App herunterladen
29.16% Vorfreude: Rachel Richmann / Chapter 7: Gangguan Panik

Kapitel 7: Gangguan Panik

Grand Solomon Residence

Westway, Hatemoor

23 Januari 2157

21.13 NPM

Sesuai perintah Lars, Rachel sudah berada di atas tempat tidurnya lebih awal, meninggalkan seluruh pekerjaan yang biasanya masih Ia kerjakan sampai lewat tengah malam. Dua jenis obat penenang saraf telah diminumnya, namun efek utama obat itu belum terasa. Sebaliknya, paniknya itu justru semakin bertambah, membuatnya gusar di tempat tidur, berguling kesana dan kemari hingga mengundang Tenor yang memang berjaga di depan pintu kamarnya masuk ke kamar karena mendengar suara pergerakannya.

"Rachel Rachel, ada apa denganmu? Biasanya Kau tidur diam seperti bangkai, kenapa kali ini berisik?" tanyanya, berhenti tepat disamping kepala Rachel yang matanya sudah tertutup sleep mask.

Deru nafasnya terdengar jelas disana, "Aku kesal."

"Kenapa kau kesal? Seseorang mengganggumu?"

Rachel menggeleng, "Aku kesal karena aku tidak bisa tidur, tidak bisa tenang, aku lelah," jawabnya jujur, mengeluh. Tidak masalah, hanya Tenor yang mengetahui semua kelemahannya selama ini, sesederhana dirinya yang mengeluh lelah seperti tadi, sampai pada siasat bisnis rahasianya.

Tenor terdengar bergerak lebih maju, membawa tangan kanan Rachel ke tangannya. Sebuah karet silikon dengan gerigi halus muncul, mulai memijat pelan tangan Rachel. "Rachel, jangan lakukan eksperimen itu jika kau takut," ujarnya.

Rachel menghela, "Aku tidak mungkin berhenti, Tenor. Aku tidak akan menjadi pecundang. Apa yang akan mereka katakan jika ternyata aku takut akan eksperimenku sendiri?"

"Kau mengatakan eksperimen itu bisa menggunakan orang lain, tapi kenapa jadi dirimu yang melakukannya?"

"Karena jika aku memilih cara itu, artinya sama saja aku menempatkan seseorang diantara dua pilihan, hidup atau mati. Itu terlalu berisiko, lebih baik aku yang berkorban sendiri."

"Kau akan meninggalkanku dan Bass sendirian jika kau mati, Rachel." Tenor sedikit berhenti, ucapannya yang persis seperti manusia bernada mesin itu diam-diam selalu menyentuh Rachel entah bagaimana caranya. "Jangan mati, Rachel."

Rachel tampak meneguk salivanya sendiri, "Kau hanya semakin membuatku takut, Tenor. Lebih baik kau diam dan keluar."

"Sesuai aturanmu, aku hanya akan keluar jika kau sudah benar-benar tertidur. Matamu masih terbuka dibalik penutup kain itu," bantah Tenor.

Hening kemudian, Rachel enggan menimpali robot cerewet itu lagi. Ia memutuskan untuk berusaha tidur meski sulit, dengan Tenor yang terus merelaksasi otot-otot tubuhnya disana. Namun ketenangan yang mulai terbangun itu kembali kacau karena Bass yang tiba-tiba masuk ke dalam dengan berisik. Robot itu terdengar berjalan sangat cepat seperti berlari di atas kaki rodanya.

"Rachel Rachel, Niels Geyer menghubungimu, dia ingin berbicara langsung denganmu."

Rachel sontak membuka sleeping mask hitamnya, beranjak duduk terkejut, "Apa? Niels Geyer?" pekiknya tak percaya. "Semalam ini?"

"Ya, dia baru saja masuk ke dalam daftar tunggu." Bass menunjukkan nama kontak atas nama Niels Geyer lengkap dengan fotonya dalam hologram, membuat Rachel kelabakan, "Astaga, mendadak sekali. Apa yang ingin dia bicarakan?"

"Tidak tahu, Rachel."

"Mungkin dia kesal karena kau mengabaikan pesannya tadi siang," ujar Tenor, membuat Rachel memutar matanya malas, "Ya sudah, katakan padanya untuk menunggu lima menit, aku akan berbicara di ruang kerjaku."

****

Tanpa mengganti piyama merah muda bercorak kartun kucing, apalagi sedikit berdandan formal, Rachel duduk di kursi kerjanya dengan gusar. Kakinya di bawah tak berhenti bergerak sedari tadi, menunggu sosok pria yang sempat dicibirnya itu menghubungi kembali lewat panggilan suara. Tidak tanggung-tanggung, Niels awalnya meminta mereka melakukan panggilan video, namun Rachel menolaknya, mengatakan Ia sedang kurang sehat. Tidak salah juga, Ia memang sedang mengalami gangguan panik ringan, dan panggilan malam pria itu semakin memperparah alih-alih menenangkannya.

Tapi apa boleh buat? Rachel terlalu penasaran akan sosok itu lebih dekat, pun soal apa lagi yang akan disampaikannya, entah itu kritik yang tadi siang, atau hal lain?

Namun Rachel juga tidak semerta-merta membuka diri, Ia bahkan meminta Bass menyamarkan suaranya ketika berbicara dengan Niels nanti. Tidak ada alasan khusus, itu hanya kebiasaannya ketika menghadapi orang baru secara virtual.

