"Kau masih menyimpan surat-surat itu?"
Hiro menggeleng. "Tidak. Aku terlalu sering pindah."
***
Pramusaji kembali muncul dari balik pintu kemudian membersihkan meja. "Mau margarita lagi?" tanyanya, tapi Hiro mengibaskan tangannya, tanda tak mau.
Himura mencondongkan bahunya dengan menopangkan siku di meja, sampai wajah mereka berdua hanya berjarak kisaran enam puluh senti. Dia memutar matanya, memastikan kembali kemudian berkata, "Kau tahu, Hiro, aku sudah menangani kasus ini selama bertahun-tahun. Aku sudah merelakan ribuan jam, bukan semata-mata untuk bekerja, tapi juga berpikir, berusaha membayangkan apa yang terjadi. Terus-menerus. Teoriku sekarang begini, kau tergila-gila pada gadis itu, lalu kenapa tidak? Dia sangat cantik, semua orang tahu itu, dia populer, jenis wanita yang ingin kau masukkan ke dalam saku celanamu dan membawanya pulang ke rumahmu untuk selamanya. Sayangnya, dia mematahkan hatimu, dan tidak ada hal lain lagi yang menyakitkan daripada itu bagi seorang remaja berusia tujuh belas tahun. Kau sakit hati, kau merasa hancur. Tidak lama sebelum sepenuhnya hatimu sembuh, Bella menghilang. Seluruh kota menderu kaget, dan kau pun merasa terpukul. Melalui kepopuleran namanya, semua orang menjadi ingin membantu untuk menemukannya. Bagaimana mungkin gadis itu bisa secara tiba-tiba menghilang? Siapa yang pantas dicurigai sebagai penculiknya? Siapa yang tega melukainya? Padahal menurut berita yang juga diketahui oleh semua orang kalau Bella tidak pernah punya riwayat masalah dengan siapapun. Mungkinkah kau percaya bahwa Furuya terlibat dalam hal ini? Kau cenderung mengesampingkan itu karena sekujur tubuhmu masih dibalut oleh emosi. Dan dalam keadaan seperti itu, kau memutuskan untuk melibatkan diri. Kau mengambil kesempatan dalam kesempitan. Kau menelepon Detektif Bonjamin yang juga kepayahan menyelesaikan kasus ini karena bukti-bukti yang dihasilkan cukup minim. Kau memberikannya petunjuk yang dianggap cukup masuk akal baginya. Dan mulai dari situlah kondisi mulai menambah kacau dan dramatis. Ketika itu, penyelidikan yang dilakukan oleh Polisi mulai berubah ke arah yang salah dan tidak seorang pun yang mampu menghentikan itu. Saat kau mendengar kalau ada berita di mana Furuya mengaku, kau berpikir telah melakukan hal yang benar. Padahal semuanya adalah akal-akalanmu saja. Kau menganggap telah menangkap pelaku yang benar. Setelah itu kau memutuskan kalau kau hendak menyumbangkan sedikit aksi. Yaitu kau mulai mengarang lagi cerita bahwa kau pernah melihat mobil van hijau di seputaran mal. Tiba-tiba kau menjadi saksi mata utama. Dengan minimnya keterangan, mendadak kau menjadi pahlawan bagi semua orang yang mengagumi seorang Bella Stefa yang menginginkan pelaku pembunuhannya segera ditangkap. Kemudian kau maju di persidangan. Percaya diri mengangkat tangan, dan mengatakan keterangan palsu. Kau terlibat dalam kasus ini, membantu gadis tercintamu itu. Furuya digiring pergi dengan rantai yang membelit, langsung divonis hukuman mati. Mungkin kau apatis dengan itu, berpikir suatu saat dia akan dieksekusi. Dan kau tidak mengerti karena saat itu kau masih remaja, masih dibalut dengan emosi. Sekarang mustinya kau menyadari betapa krusial permasalahan yang terjadi sekarang."
"Detektif. Dia mengaku. Tidak ada paksaan."
"Ya, memang benar. Dan pengakuannya itu sama bisa dipercayanya seperti kesaksianmu. Untuk berbagai alasan, beberapa orang terlibat memanipulasi kasus ini dengan mengatakan sesuatu yang tidak benar. Bukankah begitu, Hiro?"
Ada jeda kesunyian yang lumayan panjang ketika mereka berdua harus menimbang-nimbang tentang apa yang harus dikatakan selanjutnya. Di Kanto, Eijun menunggu dengan sabar, meskipun sebenarnya dia tidak pernah dikenal karena kesabarannya atau saat-saat di mana dia harus tenang.
