App herunterladen
7.89% Hello My Girl! / Chapter 3: Bagaimana Jika Iya?

Kapitel 3: Bagaimana Jika Iya?

"Pa?" panggilku pada Papa yang tengah duduk di sofa yang ada di kamarnya dengan wajah yang nampak sangat lelah.

Terkadang aku ingin menggantikan posisi Papa untuk sejenak saja agar beliau tak begitu kelelahan. Tapi, aku masih belum diperbolehkan mempelajari dunia bisnis itu.

Mama kerap kali mengomel panjang lebar jika mendapatiku yang tengah mempelajari dunia Papa. Bukan tanpa sebab Mama melakukan itu.

Semata-mata Mama hanya ingin agar aku terfokus pada sekolah saja. Dan memang sudah seharusnya begitu, hanya saja ada kalanya aku juga ingin membantu mereka berdua bukan?

Meski memang mencari nafkah itu tugas Papa tapi anak juga harus membantu meringankannya bukan? Kalau aku bertanya kepada Mama bagaimana caraku membantu meringankan beban mereka, maka Mama akan mengatakan bahwa mendapatkan prestasi yang baik adalah bantuan paling besar.

Ya mungkin saja hanya itu yang bisa ku lakukan untuk Mama dan Papa saat ini jadi aku diam saja. Kelak nanti aku akan membantu mereka, ini bukan sebuah janji lantaran aku masih tak yakin apa aku bisa mewujudkannya atau tidak.

Yang kuungkapkan tadi akan ku buktikan suatu saat nanti. Untuk sekarang nikmati masa muda, begitu prinsipnya bukan?

"Kenapa, Mbul?" sahut Papa.

Ah kadang aku lumayan tak suka dengan panggilan itu.

'Ada banyak kisah di dalam panggilan ini, Nak,' ucap Mama kala aku bertanya kenapa terus memanggilku demikian.

"Pinjam laptop yang satunya ada nggak, Pa? Kan Papa bilang kalau laptop dicharger nggak boleh sambil dipakai."

Haduh untuk apa sih aku repot-repot menjelaskan begini. Kan tanpa kujelaskan pun aku yakin Papa sudah tau alasanku meminjam laptop miliknya.

"Ogah ah, palingan juga kamu disuruh Mama kamu kan?"

Aku meringis lantaran tebakan Papa memang sangat akurat. Ya, Mama lah yang memintaku untuk meminjam laptop Papa dengan alasan sudah lama tidak menonton drama Korea.

Kalau laptop milikku kan sedang kucharger lantaran semalam Gibran menginap. Hm, bocah satu ini memang kerap kali merusuh di kamarku.

Kalau Jeno, entahlah namun dia seolah-olah memang memiliki pagar pembatas yang susah untuk kami panjat. Semalam Om Galen sendiri lah yang menjemput bocah itu.

Kalau Paman Dewa mah malahan berbunga-bunga hatinya kalau Gibran menginap di sini. Katanya dengan begitu beliau bisa menikmati saat-saat berdua dengan istrinya. Kakaknya kan jarang keluar dari kandang, eh kamar maksudku hehe.

"Ayolah Pa, nanti mama ngomel-ngomel lagi kalau nggak ada laptop." Jurus andalan, semoga dengan merengek sambil mengedip-ngedipkan begini Papa bisa sedikit luluh.

Walau kemungkinannya hanya nol nol berapa persen. Setidaknya kan masih ada kemungkinan hehe.

"Udah lah kamu jangan ngerengek gitu. Kayak anaknya Bu Dian aja. Eh tapi kan anaknya Bu Dian cewek jadi wajar kalau kamu nggak pantes Mbul," ucap Papa.

Astagfirullah.

Ngga Mama nggak Papa semuanya bahas anaknya Bu Dian setiap detiknya. Ingin rasanya aku pergi dari hadapan Papa saat ini juga namun mengingat Mama aku jadi tak tega.

Hiks, kenapa semuanya jadi rumit begini, sih?

Padahal kan yang butuh Mama namun kenapa malah aku yang harus mengusahakannya?

Haduh Ma, anakmu ini kan tak tau apa-apa.

Kalau dipikir-pikir ulang bukannya akan lebih mempan jika Mama yang meminjam laptopnya langsung? Dan lagian Mama tak akan ke butik beberapa hari ke depan.

"Jadi Papa nggak mau minjemin laptop nih?" tanyaku dengan nada sendu.

"Bukan nggak mau sih cuma malas aja mau minjemin kamu," jawab Papa yang terdengar begitu entengnya.

Huft!

Sepertinya di rumah ini memang jadwal males-malesannya gantian deh. Buktinya kemarin Mama males masak, lantas kemarin-kemarinnya lagi aku malas mandi.

Dan kini Papa malas meminjamkan laptopnya. Subhanallah keluarga ini memang bergilir malesnya haha.

"Aku yang ngambil sendiri deh, Pa. Di mana sih laptopnya?" tanyaku sambil cengengesan.

