App herunterladen
26.92% Kau Curi Milikku, Milikmu Kucuri (BL) / Chapter 7: Karyawan Baru

Kapitel 7: Karyawan Baru

Keduanya saling tidak berbicara kalau tidak ada perlunya selama membereskan barang-barang Indra. Surya yang membantu membawa barang dari mobil ke kamar Indra di atas, heran dengan suasana canggung antara keduanya setelah pulang dari kosan Indra. Bahkan Gaska, langsung masuk kamar dan baru keluar setelah Indra berangkat kerja ke kafe.

"Surya, ini masalah serius," ujar Gaska, nyamperin Surya yang sedang main game console di ruang keluarga lantai dua.

"Hmm, apa?" Surya balik tanya tanpa berpaling dari layar.

Gaska menimbang bagaimana menyampaikan tanpa membuat dirinya terlihat konyol maupun mempermalukan penghuni baru rumah ini.

"Coba belikan boxer sama pakaian lain buat Indra. Kasihan, pakaiannya sudah lusuh dan cuma beberapa biji."

"WHAT?!" Surya memekik kaget. Saking kagetnya dia bahkan tak peduli karakternya tewas di keroyok slime. "Dan kenapa aku, kok bukan kamu?! Uang sakuku sudah aku tabung buat beli... Pokoknya nggak bisa!"

"Aku bayarin. Tapi jangan bilang kalau kita yang belikan. Bilang aja ga muat atau apa gitu."

"Berarti aku juga dibelikan sekalian?" Senyum Surya melebar.

Gantian Gaska yang melengos. "Iya, satu aja yang murah. Jangan lebih dari tiga ratus ribu."

"Kamu aja yang pesen kalo gitu, Gas. Toh aku juga ga tahu ukurannya." Surya berpaling dari Gaska, jual mahal.

"Lima ratus. Mentok."

"Oke, Bos! Siap Bos!" Surya melepas joystick dan langsung mengambil ponselnya. "Boxer biasa atau boxer brief? Kalau kaos yang allsize ya.." Surya yang sudah sering belanja online mulai browsing di lapak toko resmi tanpa kesulitan.

Gaska yang duduk disampingnya sesekali memberi arahan dan masukan.

. . .

Sedangkan Indra yang sudah berada di kafe sebelum jam tiga tengah sibuk membuat coffe latte sambil sesekali melirik ke arah pegawai baru yang berhati-hati membawa nampan berisi mini tart.

Prang!!

Terdengar suara keramik pecah untuk kesekian kalinya disusul permintaan maaf pada pelanggan.

Kali ini Indra ganti melirik ke arah Anya yang seperti sudah kehilangan nyawa. Selesai memberikan pesanan pada pelanggan dan menuntaskan pembayarannya, Indra merapat ke gadis berambut pink itu.

"Sudah berapa yang pecah?" Tanya Indra.

"Jangan tanya. Masih ada barang buat jualan besok sudah bagus itu," jawabnya lemas.

"Pak Hendi mana?" Indra belum melihat bosnya sejak masuk tadi.

"Beli piring sama gelas melamin mungkin."

"Mulai jam berapa masuknya?" Indra masih penasaran dengan cowok pegawai baru yang diketahui bernama Dian.

"Jam sebelas-an. Untung shift'ku sudah hampir selesai. Semangat ya, Mas Indra. Ajarin Dek Dian baik-baik," goda Anya sambil tertawa ngakak.

Kepala Indra mulai berdenyut memikirkan kesalahan apa lagi yang akan Dian lakukan setelah Anya pulang.

Sepulang Anya, Indra meminta Dian untuk membantu membereskan meja dan membersihkan jendela serta etalase. Apa saja yang berpotensi kecil untuk rusak. Bagaimanapun, Indra tidak mau dianggap tidak becus mengajari selama boss-nya sedang tidak ditempat.

"Kalau bersih-bersihnya sudah selesai, tolong lihat stok didalam sambil hafalin namanya."

