa kau melakukan ini? Karena cewek sialan itu?" tanyanya, suaranya mulai histeris.
Aku mendekat, membiarkannya melihat wajahku yang penuh luka. Jika bekas luka ini tidak cukup membuat orang menjauh, biasanya sorot mata yang mematikan ini sudah lebih dari cukup.
"Dia yang menginginkanku. Bukan salahku kalau cewek itu tidak mau denganmu."
Aku mendesah dan kembali berdiri tegak. Aku tidak akan repot-repot menjelaskan diriku kepada bajingan ini. Dia tidak akan pernah paham obsesiku, dan aku pun tak peduli apakah dia mengerti atau tidak.
Yang dia nggak tahu adalah begitu aku memperkenalkan diri dengan benar pada Adeline Reilly, dia nggak akan bisa memikirkan siapa pun lagi.
Aku akan menghabisinya dari dalam, sampai setiap hembusan napasnya hanya akan memperkuat api yang aku ciptakan di dalam dirinya. Seperti oksigen yang memberi makan api, aku akan menguasai setiap inci tubuhnya sampai dia tak bisa memikirkan apa pun selain bagaimana caranya agar aku lebih dalam lagi di dalam dirinya.
Dia mungkin akan takut padaku pada awalnya, tapi ketakutan itu hanya akan menyulut gairahnya. Dan aku akan sangat senang memberikan rasa sakit ketika dia terlalu dekat dengan api.
Di sampingku ada nampan berisi alat-alat yang tertata rapi. Tanpa berpaling, aku meraih alat pertama yang kugenggam.
Obeng bergerigi. Dibuat khusus untuk menyiksa. Militer menggunakan barang seperti ini, tanpa diketahui publik. Bukan berarti pemerintah mau dengan sukarela mengakui bahwa mereka sering menyiksa penjahat perang dengan metode yang sangat keji.
Publik memang tidak bodoh, tapi mereka juga sama sekali tidak tahu seberapa bejatnya pemerintahan kita.
Matanya membesar ketika dia melihat obeng itu.
Aku tersenyum. "Belum pernah pakai yang ini sebelumnya," kataku sambil memutar obeng itu, memberikan kami berdua pandangan yang jelas pada setiap ujung tajamnya. Begitu alat ini masuk, sakitnya akan jauh lebih parah saat ditarik keluar.
Aku tidak sabar.
"Bro, kita bicara baik-baik. Cewek itu tidak sepadan dengan kau membunuh ku. Kau tahu apa yang bakal keluargaku lakukan terhadap mu? Sama dia?"
"Apa kau benar-benar pikir aku hanya akan membunuhmu?" balasku, menaikkan alis untuk menunjukkan betapa tidak terkesannya aku dengan peringatannya.
Wajahnya memerah seperti apel yang dulu ibuku petikkan untukku dari kebun waktu aku masih kecil. Dulu, aku suka sekali apel-apel itu.
Ancaman keluar dari mulutnya, dipicu oleh kemarahan atas nasib buruk keluarganya.
"Kau ngelakuin ini cuma karena aku hampir ngeseks sama cewek?! Aku bahkan tidak tahu kalau dia milikmu," dia berteriak, urat-uratnya menonjol di dahinya.
Pemandangan yang tidak sedap.
Sebagai jawaban, aku menghujamkan obeng itu ke perutnya. Dia menatapku, mulutnya terbuka lebar karena terkejut. Beberapa detik kemudian, dia batuk darah. Berbagai emosi berkilat di matanya. Aku yakin aku melihat lima tahap kesedihan di sana juga.
Aku menunduk dan menggertakkan gigi, "Apa yang kau dan setiap bajingan lain yang bahkan berani meliriknya akan pelajari adalah, tidak ada yang aman saat menyangkut dia. Aku tidak peduli kalau kau hanya bernapas ke arahnya dengan cara yang salah, kau akan mati."
"Kau gila," dia tersedak, melihat obeng yang tertancap di perutnya dengan tak percaya. Kali ini aku pasti kena organ vital.
Perlahan, aku menarik obeng itu, suara hisapannya nyaris tak terdengar di balik latar belakang jeritannya.
Amarah yang membara dalam diriku tak tertahankan—tak terhentikan. Dan bayangan tangannya di celananya, menciumnya, membisikkan sesuatu ke telinganya, membuatnya mencapai klimaks. Semua itu memicu badai kekerasan di kepalaku. Aku menusukkan obeng itu kembali saat bayangan wajahnya muncul. Menginginkannya kembali. Mencapai puncak untuk bajingan seperti dia. Aku harus menghapus jejaknya dari tubuhnya.
Dan segera.
Aku mencabut obeng itu dan menarik napas dalam-dalam. Aku harus mengingatkan diriku bahwa dia belum mengenalku. Dia belum mengerti apa itu kebutuhan yang sebenarnya. Belum, tapi dia akan segera mengerti. Karena dia akan membenci cara dia membutuhkanku. Dia akan melawan, memberontak terhadap keinginan itu, dan berusaha mencari sesuatu yang lain yang bisa membuatnya merasa seperti apa yang aku berikan.
Tapi dia takkan pernah menemukannya.
Dan aku tidak akan membiarkan dia mencoba.
Meretakkan leherku, aku menarik napas dalam-dalam lagi, mencoba menenangkan diri. Kemarahanku sudah menguasai diriku. Biasanya aku bukan orang yang reaktif, tapi aku sudah menerima kenyataan bahwa tikus kecilku ini juga membangkitkan perasaan baru dalam diriku.
