App herunterladen
88.46% UnReach / Chapter 23: 23. Tanpa Kabar

Kapitel 23: 23. Tanpa Kabar

[Bagaimana kalau kita pacaran?]

Sebuah pesan singkat dari Michael membuatku menumpahkan segelas susu hangat yang baru saja aku panaskan dari microwave. Aku tak segera meraih gelasnya apalagi membersihkan bekas tumpahannya.

Kalau kalian bisa melihatnya, mataku melotot menatap layar ponselku yang masih menampilkan pesan dari si pirang itu. Lalu mulutku menganga saking terkejutnya.

***

Setelah pulang dari rumah sakit dan aku kembali ke sekolah, Michael tak banyak menemuiku. Hanya menjemputku pulang, memastikan aku meminum obatku dengan teratur lalu kembali pergi tanpa menghabiskan waktu sore kami bersama seperti biasanya. Dia begitu tergesa-gesa dan tak memiliki banyak waktu untukku. Hal itu membuatku merasa kesepian.

Kegiatan itu terus berlangsung hingga Sabtu ini. Aku bertanya padanya melalui pesan singkat, tentang dirinya yang terlihat sangat sibuk akhir-akhir ini serta memintanya agar istirahat dengan cukup.

Lalu sebuah jawaban tiba di ponselku beberapa menit kemudian, bukan jawaban tentang pertanyaanku padanya, melainkan hal yang membuat jantungku kembali berolahraga.

[Bagaimana kalau kita pacaran?]

Sebuah pertanyaan khas dari pemuda berambut gondrong yang terkesan nakal. Bukankah begitu? Ya pasti begitu! mungkin semua pria berandalan akan seperti Michael saat menyatakan perasaan pada calon kekasihnya. Tidak ada romantisme, penuh dengan kelugasan.

Padahal aku sudah membayangkan kalimat-kalimat romantis seperti apa yang akan Michael katakan tentang momen ini. 'maukah kau menjadi kekasihku?' atau 'mawar itu merah dan violet itu biru.' dan sejenisnya. Tapi yang ia katakan justru sebuah pertanyaan 'bagaimana'?!

Hancur semua khayalanku tentang betapa menawannya sosok Michael dengan balutan busana putih bak malaikat yang meraih tanganku lalu kami mengudara bersama dengan sayap putih lembutnya yang kokoh, melintasi awan lembut dan langit biru.

Ah.. aku terlalu banyak menonton drama percintaan. Ternyata Michael, tetaplah Michael... Tak terasa sebuah kekehan pelan keluar dari mulutku. Aku menertawai diri sendiri.

Kembali pada pertanyaan 'bagaimana' milik Michael. Sebenarnya Ia ingin aku menjelaskan kemungkinan dari 'bagaimana'nya atau dia ingin aku memaparkan tata cara tentang 'bagaimana' itu?! Bukankah sebuah pertanyaan 'bagaimana' akan membutuhkan jawaban yang runtut dan penuh penjelasan?

Sungguh, pertanyaan 'bagaimana kalau kita pacaran?' adalah yang terburuk dalam menembak seorang gadis perawan!!

Pertanyaan Michael akhirnya tak akan terjawab. Aku tak akan menjawab! Biar saja, aku akan menunggu dia datang padaku dan mengulangi dengan benar tata caranya menembak diriku. Aku ingin tahu, seberapa romantis manusia tampan satu itu.

.

.

.

Karena pesan singkat itu, aku akhirnya harus membersihkan meja dan lantai akibat susu hangat yang aku tumpahkan. Tak ada ritual minum susu hangat sebelum tidur hari ini. Aku sudah terlanjur tak bisa tidur, mataku sepenuhnya melotot dan jantungku sedang berdansa ria di dalam sana.

Ah ayolah! ini sudah hampir satu jam dan jantungku tidak menunjukan tanda-tanda untuk sedikit lebih tenang. Seakan dia sangat senang di dalam sana hanya karena sebuah pertanyaan 'bagaimana' dari Michael. ukh! aku jadi memikirkannya lagi!

Besok adalah hari Minggu. Aku berharap Michael datang berkunjung seperti biasa dan mengucapkan kalimat romantis untuk membujukku menjadi kekasihnya. Jika tidak, aku tak akan menjawab panggilan telepon darinya atau mengirimi dia pesan singkat.

Membayangkan hal romantis apa yang bisa Michael lakukan, aku berjingkrak tak karuan.

"Ayolah malam, cepat berlalu!" Aku berlari ke kamar dan meraih boneka panda besar kesayanganku, memeluknya dengan erat dan menjerit keras di dalam perutnya.

Besok, aku akan buatkan kue yang lezat!

Begitu pikirku..

.

.

.

.

Nyatanya, hingga pukul 13.25 Michael tak kunjung tiba. Sebuah pesan pun tak datang darinya.