"Iya, mas." Jawab Dian menurut.

Pak Hendi datang setengah jam kemudian, membawa beberapa keresek besar.

"Dian mana, Indra?"

"Di penyimpanan, Pak. Saya minta menghafalkan barang."

"Nanti kalau perlu bantuan, panggil ya. Bapak sekalian nyetok barang." Pak Hendi lalu menghilang ke bagian belakang dimana gudang penyimpanan berada.

"Iya, Pak."

Saat Dian keluar, dia langsung nyelonong keluar sambil membawa tas selempang dan sudah tidak pakai seragam lagi. Indra heran karena Dian pulang tanpa pamit padanya.

Tidak lama kemudian, Pak Hendi juga muncul sambil menghela nafas panjang.

"Kamu bawa bekal buat makan malam?" Tanya Pak Hendi.

"Tidak, Pak. Tadi nggak sempat," karena proses pindahan yang kacau tadi pagi, pikiran Indra ikut berantakan.

Rencana belanja setelah selesai pun kandas. Indra berencana membuat jadwal untuk belanja setelah ibadah fajar jadi ada cukup waktu untuk bersih-bersih rumah besok.

"Mau mie pangsit? Bapak belikan."

"Hehe, iya, mau. Terimakasih, Pak."

"Suka pedes apa nggak?"

"Sedengan saja, Pak. Cabe 1 atau 2 saja."

Pak Hendi manggut-manggut sambil berfokus pada ponselnya. "Nanti kalau ada yang ngantar Mie, bayar pakai uang kasir dulu, ya. Notanya dikumpulkan."

"Baik, Pak." Indra menunggu sampai Pak Hendi berjalan ke dalam sebelum mengeluarkan ponselnya.

Tadi siang dia meminta nomor ponsel Surya dan mengirim pesan singkat ke remaja itu.

"Besok mau makan apa?"

Indra segera memasukkan lagi ponselnya ke kantong. Sebentar ponselnya sudah bergetar tanda pesan masuk tapi karena merasa jawaban yang dia tunggu bukan sesuatu yang mendesak, dia biarkan saja.

Indra baru membuka ponsel saat makan malam. Surya menulis 'cah kangkung, ayam goreng'. Untunglah makanan yang dia minta sesuatu yang mudah dibuat.

Malam itu saat Indra pulang, rumah sudah dalam keadaan gelap. Dia sempat khawatir kekancingan tapi pintu dapur masih terbuka dan lampunya masih menyala. Yang membuat Indra merasa canggung, karena Gaska duduk disana, sepertinya sedang menunggu dirinya karena pemuda itu langsung berdiri. Indra merasa lega saat Gaska menjaga jarak diantara mereka sehingga Indra tidak perlu khawatir kejadian tadi pagi terulang.

"Indra, aku mau minta maaf buat kejadian tadi. Seharusnya aku tidak ikut campur urusan pribadimu. Aku benar-benar minta maaf."

Indra sebenarnya ingin marah karena malu dan malu. Apa yang bisa dilakukannya kalau si pelaku sudah berkali-kali minta maaf dan terlihat sangat menyesal. Tapi Indra merasa ada yang aneh dengan permintaan maaf Gaska.

"Ya. Jangan diulangi lagi," sahutnya ketus sambil berjalan ke arah kamarnya.

Malam itu Indra membongkar kardus berisi pakaiannya lalu memasukkannya ke lemari yang tersedia di kamar. Barang lain yang tidak terpakai seperti kompor, panci, dan lemari portable, dimasukkannya ke kolong tempat tidur. Buku kitab suci dia letakkan di atas meja agar mudah terlihat.

Setelah semua beres dan mandi seperti biasa, Indra berbaring di kasur empuk dengan bantal yang lebih empuk lagi. Enak juga jadi ART orang kaya, pikirnya.

. . .

