App herunterladen
91.66% Falcon ( Legendary Land) Bahasa Indonesia / Chapter 22: Desiran

Kapitel 22: Desiran

Mata Suwa melebar. Ia membeku dengan tubuh menegang. Tidak bisa berbuat apapun. Seolah seluruh sarafnya tersihir agar tidak bergerak.

Untuk ke tiga kali Ludra mendaratkan bibirnya ke lekukan leher gadis itu. Di mana sang Falcon terakhir pernah menandainya. Sebuah cahaya kuning keemasan menguar seketika saat Ludra menyerap sinar tersebut dengan bibirnya yang dingin nan lembut. Tidak, bukan sebuah hisapan atau gigitan seperti vampir yang tengah menyerap darah mangsa. Melainkan sebuah ciuman.

Ya, Suwa merasa apa yang dilakukan Ludra padanya sekarang bukan seperti saat pertama makhluk itu menandainya. Ini berbeda, sungguh berbeda. Tanpa sadar Suwa mencengkeram bahu Ludra. Memejamkan mata. Meresapi suatu hal aneh yang muncul perlahan di bagian terdalam organ tubuhnya. Seakan sebuah angin berhembus melewati sel-sel tubuh. Secara merata, menyeluruh menciptakan sebuah desiran.

Tak beberapa lama, luka tusukan di punggung Ludra perlahan menutup. Ludra menjauhkan kepala, bersamaan itu sinar keemasan mulai meredup lantas menghilang.

Ada senyum samar di bibir Ludra terutama saat Suwa kembali membuka mata lantas mengerjap beberapa kali sebelum dengan cepat menunduk. Menyembunyikan rona merah di pipinya.

"Ka-kau perlu diobati." Suwa jadi salah tingkah. Memalingkan wajah hendak pergi namun Ludra mencekal lengannya.

"Aku sudah sembuh." Ludra membalik badan. Memperlihatkan punggungnya yang sudah bersih. Tak ada luka maupun bekasnya.

Suwa menganga terkejut, "Bagaimana bisa?"

"Kau ingin ku tunjukkan caranya lagi?"

Sontak Suwa menggeleng cepat menyadari maksud Ludra.

"Ka-kau tak boleh melakukan itu lagi!" Menutupi rasa canggung, samar-samar Suwa melayangkan protes.

Ludra memincing sebelah alis lantas bersendekap, "Kenapa?"

"I... itu tak sopan." Entah kenapa gelagat Suwa menjadi aneh saat Ludra sama sekali tak merespon. Pria itu hanya menatapnya, menunggu Suwa melanjutkan apa yang ingin disampaikan.

Suwa menelan saliva, tak kuat menerima tatapan itu. "Bagi manusia jika seseorang berlainan jenis bersentuhan seperti yang kau lakukan tadi. Itu tindakan tak sopan."

Mendengar ocehan Suwa, bibir Ludra berkedut. Untuk pertama kali makhluk ini menyeringai. "Sayangnya aku bukan manusia."

Tak kuat.

Sekarang Suwa benar-benar tak kuat. Tatapan Ludra begitu dalam hingga membuat sekujur tubuhnya engap. Sebelum sekujur kulitnya memerah seperti wajahnya. Buru-buru Suwa melangkah ke luar. Meninggalkan Ludra yang tersenyum samar melihat tingkahnya.

Setelah keluar. Suwa menyenderkan punggung di balik pintu. Menyentuh dada, ia merasakan jantungnya berdegup gila saat ini.

Astaga!!

Apa yang terjadi padaku?

****

Pria berjubah itu seketika bangkit dari duduknya. Spontan asap hitam menguar menyelimuti tubuhnya.

Di balik topeng emas, Dosta menutup mata, sedetik kemudian dia sudah berada di tempat berbeda.

Dirinya melangkah tenang menyusuri puluhan tubuh tergeletak. Tak menghiraukan jeritan orang-orang yang mendapat tebasan pedang dari ke tiga makhluk yang tanpa beban mengeksekusi beberapa manusia yang hendak melarikan diri dari rumah merah.

Tak peduli pengunjung berpangkat penjabat sekalipun yang menjadi saksi atas kejadian luar biasa mencengangkan beberapa saat lalu. Ya, mereka yang tidak bisa menjaga mulut akan berakhir menjadi seonggok daging busuk.

Mati sia-sia.

