App herunterladen
40% Asa Dalam Sketsa / Chapter 4: Ajak Aku Makan Malam

Kapitel 4: Ajak Aku Makan Malam

"Berisik sialan!" Karin tidak tahan untuk tidak berteriak.

"Ah kau baik-baik saja?" Sahut Hamish di balik pintu setelah mendapatkan teriakan. Ia merasa lega Karin tidak apa-apa. 5 menit lalu ia masih tertidur dengan lelap saat nyamuk menggigit pipinya dan suara teriakan lalu tangisan selanjutnya membangunkan dirinya. Ia tersadar perutnya lapar – tapi bukan itu yang membuatnya bangun dengan kaget.

"Aku dengar kau berteriak. Kau kenapa? Buka pintunya biar aku bisa lihat kau. Kalau kau tidak apa-apa," teriaknya di balik pintu kamar Karin.

"Jangan berteriak. Aku tidak tuli." Ucapnya, "Dan kenapa kau tahu aku tinggal di sini! Kau penguntit ya!" kini Karin yang berteriak. Ia baru sadar, kenapa Hamish mengikutinya dan sampai mendengar ia berteriak. Tidak ada siapa-siapa di sini, Karin sengaja memilih penginapan yang sedikit jauh dari hiruk pikuk untuk bisa menggunakannya menangis dan berteriak sepanjang waktu. Bahkan pengelolanya juga tinggal cukup jauh dari indekosnya. Selain itu juga indekos ini cukup menyeramkan dan sepi.

"Eh? Ah bukan. Aku.." Hamish memikirkan sesuatu, "Aku mau mengembalikan handukmu," ia bahkan lupa di mana handuk yang diberikan Karin di gubuk tadi.

Tidak ada balasan dari Karin.

[Bisa gawat kalau dia benar-benar menanyakan handuknya]

"Ya? Tinggalkan saja di depan pintu." Sahutnya dari balik pintu. Ia membalikan badan dan ingin melanjutkan guling-guling memikirkan kesedihannya.

"Karin!"

Sekali lagi Karin mendengar namanya dipanggil. Ia merasa merinding. Ia tidak bisa membayangkan dan membedakan apakah ini benar Hamish yang memanggilnya atau makhluk lain. Memang sejak dua bulan lalu kadang ia merasa merinding sekali-kali tapi Karin tidak peduli dengan itu. Saat ini lebih baik melihat wajah hantu daripada mengingat mantannya.

"Ah ayolah aku sudah memanggil namamu. Harusnya kan kau terkejut dan membuka pintu atau setidaknya bertanya kenapa aku tahu namamu. Iya kan?" Ucap Hamish kesal dengan respon diam Karin di balik pintu yang tak bergeming. "Atau jangan-jangan kau sudah tau sejak awal?" Sambungnya dengan Nada tinggi.

Sekali lagi ia menggedor pintu kamar Karin. Setelah sadar dugaannya akurat.

"Diam bodoh! Kau merusak pintu kamarku! Kalau kau menggedor pintunya sekali lagi. Ku pastikan malam ini kau tidak bisa tidur dengan nyenyak," Gertak Karin, ia terdiam memikirkan kalimat apa yang harus diucapkan selanjutnya, "Penunggu di sini sangat marah karena kau berisik dan merusak pintu rumahnya!" Ucap Karin yakin dengan ide ancamannya yang mungkin saja tidak akan berhasil. Siapa juga yang percaya hantu di jaman sekarang.

Tidak. Tapi itu berhasil. Hamish benar-benar berhenti menggedor pintu kamar Karin yang engselnya mulai melonggar.

[Tidak bisa berenang dan takut hantu. Apa memang sedari dulu dia begini]

"Oke oke. Tapi mari bicara dulu. Kau ingat aku kan?" sahutnya. Ia benar-benar termakan dengan ancaman Karin. Penunggu di sini pasti tersenyum melihat tingkah Karin yang bisa dijadikan teman untuk melakukan lelucon menakut-nakuti.

"Kalau iya kenapa? Kalau tidak kenapa?" balasnya dingin, Karin melipat tangannya di dada.

[Kau yang pergi kok. Bukan salahku mau melupakanmu. Kau pergi tanpa menjelaskan kalimat terakhir yang kau ucapkan saat itu. Bahkan aku sampai lupa kalimat apa itu. Tapi yang pasti aku yakin kalimat itu berhubungan dengan perasaan kita. Dan pikiranku mengingat itu sebagai tanda perpisahan yang tidak terduga.]

"Mari kita bicara. Seperti dulu lagi, kalau kau lupa aku bisa membuatmu ingat. Ayo buka pintunya," Hamish nampak murung ia tidak yakin apakah Karin ingat dirinya ataukah tidak, tapi ia sebisa mungkin membujuk Karin untuk berbicara secara langsung.

"Bicara saja. Kan sudah kubilang aku tidak tuli. Aku tidak perlu melihat gerak bibirmu untuk tahu apa yang kau ucapkan," jawabnya sekenaknya. Ie menyandarkan punggungnya di balik pintu.