Indra sudah semangat saat bangun pagi itu, ibadah fajar sekalian mandi lagi biar segar. Dia sudah siap berangkat ke pasar saat tersadar dia belum minta uang belanja. Indra pun bergegas kembali ke kamarnya untuk mengambil uang, sayang saat membuka dompet hanya ada selembar lima puluh ribu. Kemaren waktu pulang bensin motornya sudah di tanda merah tapi karena sudah kemalaman, Indra berencana beli nanti sambil berangkat ke kafe.

Takut tidak cukup karena memang banyak bahan makanan dan bumbu dapur yang perlu dibeli, Indra menguatkan mentalnya untuk minta tambahan dana pada majikannya.

Agar tidak berlama-lama, Indra mengetuk pintu kamar Gaska agak lebih keras.

"G..Gaska! Gaska!" Indra separuh menggedor sambil berteriak. "Saya mau minta uang belanja! Gaska!"

Saat kamar dibuka, udara dari dalam kamar yang dingin karena AC berbaur dengan aroma kayu yang samar-samar memanjakan hidung Indra. Sang pemilik kamar yang muncul dengan rambut acak-acakan dan hanya memakai boxer berwarna gelap sangat berbeda dari Gaska yang biasa ditemuinya. Pundaknya lebar dengan dada yang bidang, tangannya tidak terlihat gempal tapi juga tidak kelihatan ada lemak berlebih.

Indra yang menunggu di dekat pintu melihat Gaska yang langsung berbalik mencari dompetnya tanpa mengatakan apa-apa. Setelah menemukan dompetnya, Gaska masih mencari-cari barang di meja, di laci, tapi tidak ada. Akhirnya Gaska kembali ke tempat Indra berdiri.

"Uang cashnya habis," suara Gaska terdengar berat, lebih berat dibanding kemarin saat..saat itu. "Aku siap-siap sebentar. Habis ambil uang aku antarkan belanja sekalian."

Gaska lalu berbalik masuk dan langsung menuju ke kamar mandi. Wajah Indra tiba-tiba terasa panas. Kenapa dia harus ingat kejadian kemarin.

Indra memanaskan motornya saat Gaska muncul membawa helm untuk mereka berdua. Dia sudah memakai kaos lengan panjang dan celana training seperti Indra. Sudah tidak perlu dibahas tentang beda jahitan dan kainnya agar Indra tidak malu.

"Aku yang nyetir dulu sampai ATM." Ujar Gaska.

Meski berat, Indra mundur ke posisi penumpang dan membiarkan Gaska mengambil kemudi.

Setelah Gaska turun di dekat mesin ATM, Indra pamit mengisi bahan bakar tapi Gaska menolak, bilang kalau dia tahu penjual BBM arah ke pasar. Saat Gaska kembali, dia menyerahkan segepok uang seratus ribuan tanpa mengatakan apa-apa. Karena itu Indra pun tidak menolak.

Di pasar Gaska mulai bertanya ini itu. Apa yang Indra rencanakan untuk dimasak hari itu, makanan apa yang ingin dimakan Gaska, apakah Indra bisa membuat masakan tertentu dan sebagainya. Indra senang kecanggungan diantara mereka mereda dan kelucuan Gaska yang terkejut karena harga bahan makanan mentah yang jauh berbeda dibanding saat sudah matang. Indra tidak mengatakan pada majikannya itu kalau dia keseringan beli di restoran mahal.

Ketika Indra tidak sengaja menemukan struk belanja soto beberapa hari lalu, dia kaget melihat harga untuk seporsi paling murah empat puluh ribu rupiah dan ada yang sampai tujuh puluh ribu. Harganya berkali-kali lipat dibanding saat dia makan soto di warung langganannya dulu.

Indra membayar dua kilogram ayam waktu matanya melihat sosok yang tidak asing di kios sebelah. Waktu dia perhatikan, ternyata memang Dian, karyawan baru di kafe. Hanya saja, dia tidak sendirian.