Saat ini, tidak ada yang boleh banyak tahu mengenai keberadaan makhluk lain yang menginvansi dunia manusia. Jika itu terjadi, tak menutup kemungkinan manusia-manusia yang menentang keberadaan siluman akan berbondong-bondong menyerang dan membunuh satu persatu makhluk Legendary Land.

Manusia memang tidak memiliki kekuatan supranatural seperti bangsa Legendary Land, namun manusia memiliki akal. Jika mereka bisa menggunakan akal sehatnya, manusia dapat menemukan cara memusnahkan makhluk pengganggu di dunia mereka. Oleh karena itu banyak siluman, monster, arwah, iblis yang selalu menyesatkan manusia. Dengan iming-iming menjanjikan. Sesuatu yang tidak pernah manusia dapatkan dari dewa.

Yang pasti terlihat nyata pada awalnya, tetapi pada akhirnya dapat merusak manusia itu sendiri.

Seperti halnya pria tua berkumis panjang yang seketika berlari lalu menunduk hormat saat melihat sang kegelapan datang. Pria tua tersebut adalah manusia. Tetapi ia menyembah makhluk dunia lain demi kejayaannya. Dan manusia seperti ini sangat disukai sang kegelapan.

Disukai untuk dimanfaatkan.

Dosta menghiraukan sapaan pria tua itu. Ia terus berjalan. Langkahnya terhenti pada serpihan es tempat di mana Ludra menancapkan pisaunya ke dalam tubuh wanita ular.

"Aung melihat gadis pemanggil Falcon." Ujar Yazzi yang sudah berada di samping Dosta setelah membereskan manusia-manusia tersebut. Disusul Meilan serta Aung.

"Apa kau membunuhnya?"

Aung menggeleng. "Sang Falcon berhasil menyelamatkannya. Tapi aku berhasil melukai Falcon."

Sang kegelapan terdiam sesaat. "Selanjutnya bila kau melihat gadis itu lagi, bunuh dia langsung!"

Ketiga anak buahnya mengangguk.

Dosta menggerakkan tangan, memperbarui puing-puing bangunan yang rusak tanpa menyentuhnya.

Ajaib. Rumah merah kembali berdiri kokoh. Tanpa bekas kerusakan apapun.

****

Suwa duduk bersama nenek penjaga penginapan, Diyang dan juga kakak Diyang. Menjelaskan apa yang terjadi di rumah merah. Tentu saja mereka sempat syok tetapi mereka bersyukur ada makhluk yang begitu baik hati memberi pertolongan. Ucapan terimakasih pun membanjiri Suwa dan juga makhluk silver itu.

"Bisakah aku bertemu dengannya? Aku ingin mengucapkan terimakasih." Gadis bermata bulat itu menatap Suwa memohon. Berharap dapat mengucapkan terimakasih secara langsung kepada makhluk yang membuatnya meloloskan diri dari rumah merah.

Ragu-ragu Suwa mengangguk. Dia sendiri tidak tahu apakah sang Falcon mau menemui manusia atau tidak. Namun hati kecilnya berkata lain. Tak masalah kan, toh Ludra sudah menampakkan dirinya di depan umum tadi.

Perlahan Suwa membuka kamar. Ludra berdiri menatap jendela dengan kedua tangan disilang ke belakang. Merasakan kehadiran seseorang, Ludra menoleh.

"Hmmm.... " Suwa menggigit bibir, ragu- ragu hendak berkata. Melirik ke belakang di mana terdapat tiga orang yang ingin melihat makhluk baik hati dari dunia lain.

Ludra mengikuti pandangan Suwa, lantas manik peraknya kembali menatap Suwa datar. Ludra tahu apa yang ada di balik pintu.

"Me-mereka ingin mengucapkan terimakasih."

Ludra tak menjawab, hanya bergeming menatap gadis pemanggilnya. Membuat Suwa harus menelan ludah beberapa kali.

Apa dia marah? Ataukah dia tak keberatan?

Sungguh Suwa tidak bisa menebak ekspresi makhluk ini. Namun apa daya semua sudah terlanjur. Membuat keberanian, Suwa mempersilahkan tiga orang yang sejak tadi berdiri di belakang pintu untuk masuk.

Sontak ketiganya terpana. Begitu takjub dengan makhluk di hadapannya.

Ini kali pertama mereka melihat makhluk dunia lain. Dan jauh dari kata menyeramkan. Makhluk ini benar-benar indah. Mereka bahkan bisa menyebut Ludra sebagai gambaran dewa.

