App herunterladen
82.85% Berawal dari SMA / Chapter 29: Ada apa?

Kapitel 29: Ada apa?

Menjadi seorang berandal tak selamanya menjadi yang paling ditakuti, terkadang mereka selalu menjadi sasaran kesalahan orang lain, dan mirisnya sama sekali tak ada yang percaya jika mereka bukanlah bagian dari kerusuhan yang orang lain buat. Dan itulah yang saat ini Ali rasakan. Bagaimana tidak, ia yang tidak tahu menahu tentang rencana tawuran itu, dan sekarang ia malah menjadi salah seorang tersangka dan untuk kedua kalinya memasuki tempat hukum ini.

Jika kalian bertanya kenapa ia ikut tawuran kemarin? Jawabannya karena ia harus melindungi seseorang di dalam sana dengan cara melawan musuh sebelum musuh itu mendekat dan melukai semua orang yang ada di dalam termasuk kekasihnya.

Tak ada cara lain selain maju, walaupun saat itu setiap langkahnya, ia harus mengorbankan segalanya termasuk sekolahnya, nama baiknya, dan cintanya, mungkin. Ia tak tahu apa setelah ini Rania akan memutuskannya karena ia melanggar janji padanya untuk tidak kembali ikut dalam perkelahian. Dan satu kebohongan nya saat itu menjadi penyesalan terbesarnya.

*flashback on

"Al--tadi pas ada tawuran lo kemana? Gue nyariin lo tahu gak, lo gak ikutan tawuran itu kan? Lo gak ikut-ikutan berantem kan? " tanya Rania tanpa memberi jeda walaupun ia sedang memakan risol di mulutnya.

"enggak kok" jawab Ali spontan seakan tak ada keraguan pada saat mulutnya, berkata bohong.

"serius? "

Ali menganggukan kepala ragu seakan baru menyadari apa yang baru saja ia katakan.

"terus lo tadi kemana? " tanya Rania

"di basecamp lagi ada urusan"

"lo gak lagi ngerencanain apa-apa kan? " tanya Rania penuh curiga

"ngerencanain apa? " tanya balik Ali dengan sikap yang tenang karena memang kenyataannya ia tidak merencanakan apapun.

"kali aja. Awas aja kalau sampe lo berantem lagi, lo lihat aja hukuman dari gue" ancam Rania dengan mengepalkan tangannya kuat tepat ke hadapan wajah Ali seakan tangan itu menjadi ancaman jikalau Ali benar-benar melanggar janjinya.

Namun bukannya takut, Ali malah tersenyum lebar.

"iya iya tuan putri. Gue kan takut sama kepalan tangan lo itu" ucap Ali dusta padahal sebenarnya ia mengejek Rania kala itu

*flashback off

Setelah beberapa kali di interogasi oleh polisi, Ali pun dapat terbebas karena tak ada bukti yang kuat jika ia adalah pelakunya dan memang kenyataannya Ali tak tahu menahu tentang aksi tawuran itu. Ikut berkelahi bukan berarti mengetahui karena niat melindungi itu jauh lebih berarti.

Namun dibebaskan saat itu juga tak menjamin Ali dapat kembali bersekolah. Sesuai dengan surat penjanjiannya beberapa waktu lalu, ia tak boleh melakukan pelanggaran apapun jika tidak ia akan terancam tidak bisa mengikuti ujian kelulusan. Dan sekarang, hal yang tidak terduga justru datang dan apa yang dihindari Ali selama ini terjadi walau itu bukan kesalahannya. Sekeras dan sejelas apapun Ali menjelaskan bahwa ia tidak bersalah, tak ada sama sekali yang memercayainya. Ternyata memang benar, di dunia ini, yang lebih tahu tentang diri kita adalah diri kita sendiri. Semua orang tak akan tahu dan tak mengerti, karena mereka bukanlah kita, dan kita bukanlah mereka.

Karena itulah, saat ini sekolahnya akan terancam padahal tinggal selangkah lagi ia bisa lulus dan mendapat ijazah sma yang sebenarnya tidak akan menjamin sebuah kesuksesan.

Dan jika Ali dikeluarkan dari sekolah ini, ia harus mencari sekolah yang bisa menerimanya. Namun sekolah mana yang bisa menerima Ali saat ini? Ia bahkan tak ada catatan prestasi sedikit pun dan lebih parahnya lagi jumlah bolosnya lebih banyak daripada kehadirannya. Ahh sudahlah. Ali sebenarnya tak mempermasalahkan jika ia putus sekolah. Toh ia bisa mencari kerja dan itu adalah keinginannya dari dulu. Tapi ibunyalah yang menjadi alasan satu-satunya ia bisa bertahan di sekolah. Dan sekarang, Ali mengecewan ibunya lagi.

Jika kalian bertanya kenapa Ali sering bolos sekolah? Jawabannya karena ia harus bekerja untuk melunasi hutang-hutang almarhum ayahnya. Beberapa kali sang ibu selalu melarangnya untuk kerja namun Ali tak menurutinya. Bukan tak ingin, ia hanya tak bisa melihat orang tua tunggalnya itu bekerja keras sendiri. Apalagi ia adalah anak sulung. Ia telah berjanji pada dirinya sendiri jika ia tak bisa sukses maka adiknya harus tetap sukses. Dan Ali akan mengusahakan itu.