"Berapa banyak wanita yang sudah kau sakiti, Archie?" tanyaku, menjilat bibir dan mengitari tubuhnya sampai aku menghilang dari pandangannya.
Itu taktik intimidasi untuk orang yang lemah pikirannya. Membuat mereka gugup saat aku menghilang di belakang mereka sejenak. Pikiran mereka mulai berlarian, mengantisipasi apa yang akan kulakukan. Dan kemudian mereka merasakan sedikit kelegaan saat melihatku lagi.
Hanya untuk mengulangi proses itu.
Penyiksaan tersendiri. Ketidakpastian kapan aku akan menyerang. Atau kapan.
"Jangan panggil aku Archie," dia menyembur, marah saat aku berdiri di belakangnya. Tubuhnya menegang.
Aku kembali ke depan, dan bahunya sedikit mengendur, hanya sedikit.
"Kau menghindari pertanyaanku, Archie," ujarku, sengaja menggunakan nama itu. Dia menggeram atas ketidaktundukanku, namun tetap diam.
Ibunya selalu memanggilnya Archie. Hingga akhirnya, sang ibu meninggal karena kanker payudara saat dia berusia sepuluh tahun. Saat itulah ayahnya kehilangan akal dan mulai menjual narkoba demi melunasi tagihan medis dan biaya pemakaman.
Dia membesarkan anak-anaknya menjadi dingin dan tak kenal ampun, dan Archie ini tidak pernah membiarkan siapa pun memanggilnya dengan panggilan ibunya tanpa menikam mereka.
Dia sudah menikam banyak orang hanya karena memanggilnya dengan nama itu, termasuk sahabatnya sendiri, Max. Temannya pernah mengeluh tentang itu beberapa kali di bar yang sering didatangi Jay.
"Jangan sampai aku perlu bertanya lagi," aku memperingatkan, suaraku menurun, memberi penekanan seberapa seriusnya aku saat ini.
"Aku tidak tahu," dia berteriak, frustrasi. "Beberapa, mungkin. Apa pedulinya kau?"
"Aku membaca tentang mantan istrimu," jawabku, mengabaikan pertanyaannya yang konyol. "Kau memukulinya sampai wajahnya hampir tak bisa dikenali ketika dia dibawa ke rumah sakit. Bukti menunjukkan bahwa kau menghantamkan botol tequila ke wajahnya, lalu menikamnya dengan pecahannya. Belum lagi tulang-tulang yang patah dan memar di sekujur tubuhnya. Kau hampir membunuhnya."
Archie mendengus, tanpa sedikit pun penyesalan di mata dinginnya. Bajingan narsis seperti dia memang begitu. Entah bagaimana, mereka membelokkan pikirannya sehingga seolah-olah korban pantas mendapatkannya, dan semua luka yang mereka terima adalah kesalahan mereka sendiri.
"Dia berselingkuh," jawabnya dengan nada manja. Merajuk seperti anak kecil yang tak mendapat kue ulang tahun.
"Apakah kau berselingkuh lebih dulu?"
"Itu nggak penting," dia menjawab tajam. "Dia itu istri, dan aku yang cari uang. Kalau aku mau nyewa penari telanjang untuk semalam, itu hakku. Dia nggak ngapa-ngapain selain duduk di rumah, malas-malasan, dan menghabiskan uangku."
Aku mengangguk, menerima jawabannya apa adanya.
"Apakah kau akan menyakiti Addie?" tanyaku setelah jeda yang cukup panjang.
Dia mengejek. "Aku akan menidurinya seperti yang aku mau. Kalau dia akhirnya dapat beberapa memar, terus kenapa? Wanita suka yang kasar."
Amarah yang terpendam menghantam dadaku. Butuh seluruh kendali diriku agar tidak langsung menusukkan obeng ini ke matanya saat itu juga.
Archie tidak akan pernah tahu cara bercinta dengan keras yang sebenarnya, bahkan jika diberikan panduannya sekalipun. Dia menyakiti wanita karena dia menikmati penderitaan mereka. Dia tak tahu bagaimana cara membawa wanita ke ambang batas antara rasa sakit dan kenikmatan, menyeimbangkan keduanya hingga membuat mereka mendambakan lebih.
Dia hanya menyakiti mereka. Saat dia selesai, wanita itu sudah babak belur dan trauma—mungkin bahkan berdarah. Dan dia pergi dengan senyum puas di wajahnya, seolah-olah dia adalah pria pertama yang membuktikan orgasme wanita bukan sekadar mitos.
"Kau tidak menyakiti Addie," kataku, menunggu jawaban yang sudah kuprediksi. Dia belum cukup putus asa—belum cukup takut. Dia masih mencoba memasang topeng keberanian palsu dan mati dengan martabat. Tapi itu akan segera berubah.
Dia menyeringai. "Kau harus bikin mereka rileks dulu. Rencana-rencanaku untuknya…" dia berhenti, menjilat bibirnya dengan cara yang menjijikkan. "Tangisannya akan menjadi nyanyian yang indah."
Aku kembali mengangguk, menerima jawabannya. Aku menerimanya karena jawaban itu memberi bahan bakar pada apa yang telah kurencanakan untuknya.
Dan aku akan dengan sangat senang mengaplikasikan metodenya dalam seks. Aku akan menikmati menyakitinya, membuatnya berdarah, dan dia? Dia akan berharap dia tak pernah mengenal Adeline Reilly.
— Bald kommt ein neues Kapitel — Schreiben Sie eine Rezension