Sebuah cake yang dilapisi Pondan berwarna biru toska, teronggok tak tersentuh di meja makan. Aku pikir, Michael akan senang melihat kue lucu ini. Aku pikir dia akan datang dengan sebuket bunga mawar merah dan secarik puisi yang ia susun sejak semalam. Nyatanya, aku hanya menunggu waktu menuju sore, sore menuju malam.. dan mungkin berakhir begitu saja.

Hatiku dan otakku sedang berunding. Apakah aku akan menelepon Michael atau mengunjunginya dengan dalih memberikan cake itu. Padahal aku sudah bersumpah pada diriku untuk tidak mengiriminya pesan, pada akhirnya, hatiku menang. Aku bersiap, mengganti bajuku, meletakkan cake ke dalam box dengan hati-hati, lalu pergi menuju halte bis.

Di dalam perjalanan aku meyakini. Mungkin jika pamanku tahu apa yang aku lakukan saat ini, ia akan berpikir bahwa aku sudah tak memiliki harga diri. Gadis kelas atas mana yang datang menemui pria yang ia sukai, karena seharian tidak diberi kabar?

Juliet? Lupakan kisah cinta Juliet dan Romeo yang usang. Mereka hanya sebuah simbol.. Hanya fiksi yang dibuat untuk mewakili sebuah rasa yang disebut putus asa karena patah hati.

Apa aku patah hati? Tidak, justru aku sedang jatuh cinta.

Dua puluh menit berlalu, bis berhenti di halte yang sudah sangat familiar bagiku. Halte yang papan mika berisikan rute-rute busnya telah berganti menjadi coretan graffiti warna warni, yang kursinya sudah tak jelas lagi warna dasarnya. Yang lantainya banyak sekali puntung rokok.

Aku mendesah, keadaan di sini benar-benar berbeda dengan daerah tempatku dan orang tuaku tinggal. Daerah ini seakan-akan bagian lain. Seakan bukan bagian dari kota tempatku menetap sejak kecil.

Menyusuri aspalnya yang hitam dan becek oleh air, beberapa kali aku tak sengaja menendang kaleng kosong. Lalu segera menoleh ke kanan kiri, takut-takut ada yang tersinggung dengan suaranya. Melewati begitu banyak pertokoan yang sebagiannya masih dalam keadaan tutup. Kalian bisa menebaknya, yang tutup itu adalah bar. Begitu banyak bar dan klub malam di sini.

Melewati persimpangan, tempat dimana kami saling bicara dulu. Lalu berhenti tepat di depan sebuah bengkel. Aku yakin Michael pernah berkata bahwa dia bekerja di sini. Tanpa ragu aku mendekat pada seorang pemuda yang dulu pernah aku tanyai soal Michael.

Pemuda berambut hampir merah itu menyadari kedatanganku, lalu tersenyum. "Mencari Michael?"

Aku mengangguk sebagai jawaban, namun sebelum aku bertanya dimana dia, pemuda itu menggelengkan kepala.

"Hari ini dia libur."

Ah.. bagaimana ini?

"Maaf, apa kau tahu dimana dia tinggal?"

"Tahu, tapi aku tak yakin dia ada di tempat itu."

"Aku akan menunggunya jika dia sedang tak ada di rumah. Bisakah beri tahu alamat rumahnya?"

Saat aku bertanya begitu, pemuda itu menggaruk kepalanya lalu melirik pada teman lainnya. Ada apa? Apakah ada masalah? kenapa mereka terlihat keberatan jika aku mengetahui dimana Michael tinggal?

Atau jangan-jangan dia sedang bersama seorang wanita?! jangan-jangan Michael menutupi hubungannya dariku?!

Aku sudah terlanjur tenggelam dengan pikiran-pikiran buruk, hingga secarik kertas disodorkan pemuda itu padaku.

Sebuah alamat.

***


Load failed, please RETRY

Wöchentlicher Energiestatus

Rank -- Power- Rangliste
Stone -- Power- Stein

Stapelfreischaltung von Kapiteln

Inhaltsverzeichnis

Anzeigeoptionen

Hintergrund

Schriftart

Größe

Kapitel-Kommentare

Schreiben Sie eine Rezension Lese-Status: C23
Fehler beim Posten. Bitte versuchen Sie es erneut
  • Qualität des Schreibens
  • Veröffentlichungsstabilität
  • Geschichtenentwicklung
  • Charakter-Design
  • Welthintergrund

Die Gesamtpunktzahl 0.0

Rezension erfolgreich gepostet! Lesen Sie mehr Rezensionen
Stimmen Sie mit Powerstein ab
Rank NR.-- Macht-Rangliste
Stone -- Power-Stein
Unangemessene Inhalte melden
error Tipp

Missbrauch melden

Kommentare zu Absätzen

Einloggen