Tak lama kemudian, layar ponsel transparan di meja menyala, Niels kembali menghubunginya. Segera Rachel memperbesar tampilan layar yang menampakkan foto profil formal pria itu, mengubahnya ke mode hologram sebelas inchi. Tujuannya satu, menatap foto Niels agar lebih menghayati percakapan, seolah mereka benar-benar bertemu secara langsung.

Rachel menghela, lalu menjawab panggilan itu tanpa menyapa terlebih dahulu, mendiamkannya barang setengah menit.

"Halo, dengan Rachel Richmann?"

Rachel terkesiap, gangguan paniknya sudah sampai ke ubun-ubun begitu suara berat Niels memenuhi ruang dengarnya, "Ya, ini aku. Ada apa kau menghubungiku, Tuan Niels Geyer?"

"Santai saja, cukup panggil aku Niels. Mungkin Kita seumuran."

Rachel mengangguk, tersenyum tipis, "Baiklah. Jadi... ada apa, Niels?"

"Maaf sebelumnya jika aku tidak sopan menghubungimu di jam istirahat, dan tidak memperkenalkan diri. Kau sudah menerima suratku, bukan? Kau juga sudah membacanya tanpa membalas. Kurasa itu cukup sebagai perkenalan, meski tidak terlalu berkesan."

Rachel berdecih dalam hati, "Pria ini, sungguh..." ucapnya, dalam hati.

"Aku sibuk dan tak sempat membalas pesanmu."

"Kalau begitu bisakah kau sampaikan tanggapanmu sekarang? Aku ingin mendengarnya terlebih dahulu sebelum mengatakan hal lain yang ingin kusampaikan padamu kali ini."

Rachel menghela, "Terima kasih atas pesan, kritik, dan saranmu, Niels. Tapi untuk saat ini, apa yang kau katakan tidak bisa mengubah apa yang sudah direncanakan oleh perusahaanku. Katakanlah saranmu terlambat, karena seharusnya kau menyampaikannya sebelum Aku bahkan merencanakan proyek eksperimen lima tahun lalu..."

"Tapi tenang saja, apa yang Kau katakan akan kuterima sebagai..." Rachel kesulitan mendapatkan kalimat yang sesuai, gangguan panik itu bahkan mencegat nafasnya, "Sebagai masukan dalam pengembangan ke depan," lanjutnya seadanya.

"Baiklah, aku paham."

Rachel menaikkan sebelah alisnya. Pria ini sungguh tidak keras kepala, berbeda dengan dugaan awalnya.

"Tapi sebagai sesama ilmuwan, aku mohon tepati janjimu, sukseskan eksperimen itu hingga kau membawa dampak yang baik dan berkelanjutan bagi manusia," lanjut Niels, membuat Rachel kembali menghela nafas, dadanya semakin sesak, "Ya... hhhh..."

"Aku akan berusaha, dan... itu akan dimulai dari esok hari."

"Siapa yang akan membedahmu dan menyisipkan chip itu? Apakah Dokter Lars Austerlitz?" tanya Niels kemudian, membuat Rachel mengerutkan dahi, "Ba... hhh... bagaimana kau bisa tahu?" tanyanya.

"Aku mengenalnya cukup baik."

"Ah, begitukah?"

"Ya. Lalu, bisakah kau... mengikuti ucapanku yang satu ini?"

"A... apa?"

"Jauhi Lore Hasenclever. Jangan biarkan dia masuk ke dalam ruang eksperimenmu besok, jauhkan dia dari seluruh proses penyisipan gen microchip itu."

Rachel tak mengerti, Ia bahkan sulit berpikir, "Ta... tapi kenapa?" tanyanya. Tangannya itu bergetar kini, berkeringat dingin. Nafasnya tak teratur seraya tangannya bergerak meraih gelas air mineral di meja. Demi Tuhan, kenapa gangguan panik itu harus datang di saat seperti ini?

"Kau tidak perlu tahu alasannya sekarang. Tapi aku mohon padamu, ikuti perkataanku..."

PRANG!

Rachel memejamkan matanya, marah pada pecahan gelas kaca di dekat kakinya.

"Rachel? Apa yang terjadi? Kau menjatuhkan sesuatu?"

"Ehm... Aku..."

"Kudengar dari Lars bahwa kau memiliki gangguan panik. Apa itu karena eksperimenmu besok?"

Rachel tak menjawab, hanya berusaha menormalkan nafasnya yang tak beraturan, ia benar-benar harus melakukan meditasi ditengah-tengah pembicaraannya dengan Niels. Memalukan, tapi sungguh Rachel tak bisa berbuat apa-apa jika penyakitnya itu kambuh.

"Tenangkan dirimu, Rachel. Aku akan menemanimu disini sampai kau merasa lebih baik."


Load failed, please RETRY

Wöchentlicher Energiestatus

Rank -- Power- Rangliste
Stone -- Power- Stein

Stapelfreischaltung von Kapiteln

Inhaltsverzeichnis

Anzeigeoptionen

Hintergrund

Schriftart

Größe

Kapitel-Kommentare

Schreiben Sie eine Rezension Lese-Status: C7
Fehler beim Posten. Bitte versuchen Sie es erneut
  • Qualität des Schreibens
  • Veröffentlichungsstabilität
  • Geschichtenentwicklung
  • Charakter-Design
  • Welthintergrund

Die Gesamtpunktzahl 0.0

Rezension erfolgreich gepostet! Lesen Sie mehr Rezensionen
Stimmen Sie mit Powerstein ab
Rank NR.-- Macht-Rangliste
Stone -- Power-Stein
Unangemessene Inhalte melden
error Tipp

Missbrauch melden

Kommentare zu Absätzen

Einloggen