"Kalau sudah, ayo pulang," Gaska yang menarik tangannya membuat Indra lupa pada Dian dan merekapun bergegas menuju parkiran motor.

Mereka belanja lebih banyak dari yang diperkirakan, termasuk beli sarapan nasi bungkus. Gaska yang penasaran saat melihat Indra tidak canggung memilih nama lauk yang ditempel pada ujung bungkusan pun ikut mengambil beberapa yang menarik minatnya. Indra yang mengetahui itu langsung menegur Gaska, mengatakan kalau dia akan masak untuk makan siang dan malam jadi beli secukupnya saja. Indra tidak mau tragedi soto berulang kembali.

Pulangnya gantian Indra yang menyetir dan Gaska duduk di boncengan. Indra sempat kaget saat Gaska melingkarkan tangannya di perut Indra, saat diprotes pemuda yang lebih tinggi itu bilang hanya mengikuti protokol keamanan berkendara. Indra membiarkan tingkah antik Gaska selama tidak kelewatan.

Sesampainya di rumah, Indra berniat mengembalikan kelebihan uang yang diberikan Gaska tapi pemuda itu sudah menghilang duluan jadi dia meletakkan uang itu di salah satu laci di dapur. Karena penasaran, iseng-iseng Indra menghitung, jumlahnya masih dua juta delapanratus-an. Indra pun lanjut memproses ayam sampai selesai marinasi baru beralih membersihkan sayur.

Gaska yang sudah memakai kemeja dengan rambut distyling ke belakang muncul diikuti Surya yang memakai kaos berkerah tinggi dan bercelana kain yang serba gelap. Karena bahan kainnya tebal, tubuh Surya yang kurus terlihat lebih berisi. Tanpa kacamata, kaos oblong dan rambut yang juga dirapikan, mereka seperti kakak adik artis. Indra yakin ada banyak cewek yang menaruh hati pada mereka berdua.

"Sarapan dulu. Tadi aku beli nasi murah di pasar."

"Yakin aman dimakan?" Meski curiga, Surya tetap mendekati meja makan dan memilih salah satu bungkusan. "Kamu makan dulu. Kalo ga mati berarti aman."

Wajah Gaska yang tersinggung terlihat aneh dan lucu bagi Indra, terlebih dia tidak sadar kalau Surya menggodanya.

"Saya sering makan nasi bungkus, biasanya aman. Biar lebih yakin saya coba dulu bagaimana?" Indra membuka semua bungkusan lalu meminta Surya yang memilih untuknya sembari Indra mencuci tangan.

"Yang ini, paling banyak lauknya."

Indra mengucap doa singkat sebelum mulai makan pakai tangan. Nasi bungkus lauk dadar telur pakai tahu bumbu balado, menu kesukaan Indra.

Surya yang melihat Indra makan dengan lahap jadi terbit air liurnya, mencomot tahu balado yang sudah dimakan separuh.

"He'eh, iya enak."


Load failed, please RETRY

Wöchentlicher Energiestatus

Rank -- Power- Rangliste
Stone -- Power- Stein

Stapelfreischaltung von Kapiteln

Inhaltsverzeichnis

Anzeigeoptionen

Hintergrund

Schriftart

Größe

Kapitel-Kommentare

Schreiben Sie eine Rezension Lese-Status: C7
Fehler beim Posten. Bitte versuchen Sie es erneut
  • Qualität des Schreibens
  • Veröffentlichungsstabilität
  • Geschichtenentwicklung
  • Charakter-Design
  • Welthintergrund

Die Gesamtpunktzahl 0.0

Rezension erfolgreich gepostet! Lesen Sie mehr Rezensionen
Stimmen Sie mit Powerstein ab
Rank NR.-- Macht-Rangliste
Stone -- Power-Stein
Unangemessene Inhalte melden
error Tipp

Missbrauch melden

Kommentare zu Absätzen

Einloggen