Begitu luar biasa menawan.

Kakak Diyang memberanikan diri mendekat. Melihat secara jelas makhluk yang telah menyelamatkannya.

Dia bahkan tidak berkedip. "Te- terima kasih, terimakasih tuan." Kakak Diyang seketika membungkuk hormat. Diikuti Diyang serta nenek penjaga penginapan.

Ludra hanya mengangguk. Menyentuh pundak gadis itu agar berhenti mengucap terima kasih.

"Saya akan membalas kebaikan anda tuan."

"Benarkah!"

Kakak Diyang mengangguk.

"Ijinkan kami tinggal di penginapan ini beberapa hari lagi."

Kakak Diyang menoleh ke arah nenek pemilik penginapan. Senyuman tulus terbit di bibir sang nenek. "Tentu saja tuan."

Akhirnya Suwa dan Ludra bisa menghabiskan beberapa waktu di penginapan secara gratis. Dan yang lebih diuntungkan adalah Suwa. Gadis itu tak hentinya memasang wajah sumringah.

Tak salah keputusannya mempertemukan Falcon dengan mereka.

Namun beberapa hari ini ada perasaan aneh yang mendadak hadir. Perasaan tidak enak saat melihat kedekatan Ludra dengan kakak Diyang.

Gadis muda bermata bulat yang selalu tersenyum lembut itu kerap mengantarkan makanan dan sesekali memberi bantuan ringan untuk Ludra. Semisal menyiapkan air hangat untuk sang Falcon.

Gadis itu terlihat lebih melayani Ludra ketimbang dirinya yang notabene merupakan pelayan sang Falcon sesungguhnya.

Suwa meremas jemari. Mendengus saat melihat Ludra dan kakak Diyang tengah berdekatan.

Rasanya seperti tidak rela.

"Cemburu?"

Suwa seketika berjingkat. Menoleh, di sampingnya sudah berdiri makhluk menyebalkan sepanjang hayat.

"Sejak kapan kau berada di sini, penyihir?"

Momoro terkekeh. "Pertanyaanku belum kau jawab malah balik bertanya."

Suwa menyimpitkan mata.

"Apa maksudmu?"

Menjawab pertanyaan tanpa kata, Momoru menggerakkan dagu ke arah dua makhluk berlainan jenis yang saat ini tengah duduk bersama di dekat kolam.

Suwa memutar bola mata, berkacak pinggang ia beralih posisi menghadap si penyihir. Melayangkan sanggahan, "Justru aku sangat senang ada manusia yang bisa menggantikan melayani sang Falcon." Suwa tersenyum pongah, "Kurasa kakak Diyang tak keberatan. Dengan begitu aku bisa pensiun jadi pelayannya."

"Memang selama ini kau sudah melayani Falcon?"

Sindiran halus itu membuat Suwa membuka tutup mulutnya. Benar, selama ini Suwa tidak melakukan tugas apapun sebagai seorang pelayan. Tapi itu bukan salahnya kan? Ludra hanya menyuruhnya merekomendasikan orang yang harus dibunuh.

"Salahnya dia tak pernah memerintahku melakukan apapun." Suwa menggedikkan bahu acuh.

"Jadi jika aku menyuruh mu melakukan tugas sesungguhnya sebagai pelayan ku, kau bersedia?"

Suwa begitu terkejut saat Ludra tiba-tiba berjalan ke arahnya. Bahkan sudah amat dekat.

Sejak kapan? Padahal barusan ia melihat Ludra masih duduk bersama kakak Diyang. Dan sekarang, ia tak melihat kakak Diyang lagi. Mungkin wanita itu sudah masuk ke dalam rumah.

Suwa mengangkat dagu memberi jawaban mantab, "Tentu saja."

Sebuah sunggingan terbit di bibir Ludra sementara Momoru tersenyum sumringah. Tanpa berkata lagi keduanya lantas meninggalkan Suwa begitu saja. Membuat gadis itu mengernyit. "Dasar para makhluk aneh."

Suwa pun akhirnya meninggalkan tempat, mencari dua hewan peliharaannya yang ia temukan beberapa waktu lalu. "GU, GA di mana kalian? Ibu mencarimu." Teriak Suwa di sepanjang kaki melangkah. Dari pagi tadi Suwa tidak menemukan keberadaan dua hewan tersebut.