Begitupun Hamish menyandarkan punggungnya di balik pintu sisi lainnya, ia menghela nafas panjang.

"Kalau begitu coba jawab pertanyaan ini. Kenapa kau pura-pura tidak mengenalku?"

"Siapa? Pertanyaan itu untuk dirimu sendiri kah?" tanyanya balik menyindir. Mengingat memang Hamish yang seharusnya menyadari dahulu. Ia memapah dirinya ke gubuk pantai yang memiliki penerangan lampu, seharusnya lelaki itu segera menyadarinya bahkan sebelum ia memberikan handuk padanya.

Lelaki itu bingung bagaimana merespon kelihaian perdebatan Karin. Ia memikirkan sesuatu yang lebih ampuh untuk mengajaknya berbicara secara intens. Ia melihat ke arah tong sampah di depan indekos.

"Karin. Kau sudah makan malam? Lapar tidak? Kebetulan aku lapar. Aku sangat ingin makan sesuatu yang berkuah dan hangat, lalu ayam yang dilumuri saus lada hitam yang pedas dan-" ia mencoba memikirkan makanan apa yang dahulu sering mereka makan bersama. Tapi Karin dibalik pintu tak bergeming.

"Ah kau sudah makan ya? Kalau begitu aku pergi cari makan dulu nanti kita sambung obrolan kita. Jangan tidur dulu ya"

Karin hanya diam sambil mengingat itu makanan yang sering mereka makan bersama dahulu. Mengingat ia hanya berdiam diri di kamar dengan memakan makanan cepat saji membuatnya membayangkan dengan menelan air liur. Ia ingin ikut tapi gengsi.

Karin menempelkan telinganya di pintu untuk memastikan lelaki itu telah pergi. Terdengar suara langkahnya juga sudah semakin mengecil.

[Kayaknya dia sudah pergi. Aku jadi tidak tahan ingin mencari makanan yang ia sebutkan tadi. Aku juga bisa makan itu tanpa kau]

Ia telah menyewa skuter sejak sebulan lalu saat menyadari minimarket terdekat di pantai sangat jauh untuk dijangkau dengan jalan kaki. Saat ia yakin tidak ada pergerakan di depan pintu kamarnya ia membuka pelan pintunya dan mengintip. Tidak ada siapa-siapa. Ia membuka lebar pun tidak ada siapa-siapa. Lelaki itu benar-benar telah pergi. Dan ia lega.

Karin menuju parkiran di mana sekuternya ia gembok, tidak ada cukup ruang jika dia memasukan skuter di indekos. Jadi satu-satunya cara menggemboknya dengan gembok sepeda yang juga dipinjamkan penyewa.

"Nah berhasil kan." Sahut lelaki yang muncul dari balik tembok penginapan Karin. Ia terkejut dan menoleh kebelakang, lelaki berdiri tepat di bawah lampu tiang membuat siluetnya mengagetkan Karin. Ia bahkan memejamkan mata untuk beberapa saat. "Aku berhasil membuatmu keluar kamar." Ucapnya sekali lagi.

Karin yang menyadari suara lelaki itu segera buru-buru melepas gembok sekuternya dan ingin kabur, tapi Hamish segera loncat dari atas tangga kecil penghubung indekos dan parkiran. Ia segera menahan tangan Karin yang tergesa-gesa dan merebut rentetan kunci dari tanganya.

"Apa bedanya makan sendiri atau denganku? Kan lebih baik jika makan bersama. Ayo makan malam bersama," Ajaknya sambil mengangkat gantungan kunci yang digabung jadi satu yang berhasil ia rebut dari tangan Karin. Nampak wajah Karin sangat kesal. Kali ini pasti ajakannya berhasil, ia menyeringai puas bukan karena berhasil merebut kunci itu tapi karena berhasil membohongi Karin dengan langkah kaki palsu yang ia buat untuk mengelabuinya.


Load failed, please RETRY

Wöchentlicher Energiestatus

Rank -- Power- Rangliste
Stone -- Power- Stein

Stapelfreischaltung von Kapiteln

Inhaltsverzeichnis

Anzeigeoptionen

Hintergrund

Schriftart

Größe

Kapitel-Kommentare

Schreiben Sie eine Rezension Lese-Status: C4
Fehler beim Posten. Bitte versuchen Sie es erneut
  • Qualität des Schreibens
  • Veröffentlichungsstabilität
  • Geschichtenentwicklung
  • Charakter-Design
  • Welthintergrund

Die Gesamtpunktzahl 0.0

Rezension erfolgreich gepostet! Lesen Sie mehr Rezensionen
Stimmen Sie mit Powerstein ab
Rank NR.-- Macht-Rangliste
Stone -- Power-Stein
Unangemessene Inhalte melden
error Tipp

Missbrauch melden

Kommentare zu Absätzen

Einloggen