Setelah dirasa tidak punya alibi lain, Hiro bertanya hal lain, "Afidavit ini, apa saja isinya?"
"Keteranganmu yang sesungguhnya. Kau menyatakan, resmi di bawah sumpah, kalau kesaksianmu di persidangan dulu tidak akurat sama sekali. Kantor kami akan menyiapkan surat pernyataannya. Kami bisa menyelesaikannya dalam waktu kurang dari satu jam."
"Sebentar. Jangan tergesa-gesa. Jadi.., pada dasarnya aku diminta untuk membuat pengakuan bahwa selama ini aku telah berdusta dalam persidangan?"
"Kami bisa menyamarkan tata bahasa yang dipakai, tapi begitulah intinya."
"Lalu afidavit itu akan diajukan dalam persidangan, dan nantinya akan dimuat di setiap surat kabar?"
"Pastinya. Media masa mengikuti kasus ini dari awal. Setiap mosi dan banding di detik-detik terakhir akan dilaporkan."
"Jadi, ibuku akan dipastikan membaca berita itu di surat kabar kalau aku berdusta dalam persidangan. Aku akan mengakui kalau aku adalah pembohong. Benar begitu, Detektif?"
"Tentu saja. Tapi, apa yang lebih penting di sini, Hiro? Reputasi pribadimu atau nyawa orang yang tidak bersalah?"
"Tetapi kau bilang di awal kalau kemungkinannya akan sangat kecil, kan? Jadi, tidak bisa menjamin meskipun aku telah mengaku lantas eksekusinya dibatalkan. Siapa yang akan menang kalau begitu?"
"Yang jelas bukan Furuya Satoru."
"Perkiraanku juga begitu… Eh, aku harus segera kembali ke toko."
"Come on, Hiro."
"Terima kasih untuk makan siangnya. Senang bertemu denganmu." Tidak berselang lama, dia menghilang dari balik meja.
Himura menghela napas berat dan menatap meja di depannya dengan tatapan kosong, tidak percaya. Dia semestinya sudah mendapat kesempatan sedikit. Dia kemudian mengeluarkan telepon genggamnya dan dengan perlahan mulai berbicara dengan bosnya, "Kau mendengar semuanya?"
"Ya, per kata, dengan jelas."
"Ada yang bisa kita pakai untuk langkah selanjutnya, Eijun?"
"Untuk sementara tidak. Sebetulnya percuma saja."
"Menurutku juga demikain. Maaf, Eijun. Kupikir dia tadi akan bersedia mengakui."
"Kau sudah berusaha melakukan apa yang kau bisa, Himura. Usaha yang bagus. Dia menyimpan kartu namamu, kan?"
"Ya."
"Telepon dia lagi sepulang kerja, hanya sekadar menyapa dan mengingatkan dirinya kalau kau berkenan mendengarkan kapan saja dia mau bicara."
"Aku bakal berusaha menemuinya. Untuk minum-minum. Sepertinya itu adalah hobinya. Mungkin saja aku bisa membuatnya teler dan ada mukjizat dia mengatakan sesuatu."
"Dan pastikan itu terekam."
"Ya!"
Di lantai tiga Rumah Sakit Kanto, Kana Hamabe sedang melewati masa-masa pemulihan setelah usai menjalani operasi kandung kemih dan kondisinya mulai membaik. Ivan membersamai selama dua puluh menit dengannya, menghabiskan dua butir cokelat murahan dan basi yang dikirimkan salah seorang keponakan Kana Hamabe. Di lantai empat, dia merapatkan diri bersama istri Ryota Kise yang besar kemungkinan sebentar lagi akan menjanda, anggota setia jemaat Gereja Bethany di mana jantung rapuhnya terpaksa menyerah. Masih ada sekitar tiga pasien lagi yang akan dijenguk Ivan, tapi kondisi ketiganya stabil, bisa dipastikan mereka tetap bisa melihat hari esok. Di lantai dua, dia melacak Dokter Shigeaki yang terlihat sedang memaksakan waktu istirahat kecilnya di kafetaria kecil dengan melahap sepotong roti lapis dingin dari mesin dengan tumpukan kertas di atas meja yang menunjukkan catatan pasien di Rumah Sakit Kanto.
"Kau sudah makan siang?" tanya Dokter Shigeaki dengan ramah usai mempersilakan pendetanya duduk. Ivan duduk dengan memandangi roti lapis tipis itu, roti putih dengan selapis tipis daging kalengan yang tersembunyi di tengah-tengahnya. "Terima kasih, aku sudah sarapan sebelum ke sini."