Nathan berjalan di kebun apel yang kering akibat dibakar olehnya beberapa hari lalu. Dengan santai ia berjalan menyusuri jalan setapak yang ada di dalam Kebun apel yang begitu luas itu.
"Hei!" Seseorang memanggil Nathan dari belakang.
Nathan pun segera menengok ke arah suara yang memanggilnya. "Kau?" Nathan heran melihat Kimberly menyusulnya. "Untuk apa kau ke sini? Jangan ikuti aku!"
"Terimakasih!" ucap Kimberly dengan raut wajah yang tak tulus. Ia tak menatap ke arah Nathan sama sekali.
Pemuda itu tersenyum getir mendengar ucapan terimakasih yang begitu asal.
"Untuk apa kau mengatakan sesuatu yang tak kau mau? Aku tak butuh ucapan terima kasihmu!" ucap Nathan.
"Ibuku yang menyuruhku!" sahut Kimberly.
"Sudah kuduga." Sekali lagi Nathan tersenyum. Kimberly sempat melihat senyum itu. Sungguh, dia memang tampan. Andai saja dia ada pria normal dari keluarga normal. Mungkin Kimberly akan sedikit lebih ramah padanya.
"Kenapa kau tak pulang?" tanya Kimberly.
"Aku akan pulang," jawab Nathan.
"Ini bukan jalan pulang," sahut Kimberly.
Nathan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Ia lantas mendekati Kimberly. "Apa kau sedang mencemaskanku, Nona?" tanya Nathan.
Pertanyaan Nathan sangat tak terduga untuk Kimberly. Ia tak menyangka Nathan bisa mengeluarkan pertanyaan omong kosong seperti ini.
"A-apa? Itu tidak mungkin! Untuk apa aku mengkhawatirkanmu? Jelas-jelas kau adalah .... "
Kimberly sungkan untuk meneruskan ucapannya. Ia tak ingin membicarakan siapa Nathan.
"Aku? Aku kenapa? Aku seorang mafia?" timpal Nathan.
"Tolong jangan katakan itu lagi. Aku benar-benar tak siap," ucap Kimberly. Ia masih sangat terkejut setelah melihat kejadian di rumah Nathan tadi.
"Pulanglah dan mandi. Setelah itu tidur. Lupakan kejadian hari ini," ucap Nathan.
"Semudah itu untukmu? Melupakan kejadian yang sangat mengerikan seperti ini?" ucap Kimberly.
Nathan tak mengatakan apa-apa. Ia tahu hal seperti ini tidak bisa diterima oleh akal sehat orang biasa.
"Jangan mengikutiku. Pulanglah." Rico berbalik. Ia tak ingin bicara lagi dengan Kimberly. Jangankan untuk Kimberly. Bagi Nathan, hari ini juga cukup melelahkan.
Nathan berjalan begitu saja tak menggubris Kimberly yang bingung karena percakapan mereka dirasa belum selesai.
"Hei! Hei!" panggil Kimberly.
Nathan tak menggubris Kimberly sama sekali. Ia lelah dan ingin segera menyelesaikan hari ini.
****
Beberapa hari berlalu setelah kejadian d rumah Tuan Drigory. Kimberly berangkat kuliah seperti biasa. Ia menyusuri jalanan kampus yang menuju ke gedung jurusannya.
"Kim!" Suara Elena terdengar jelas memanggil nama Kimberly. Kimberly menoleh dan tersenyum pahit kepada teman barunya itu.
Elena segera berlari menghampiri Kimberly dan merangkulnya. "Kau masih marah?" tanya Elena.
"Marah untuk apa?"
"Tempo hari," jawab Eelena. Raut wajahnya menunjukkan kalau ia merasa bersalah.
"Aku sudah lupa," jawab Kimberly. Tentu saja ia lupa. Ia melihat mayat bergelimpangan di hari itu. Mana mungkin ia mengingat masalah kecil dengan Elena.
"Maafkan aku. Seharusnya aku tak berkata begitu," ucap Elena.
"Sudahlah, aku sudah lupa." Kimberly memilih untuk tak mempermasalahkan perkataan Elena tempo hari. Padahal saat itu dia sangat kesal.
Saat itu, Nathan dan gerombolannya tiba. Kebetulan mereka menuju di gedung yang sama. Kimberly memperhatikan motor-motor besar yang dipakai oleh teman-teman Nathan yang terlihat tidak murah.
"Kenapa mereka selalu saja berisik?" gerutu Elena.