"Tapi nanti main basket ya? Papa udah lama nggak main lagi soalnya," tawar Papa.

Sejujurnya aku tak terlalu pandai memainkan permainan itu. Eh, kan ada Gibran jadi buat apa aku susah-susah memikirkannya.

Maka, dengan semangat aku mengangguk. "Oke Pa nanti kita main basket," ujarku dengan nada penuh semangat.

"Hm di atas lemari, padahal Mama kamu biasanya ambil sendiri."

Langkah kakiku mendadak berhenti.

Lah kalau ada di lemari dan kata Papa biasanya Mama ambil sendiri, lantas kenapa kali ini Mama menyuruhku!? Huaa jangan bilang Mama masih terobsesi untuk menjadikanku kapten tim basket ya?

Oh ayolah Ma, memangnya golongan cowok ganteng harus pemain basket semua ya? Toh kan selera cewek itu beda-beda, um tapi karena sudah terlanjur ya biarkan saja lah. Gara-gara suka baca novel Mama jadi bertingkah mulu.

"Gibran belum pulang, Mbul?" tanya Papa ketika aku sudah selesai mengambil laptop dari tempatnya.

"Belum Pa, mungkin dia mau pulang nanti kalau hari pertama masuk sekolah," jawabku.

Memang bocah itu kan anteng banget di rumah ini. Toh yang kemarin itu pendaftaran ulang dan kami akan mulai masuk sekolah Senin depan.

Aku sangat yakin kalau anaknya Paman Dewa itu pasti akan menginap sampai waktu itu tiba. Dan kemungkinan parahnya Gibran akan memakai seragam sekolahku saat hari pertama dengan alasan malas pulang ke rumah.

Dulu sih anak dari teman Papaku itu memang kerap kali melakukannya. Untuk sekarang sepertinya sih masih.

"Ada lagi nggak, Pa?" tanyaku.

Melihat Papa menggeleng aku lantas berlalu keluar dari kamar orang tuaku. Hah! Mau ngambil laptop saja berasa uji nyali saya.

***

"Gimana kamu ngerayu Papamu itu, Mbul?"

Harus banget ya kujelaskan hal seperti ini, Ma?

Apakah nggak ada pernyataan lain? Um kalaupun tak ada setidaknya jangan gunakan istilah merayu hiks.

Kan kesannya aku kayak wanita, eh tapi ya benar juga sih. Kan tadi aku merayu Papa, oke ini istilahnya beda dengan istilah yang ada dalam otak kalian semua ya.

Jadi tolong jangan berpikiran yang aneh-aneh juga yang tidak-tidak. Karena ini merayu versi mirip anak yang sedang minta uang sama bapak.

Eh?

Seru juga sih kalau si Jiwoon itu kupanggil bapak. Untung saja kalimat ini hanya kuucapkan dalam hati, jika tidak pasti Papa akan menempeleng kepalaku lagi seperti kala itu wekaweka.

"Nanti Papa ngajakin main basket Ma, biasa kan Papa emang kadang jiwa mudanya menggelora."

Tawa Mama pun meledak seketika, hm sudah kuduga sih kejadian seperti ini pasti akan terjadi. Dan karena di sini ada anaknya Paman Dewa maka Mama pasti akan lebih memperhatikannya.

Jadi, karena aku pasti akan di abaikan maka dari itu aku hanya perlu bermain game online bukan?

"Kamu kenal anaknya Bu Dian?"

Suara Mama itu di arahkan pada Gibran. Haha kasian sekali anak itu, selama menonton drama Korea satu jam ke depan dia pasti akan mendengar pembicaraan tentang 'anaknya Bu Dian'.

Dear Gibran, selamat menikmati detik-detik yang penuh dengan kesesakan itu ya. Semoga kamu bisa bertahan sampai drama Korea itu selesai di tayangkan.

Dan entah apapun itu awal topiknya percayalah kalau Mama pasti akan membawa kata 'anaknya Bu Dian' ke dalamnya. Aku mengangkat bahu, mari kita main game karena siapapun anak Bu Dian itu tak ada urusannya denganku.

-BERSAMBUNG-


Load failed, please RETRY

Wöchentlicher Energiestatus

Rank -- Power- Rangliste
Stone -- Power- Stein

Stapelfreischaltung von Kapiteln

Inhaltsverzeichnis

Anzeigeoptionen

Hintergrund

Schriftart

Größe

Kapitel-Kommentare

Schreiben Sie eine Rezension Lese-Status: C3
Fehler beim Posten. Bitte versuchen Sie es erneut
  • Qualität des Schreibens
  • Veröffentlichungsstabilität
  • Geschichtenentwicklung
  • Charakter-Design
  • Welthintergrund

Die Gesamtpunktzahl 0.0

Rezension erfolgreich gepostet! Lesen Sie mehr Rezensionen
Stimmen Sie mit Powerstein ab
Rank NR.-- Macht-Rangliste
Stone -- Power-Stein
Unangemessene Inhalte melden
error Tipp

Missbrauch melden

Kommentare zu Absätzen

Einloggen