App herunterladen
2.54% Cintaku Nyangkut Di Kantin / Chapter 7: Ada Jalan, Bagi Orang Yang Mau Berusaha

Kapitel 7: Ada Jalan, Bagi Orang Yang Mau Berusaha

Riski pulang ke rumah dengan keadaan yang happy.

"Kemana aja kamu baru pulang? Banyak keringat juga, habis darimana saja?" tanya Sastro, yang melihat anaknya.

"Tadi habis kerja kelompok, habis itu maen bola." bohong Riski. Jika ia mengatakan yang sebenarnya pasti akan tidak diperbolehkan ia bekerja lantaran usianya yang masih remaja.

"Oh, yaudah cepat mandi dan pergi ke masjid." perintah Sastro.

Riski masih terdiam memandangi luar rumahnya, ia melihat Joko-kakaknya juga baru pulang dari kerja. Lalu, Riski memikirkan satu hal. Jika ia bisa bekerja dari pagi sampai menjelang maghrib, apakah ia akan mendapatkan uang yang lebih banyak? Hmm, kayaknya menarik.

Sayangnya, di pagi hari Riski harus bersekolah. Ia tak mungkin bolos sekolah demi bekerja. Ada cita-cita yang harus ia gapai dengan sekolah. Mungkin di hari minggu.

"Lo juga baru pulang? Tumben, biasanya sekolah pulang cepat." tanya Joko, ia duduk di sebuah kursi untuk melepas sepatunya.

"Kak?"

"Iya, kenapa?"

"Gue boleh nanya nggak?" Riski ingin menanyakan, berapa penghasilan Joko dari bekerja pagi sampai sore seperti ini.

Joko tersenyum, "Boleh, mau nanya apa?"

"Berapa upah yang lo dapetin dari bekerja pagi sampai saat ini baru pulang? Pasti banyak yaa.." kata Riski antusias.

Joko nampak berpikir, kenapa adiknya yang kecil ini menanyakan perihal orang dewasa? Apa mungkin ia akan meminta uang jajan kepadanya? Ah tidak-tidak, sesama saudara tidak boleh pelit.

"Kak?" Riski menyenggol lengan Joko, karena tak ada jawaban darinya.

"Eh iya. Penghasilan ya? Setiap harinya mendapatkan uang 70ribu. Kalo minggu kan libur, jadi minggu nggak dapat uang. Kali aja sendiri selama satu bulan." jelas Joko dengan jujur.

Riski kaget, "Kenapa penghasilan kakaknya yang bekerja dari pagi sampai sore hanya 70 ribu. Gue yang bekerja hanya 3 jam bisa mencapai 50 ribu, apa mungkin karena sayuran itu habis?" batin Riski.

Lalu Joko masuk kedalam kamar miliknya yang berada di paling depan.

Joko dan adiknya bernama Rudy jarang sekali berbicara, seakan sibuk dengan dunianya sendiri. Padahal, satu sama lain selalu peduli. Ternyata rasa peduli tidak harus dengan percakapan yang sering, dengan saling berdiam pun bisa.

Entah karena malu, atau alasan yang lain Riski tidak mengetahui akan hal itu. Tetapi, Riski ke kedua kakaknya selalu sering berbicara. Apa mungkin Riski yang masih kecil butuh bimbingan dari kedua kakaknya??

Riski berjalan menuju lemari miliknya, ia akan segera mandi. Kalo tidak, pasti Sastro akan memarahinya.

***

Waktu yang terus berjalan dengan cepat.

Hari-hari yang Riski jalani begitu-begitu saja, sekolah, bekerja, dan di rumah di gunakan untuk belajar.

Pendapatan Riski dari bekerja juga tak menentu, kalo sayuran sampai habis Riski akan mendapatkan uang 50 ribu. Tetapi, jika sayuran hanya terjual beberapa saja ia hanya mendapatkan 5 ribu saja. Tapi, Riski tetap menjalaninya dengan enjoy, tenang dan happy.

Namanya juga pedagang, pasti pendapatanya juga naik turun. Tak mungkin selalu terjual habis, pasti akan ada moment di mana hanya terjual beberapa atau hanya separuh.

Uang tabungan Riski dari bekerja juga sudah cukup banyak, ia masih tidak tau akan menggunakannya untuk apa.

Dan saat ini Riski juga hendak masuk ke SMA. Pasti di sana juga membutuhkan banyak uang, pelajaran semasa SMA pasti akan lebih berat, menghabiskan banyak uang untuk membeli seragam dan masih banyak keperluan lainnya.

Karena hari ini merupakan libur sekolah, Riski meminta ke Widya untuk tidak bekerja dulu. Ia ingin berlibur sejenak meskipun ia masih membutuhkan banyak uang. Sesuatu yang di paksakan juga tidak baik.