Kakinya mulai melangkah setelah Ali keluar dari kantor polisi. Tak ada tujuan, itulah yang dialami Ali sekarang. Ia tak tahu harus kemana. Ia hanya membiarkan kakinya melangkah semaunya. pikirannya kacau. Ia terus mengingat kekecewaan ibunda dan juga kekasihnya saat ini.

Di tengah kejamnya sang mentari yang begitu terik hari ini, kaki Ali terus melangkah tiada henti, sampai sang senja menghilang pun kaki itu tetap melangkah tak peduli awan gelap mencekam sedang menghantuinya sekarang dengan suaranya yang menggelegar.

Saat rintikan hujan mulai jatuh ke bumi satu persatu, seseorang bersepatu putih menghalangi jalannya. Matanya mulai melihat dari bawah sampai atas dan melihat sosok wanita berwajah datar berada di hadapannya. Ali mengenalnya. Tentu saja. Mana mungkin ia tidak mengenal wajah ini. Wajah cantik kekasihnya.

"Raniaaa" panggil Ali yang beberapa kali mengucek matanya barangkali apa yang ia lihat hanya haluan belaka. Namun ternyata semuanya nyata, bukan seperti sebuah kisah di film horor yang bisa muncul dan menghilang begitu saja untuk balas dendam, dan lagi pula sepatu yang ia lihat pertama kali juga napak di atas tanah, mana mungkin hantu bisa berjalan.

Jarak dari Rania dan Ali hanya beberapa langkah saja, namun anehnya kaki Ali sekarang enggan untuk berjalan bagaikan ada si raja hutan yang menghadangnya kala itu.

Rania masih saja berwajah datar, dan hal itulah yang paling Ali takuti dari sekedar binatang paling buas di dunia ini.

"Ran--gue--minta maaf sama lo, gue--gak bermaksud---" ucapan Ali langsung terhenti ketika Rania tiba-tiba mendekat dan memeluknya erat. Ada isak tangis di sana. Dan Ali tahu bahwa Rania sedang menangis kala itu.

Ali ingin bertanya, namun ia urungkan sampai Rania benar-benar tenang saat itu.

Lima belas menit setelahnya, sepasang sejoli ini duduk di sebuah meja taman. Tak ada siapa-siapa di sana. Mungkin karena sudah malam. Hanya ada beberapa kendaraan yang lewat di sana.

Masih belum ada percakapan sampai sekarang. Masih saja hening, dan Rania seakan memiliki banyak pikiran sekarang. Ali tak tega melihat Rania yang pendiam seperti ini. Dan ia tak menyukai Rania yang seperti ini. Ali kemudian beranjak membeli sebotol air mineral lalu diberikan kepada kekasihnya untuk membasahi tenggorokannya yang pasti sudah kering karena menangis.

"Ran" panggil Ali

Namun Rania masih terdiam seribu bahasa. Tetesan air mata masih saja melewati pipinya itu dan Ali dengan sigap mengusap setiap butiran itu dan ia berjanji pada dirinya sendiri akan menggantikannya dengan sebuah kebahagiaan suatu saat nanti.

"sayanggg" panggil Ali lembut, sangat lembut, sambil memegang bahu Rania agar tubuhnya menghadap sepenuhnya ke arahnya sekarang. Mata mereka saling bertemu. Dan lagi Ali melihat bendungan air mata di mata Rania. Sebenarnya apa yang terjadi pada Rania sampai menangis seperti ini? Apa karena ulahnya? Ohh jika air mata ini memang karena ulahnya maka Ali tak akan memaafkan dirinya sendiri.

"Al--gue mau pergi" ucap Rania kemudian menundukan kepala agar bisa menyembunyikan tangisnya. Namun sayang, Ali masih bisa mengetahuinya karena isakan tangis itu terdengar jelas di telinganya walaupun Rania menangis sangat pelan.


Load failed, please RETRY

Wöchentlicher Energiestatus

Rank -- Power- Rangliste
Stone -- Power- Stein

Stapelfreischaltung von Kapiteln

Inhaltsverzeichnis

Anzeigeoptionen

Hintergrund

Schriftart

Größe

Kapitel-Kommentare

Schreiben Sie eine Rezension Lese-Status: C29
Fehler beim Posten. Bitte versuchen Sie es erneut
  • Qualität des Schreibens
  • Veröffentlichungsstabilität
  • Geschichtenentwicklung
  • Charakter-Design
  • Welthintergrund

Die Gesamtpunktzahl 0.0

Rezension erfolgreich gepostet! Lesen Sie mehr Rezensionen
Stimmen Sie mit Powerstein ab
Rank NR.-- Macht-Rangliste
Stone -- Power-Stein
Unangemessene Inhalte melden
error Tipp

Missbrauch melden

Kommentare zu Absätzen

Einloggen