****

"Sial, hewan-hewan itu menghilang." pria tua pengurus rumah merah mendesah. Meruntuki kebodohannya lantaran lalai tidak mengunci kandang yang mengurung bayi-bayi Drok (Jenis hewan Legendary Land berbentuk seperti anjing. Binatang petarung yang sangat menuruti majikannya. Mematikan ketika sudah besar).

"Haah, induknya sudah mati. Sekarang anak-anaknya hilang." Pria berkumis tersebut sedih. Menyayangkan hewan pemberian tuannya hilang. Padahal binatang itu akan sangat berguna.

"Ada apa?" Entah sejak kapan sang kegelapan sudah berada di ruangan itu. Sontak pria tua itu berjingkat lantas menunduk memohon ampun tidak bisa menjaga hewan yang telah diberikan Dosta padanya.

Sang kegelapan hanya diam. Berdiri menjulang menatap pria tua itu. Meski ia tak tahu bagaimana ekspresi sang kegelapan karena tertutupi topeng. Namun pria tua tersebut sangat tahu maksud Dosta yang terus berdiri di hadapannya tanpa sepatah katapun. Meneguk ludah pria tua tersebut berseru, "Sa-saya akan mencarinya tuan." Ia pun seketika memerintahkan beberapa anak buahnya menemukan kedua hewan itu.

Setelah kepergian pria tua tadi Dosta memejamkan mata. Menghilang. Tiba-tiba dia ingin berkeliling di dunia manusia.

****

"GU.... GA!!!! Ke mana kalian?" Suwa terus mencari sampai nafasnya naik turun lantaran bergerak ke sana ke mari.

Kata Diyang ia sempat melihat hewan-hewan itu bermain di belakang penginapan. Mungkin saja mereka menuju hutan lantaran ujung penginapan tersebut merupakan hutan belantara.

Akhirnya Suwa memutuskan mencari di hutan. Tak masalah, lagipula hutan itu cukup aman. Apalagi Ludra sama sekali tak peduli saat Suwa tengah panik mencari hewan menggemaskan itu.

Menggedikkan bahu, tanpa pikir panjang Suwa memasuki hutan. Suaranya tidak pernah lelah mengaumkan nama yang ia berikan kepada hewan-hewan itu. Berharap mereka mendengar panggilannya.

****

Dosta berjalan menyisiri hutan. Langkahnya tenang tanpa suara. Beberapa makhluk penghuni hutan beringsut saat sang kegelapan terus melangkah. Mereka takut. Meski saat ini sang kegelapan tidak melakukan apapun namun tetap saja kehadiran pemimpin dunia Legendary Land tersebut membuat mereka bergidik ngeri. Bahkan hewan asli dunia ini pun enggan menampakkan diri di depannya.

Langkah Dosta terhenti di sisi sungai. Menyeringai, ia menemukan bayi-bayi Drok sedang meminum air.

Mendongak. Mata bulat hewan tersebut menatapnya. Seketika mereka menghentikan aksi minum dan berlari ke arah Dosta. Bayi-bayi Drok bergelung manja, mengusap-usapkan bulu mereka di kaki sang kegelapan.

Sang kegelapan duduk berjongkok. Mengelus-elus kedua hewan tersebut. Sebelum sebuah suara dari arah belakang membuatnya mematung.

"Ahh di sini kalian ruapanya."

***


AUTORENGEDANKEN
Uwakiya Uwakiya

Jangan lupa dukung penulis dg review, koment serta klik batu kuasa / power stone ya! Terimakasih

Load failed, please RETRY

Wöchentlicher Energiestatus

Rank -- Power- Rangliste
Stone -- Power- Stein

Stapelfreischaltung von Kapiteln

Inhaltsverzeichnis

Anzeigeoptionen

Hintergrund

Schriftart

Größe

Kapitel-Kommentare

Schreiben Sie eine Rezension Lese-Status: C22
Fehler beim Posten. Bitte versuchen Sie es erneut
  • Qualität des Schreibens
  • Veröffentlichungsstabilität
  • Geschichtenentwicklung
  • Charakter-Design
  • Welthintergrund

Die Gesamtpunktzahl 0.0

Rezension erfolgreich gepostet! Lesen Sie mehr Rezensionen
Stimmen Sie mit Powerstein ab
Rank NR.-- Macht-Rangliste
Stone -- Power-Stein
Unangemessene Inhalte melden
error Tipp

Missbrauch melden

Kommentare zu Absätzen

Einloggen