Saat ini Riski pergi ke sebuah sawah, duduk di sebuah gasebo di sana, menikmati semilir angin dan hijaunya pemandangan sawah.

Karena tidak ada orang, ia membuka tas miliknya, "Gue hitung dulu, kira-kira udah dapat berapa ya dari kerja." batin Riski.

Selama mendapatkan uang dari bekerja, Riski tidak pernah menggunakannya sepeserpun. Ia selalu memasukkan kedalam tas miliknya.

Riski mengeluarkan lembar uang satu persatu dan menghitungnya dengan teliti.

10 menit kemudian, Riski telah selesai menghitung seluruh uang yang di dapatkan. Ia bahagia, sedih, dan juga kaget.

"Gila, gue bisa mendapatkan 10 juta. Bakal gue apain enaknya uang ini?" batin Riski, ia juga memikirkan bagaimana baiknya uang ini. Yang jelas Riski tak akan menghamburkan uang yang telah ia dapatkan mati-matian.

Tak lama, ide pun muncul. Riski berniat ingin membuka usaha sayur sendiri, uang yang di dapatkan akan ia gunakan untuk modal usahanya. Apalagi Riski sudah banyak memiliki pelanggan tetap. Eh, tapi bagaimana dengan Widya? Riski tak enak jika harus membuka usaha yang sama dengan Widya. Apalagi Widya sudah berjasa akan hidupnya, ia bisa mendapatkan uang sebanyak ini di usia muda.

"Bagaimana kalo gue ijin sama bu Widya terlebih dahulu akan rencana ini? Ijin aja deh." kemudian Riski berjalan menuju rumah Widya.

Berhubung Riski tak memiliki sepeda ataupun motor, ia kemana-mana selalu jalan kaki.

***

Setelah sampai di rumah Widya.

Tok, tok, tok.

"Assalamualaikum." teriak Riski dari luar.

"Waalaikumsalam." karena Widya juga sedang tidak bekerja, ia langsung membuka pintu untuk Riski. Widya sudah sangat hafal suara Riski karena setial hari selalu mendengarkan.

Setelah membuka pinti, "Eh Riski. Ada apa? Katanya hari ini meminta libur?" tanya Widya ramah.

"Ada yang ingin di sampaikan, bu. Boleh?" Sebenarnya Riski tak enak jika harus bersaing dengan Widya, tapi apa boleh buat. Ia tidak mau jika seperti ini terus, ia harus bisa berkembang dan berkembang.

"Boleh, silahkan masuk dulu." Widya sudah menganggap Riski seperti anaknya sendiri. Karena Widya sendiri sampai saat ini tidak memiliki anak, padahal usia pernikahannya sudah sangat lama. Ya, tapi mau bagaimana lagi?

Riski lalu masuk ke dalam rumah Widya dan duduk di sebuah kursi berwarna abu-abu dan Widya yang berada di depannya.

"Mau menyampaikan apa ini?" tanya Widya membuka obrolannya.

"Jadi, saya mau keluar dari pekerjaan ini, bu. Karena habis ini juga masuk ke SMA.." kata Riski, ia sangat pintar memainkan tempo. Ia belum mengatakan kalo ia juga akan membuka usaha sayur.

"Oalah begitu. Iya tidak apa-apa, lagian ibu juga akan ke luar kota ikut suami. Kamu buka lanjutin usaha ini aja sendiri, nggak masalah kok. Sudah banyak yang kenal kamu, kan?"

Ini yang ditunggu-tunggu oleh Riski, perintah sendiri dari Widya. Kalo seperti ini ia tidak merasa bersalah dengan Widya, "Beneran, bu?"

"Iyaa, itu gerobaknya kamu pakai aja. Tapi, kalo sepeda akan di bawa keluar kota juga. Mau gerobaknya?" tawar Widya.

Widya ini merupakan malaikat penyelamat hidup Riski. Beruntung ia bertemu dengan sosok Widya ini.

"Mauu, buuu." jawab Riski bersemangat.


Kapitel 8: Sekolah Favorit

Setelah mendapatkan ijin dari Widya perkara usaha sayur. Riski kembali ke rumahnya, ia ingin memberitahukan semua ini ke Sastro, Ibunya. Ia akan menceritakan semua yang telah ia alami dari bekerja dan bagaimana bisa mengumpulkan uang sebanyak ini.

Riski juga ingin melanjutkan ke SMK yang terbaik menurutnya. Terbaik karena lulusan dari sana banyak yang sudah bisa bekerja, Riski tak mau kuliah karena ya tentu masalah biaya. Bisa lulus dari SMK saja rasanya sudah sangat bersyukur, bukankah semua orang di dunia ini memiliki rejekinya masing-masing?