Saat Kimberly baru masuk ke dalam gedung. Ia tak sengaja berpasangan dengan Nathan. Anehnya, pria itu sama sekali tak menggubris Kimberly. Seperti seseorang yang tak saling kenal. Nathan melewati Kimberly begitu saja.
"Kim?" Elena jelas sangat penasaran dengan sikap Nathan. Padahal beberapa hari ini Nathan suka usil kepada Kimberly. "Terjadi sesuatu di antara kalian?"
Kimberly menatap aneh ke arah Elena. "Sesuatu apa maksudmu?"
"Kenapa tiba-tiba di diam?" tanya Elena.
"Mungkin dia sudah bosan," jawab Kimberly. Ia lantas berjalan begitu saja memasuki gedung.
****
Viona berjalan berkeliling pusat kota X untuk mencari pekerjaan. Karena Kimberly tak setuju dia bekerja di rumah Tuan Drigory. Ia pun memutuskan untuk mencari pekerjaan lain.
"Aaah!" Viona mengeluh kesal karena kelelahan. Ia memilih untuk duduk di salah satu bangku yang ada di trotoar jalan.
Viona melepas penat sejenak. "Nocholas, kau sungguh tega melihatku seperti ini? Aku lelah sekali mencari pekerjaan di sini. Kota ini tak mau menerimaku sebagai pekerja!" gerutu Viona.
Sudah beberapa tempat ia datangi. Namun, tak satu pun yang mau menerima Viona. Bukan tak menerima, tapi memang tak ada lowongan pekerjaan yang ditawarkan.
"Apa aku sebaiknya diam-diam kembali ke rumah orang itu? Jika bekerja di sana. Aku bisa membelikan mobil untuk Kim. Aku tak tega kalau dia berjalan kaki." Viona menggerutu seorang diri bagaikan orang gila. Ia tidak gila. Tapi depresi.
"Lagi pula! Kenapa tak ada angkutan umum di kota ini? Apa semua orang di kota ini harus punya kendaraan pribadi?"
Saat itu beberapa gerombolan anak sekolah melintas dengan menggunakan sepeda.
"Sepeda?" gumam Viona.
Sebuah mobil mewah berwarna hitam melintas di depan Viona. Viona menoleh ke arah mobil itu. Sepertinya Viona cukup familiar dengan mobil itu.
"Drigory?" gumam Viona.
Tak ingin terlihat oleh pemilik mobil itu. Viona memilih untuk bergegas pergi meninggalkan tempat dia beristirahat. Viona berjalan dengan cepat. Namun, dua orang pria yang memakai pakaian serba hitam menghadangnya.
"Nyonya Watson. Silakan ikut kami," kata salah seorang pria itu.
"Maaf." Viona berusaha untuk menghindar karena takut. "Aku harus pergi. Aku sedang sibuk saat ini," ucap Viona.
"Tuan Drigory sedang menunggumu di kedai teh. Di sana." Pria itu menunjuk ke arah sebuah kafe minuman. Tempat itu tadi yang Viona datangi untuk melamar pekerjaan. Tapi ia ditolak.
"Tu-Tuan Drigory? Untuk apa? Aku tak ada urusan dengannya," jawab Viona.
"Jangan buat beliau menunggu. Kami tahu, Kimberly Watson ada di Universitas XXX .... "
"Kimberly? Kenapa kau menyebut nama anakku?" Viona sudah khawatir saat nama anaknya dingin oleh para pria ini. "Antarkan aku ke Tuan Drigory!"
****
Tuan Drigory duduk santai sambil menikmati teh hitam yang dipesannya. Suasana cafe saat ini terlihat begitu sepi. Tentu saja, siapa yang mau datang ke tempat di mana mafia berada?"
Pemilik cafe berdiri di tempat alat mesin hitung. Sesekali ia melirik ke arah Tuan Drigory yang begitu santai.
"Buat apa dia ke sini?" gumamnya getir.
Di masa lalu. Saat Tuan Drigory masih muda. Di mana dia berada. Pasti terjadi perkelahian. Beberapa ada yang mati dan barang-barang ada yang rusak. Namun setelah Istrinya mati, Tuan Drigory hampir tak pernah keluar dari kediamannya. Urusan tak penting di kota biasanya ditangani oleh Black.
Viona masuk bersama dua orang pria tadi. "Bisakah Kau tak memegangku? Aku bisa berjalan sendiri!" pekik Viona. Viona sangat kesal karena merasa pria ini terlalu mengekangnya. iya bukan wanita bodoh yang tidak tahu caranya bersikap sopan di rumah orang lain.
Bersambung ...