Sekolah yang di maksud oleh Riski adalah SMK Kenari Kimia. Sekolah yang mengajarkan tentang kimia, apa itu kimia, dan berbagai macam bahan-bahan kimia. Riski juga sudah membaca, pekerjaan apa yang cocok untuk lulusan dari kimia dan ternyata sangat banyak. Hampir seluruh pabrik membutuhkan orang yang paham tentang kimia, biasanya di tempatkan di bagian Quality Control atau Laboratorium di sebuah pabrik.

Itulah sebabnya Riski ingin kesana, tidak seperti sekolah SMA yang harus kuliah terlebih dahulu.

Padahal sewaktu SMP, Riski tidak mengetahui apa itu kimia karena tidak ada mata pelajaran. Tetapi, ia sering membaca buku di perpustakaan dan mengetahui dasar-dasar kimia itu seperti apa. Itu menjadi modal tersendiri bagi Riski untuk bisa memahami dan mempelajari apa itu kimia.

Setelah sampai di rumah, Riski langsung ingin menemui Sastro, ibunya.

"Buu." teriak Riski dari luar.

Sastro yang sedang berada di kamarnya langsung keluar, "Kenapa?"

"Ada yang ingin aku sampaikan..." kata Riski gugup.

"Apa itu?" tanya Sastro heran, kenapa anaknya tiba-tiba ingin menyampaikan sesuatu? Padahal sebelumnya ia tidak pernah bercerita masalah apapun.

Riski tidak mengeluarkan uang itu, ia memilih untuk menjelaskan semuanya terlebih dahulu, "Sebelumnya maafin Riski ya, buu. Karena sudah membohongi, sebenarnya Riski pulang larut sore setiap hari itu untuk bekerja. Riski bekerja menjual sayur dengan sepeda yang ada gerobaknya, sepeda dan gerobaknya itu milik seseorang dan Riski hanya menjualnya. Riski tau, habis dari SMP pasti ke SMA dan membutuhkan uang yang tidak sedikit. Oleh karena itu, Riski memutuskan untuk bekerja, bu." jelas Riski dengan menundukan kepalanya, ia tak sanggup menatap Sastro yang wajahnya terlihat sedih tapi juga bahagia karena anaknya bisa mengerti akan keadaannya.

"Jadi, selama ini kamu bekerja? Kenapa tidak bilang kalo kamu bekerja, Riskiii?" tanya Sastro.

"Riski tidak ingin membuatmu khawatir, bu." jawab Riski singkat. Memang hanya itu alasan Riski tidak memberitahu Sastro.

Sastro hanya diam dan mengusap air matanya. Tiba-tiba Sastro di kagetkan dengan Riski yang membuka tasnya, "Ini hasil bekerja selama ini, mungkin ini cukup buat uang masuk ke SMA, bu. Jadi, ibu nggak usah khawatir masalah biaya." tegas Riski.

"Ya ampun." Sastro memeluk Riski dengan erat, ia benar-benar tak menyangka akan anak yang terakhirnya ini. Fokus Sastro juga terhadap si Rudy yang masih kuliah dan membutuhkan banyak uang, tetapi ia melupakan Riski yang juga tentunya butuh biaya.

"Maafin ibu nak. Ibu sedang fokus ke kakakmu saja si Rudy, padahal di sisi lain ada kamu yang juga butuh uang. Tetapi kamu malah rela bekerja sepulang sekolah, untuk mencukupi biaya mu sendiri. Maafin ibu." Sastro menangis terisak-isak.

Melihat itu membuat Riski juga bersedih, "Udah, bu. Jangan nangis lagi."

"Itu uang sisanya buat kamu aja, terserah mau di buat apa. Ibu nggak minta, itu kan uang hasil kerja kerasmu, nak." kata Sastro mengusap air matanya.

"Jadi gini, bu. Uang sisanya akan di gunakan untuk modal usaha, Riski di kasih gerobak sama bu Widya karena beliau akan keluar kota. Riski akan berjualan sayur aja, bu. Kebetulan sudah banyak pelanggan Riski." jelas Riski yang memang sudah ia rencanakan.

"Jadi kamu sudah mempunyai rencana ya?" Sastro sungguh kagum terhadap anaknya ini. Bahkan ketika mempunyai uang ia tidak menghamburkannya, justru ia malah ingin terus bekerja. Sastro benar-benar salut.

"Iya, bu. Untuk saat ini seperti itu rencananya, tapi nanti juga akan di pikir lagi kedepannya." jujur Riski, sebenarnya untuk selanjutnya ia belum mengetahui teknik jualan sayur apa yang akan ia terapkan. Akankah seperti ia bekerja pada Widya, atau mengubah tata caranya. Ia masih terlalu abu-abu untuk memikirkannya.

"Yasudah, kamu simpan baik-baik uangnya yaa." tukas Sastro, "Oh iya, ingin melanjutkan ke sekolah mana?" sambung Sastro.

"Ke SMK kimia, bu. Di sana peluang kerjanya banyak, banyak yang membutuhkan lulusan kimia. Boleh, kan?" kata Riski.

"Kimia ya? Itu jaraknya lumayan jauh dari rumah, kamu mau naik apa kesana?" tanya Sastro, memang benar jarak rumah dari sekolah yang di inginkan Riski terlalu jauh. Mungkin kalo naik motor bisa mencapai 20-25 menit perjalanan dengan kecepatan sedang.

"Tapi, sekolah kimia di kota ini cuman itu aja, bu." jawab Riski lemas, ia tak memikirkan akan hal itu sebelumnya. Ternyata jarak juga bisa menjadi sebuah permasalahan.

"Tenang aja, masalah kendaraan ntar kakakmu ini yang membelikan." tiba-tiba ada suara dari luar. Ada secercah harapan bagi Riski. Ternyata itu si Joko, ia diam-diam mendengar obrolan Riski dan Sastro. Ia juga sangat kagum dengan adiknya, di saat yang lain sedang senang bermain tapi Riski malah giay bekerja mungkin alasan itu lah yang membuat Joko ingin menghadiahi sebuah motor kepadanya, meskipun sebenarnya gaji Joko tidak banyak-banyak amat.

"Beneran kak?" tanya Riski memastikan, takutnya kakaknya hanya membohonginya.

"Iyaa beneran. Tenang aja, lo gak usah pikirin akan hal itu." Joko menepuk pundak Riski berkali-kali.

"Yeayy, makasih. Yaudah Riski mau mandi dulu yaa." Riski berjalan menuju lemari dan kamar mandi.

Setelah melihat Riski di dalam kamar mandi, "Kamu dapat uang darimana?" tanya Sastro ke Joko. Sastro khawatir Joko akan mencuri motor, sungguh pemikiran yang buruk.

"Tenang aja, bu. Joko ada tabungan yang udah dari dulu, rencananya buat menikah tapi tak apa buat Riski dulu aja. Ia juga sudah sangat membanggakan bukan? Dengan ia giat bekerja sepulang sekolah? Bahkan ia mempunyai rencana lagi kedepannya. Masalah biaya nikah Joko kedepan, biar itu urusan Joko ya, bu." jelas Joko yang membuat Sastro meneteskan air matanya lagi. Ia bersyukur bisa memiliki anak yang mengerti akan keadaan, saling mendukung satu sama lain.

"Terkadang kita bisa mengubur impian kita demi adik bisa bahagia, bu. Nggak masalah impian itu, kan masih ada hari lain. Tetapi kalo masalah Riski? Ia benar-benar butuh akan kendaraan itu." sambung Joko lagi, dan berjalan menuju kamarnya. Ia tak tega melihat Sastro yang menangis.

Sastro mengelus dadanya, "Alhamdulillah ya allah memiliki anak yang mengerti akan keadaanku ini, aku sangat bersyukur." batin Sastro.


Load failed, please RETRY

Geschenke

Geschenk -- Geschenk erhalten

    Wöchentlicher Energiestatus

    Stapelfreischaltung von Kapiteln

    Inhaltsverzeichnis

    Anzeigeoptionen

    Hintergrund

    Schriftart

    Größe

    Kapitel-Kommentare

    Schreiben Sie eine Rezension Lese-Status: C7
    Fehler beim Posten. Bitte versuchen Sie es erneut
    • Qualität des Schreibens
    • Veröffentlichungsstabilität
    • Geschichtenentwicklung
    • Charakter-Design
    • Welthintergrund

    Die Gesamtpunktzahl 0.0

    Rezension erfolgreich gepostet! Lesen Sie mehr Rezensionen
    Stimmen Sie mit Powerstein ab
    Rank 200+ Macht-Rangliste
    Stone 0 Power-Stein
    Unangemessene Inhalte melden
    error Tipp

    Missbrauch melden

    Kommentare zu Absätzen

    Einloggen

    tip Kommentar absatzweise anzeigen

    Die Absatzkommentarfunktion ist jetzt im Web! Bewegen Sie den Mauszeiger über einen beliebigen Absatz und klicken Sie auf das Symbol, um Ihren Kommentar hinzuzufügen.

    Außerdem können Sie es jederzeit in den Einstellungen aus- und einschalten.

    ICH HAB ES