App herunterladen
10.08% Cachtice Castle : Blood Countess de Ecsed / Chapter 12: 12. Lamaran, 10 Oktober 1591

Kapitel 12: 12. Lamaran, 10 Oktober 1591

Lorant membantu Gergely memotong kayu untuk persediaan dimusim dingin yang akan segera tiba. Tubuhnya yang atletis dan dipenuhi banyak bekas luka, seolah menunjukan bahwa dia bukan sekedar tuan tanah, namun juga seorang ksatria yang mengerti teknik bertempur. Cara Lorant memegang kampak dan mengayunkannya sangat lihay dan terlatih.

Benca memperhatikan, bahwa kayu yang dipotong oleh Lorant memiliki presisi yang mengagumkan. Seolah Lorant telah mengukurnya. Keringat yang membasahi tubuh Lorant berkilat diterpa sinar matahari pagi yang lembut. Benca tanpa sadar mengaguminya, lalu tersipu sendiri. Dengan senyum sumringah, Benca menghampiri mereka sambil membawa kudapan palacinky dan selai blueberry kesukaan Lorant.

Entah bagaimana, ibunya seolah menguasai banyak hal meski mereka hidup terasing di pinggiran desa Csetje. Semua makanan yang diolah oleh ibunya, akan menghasilkan sensasi yang nikmat di lidah siapapun yang mencicipinya. Bahkan Lorant terang-terangan memuji masakan Gerda.

Sementara pengetahuan obat-obatan herbal yang dikuasai oleh Gerda, cukup membuat Lorant terkagum-kagum. Lorant berseloroh, bahwa mungkin dulunya Gerda adalah seorang tabib di istana kerajaan yang sangat terkenal. Namun Gerda membantahnya, dia hanya mengatakan, bahwa pengetahuan herbalnya didapat karena ketidaksengajaan.

Kedua laki-laki itu serempak menoleh ke arah Benca yang sedang menghampiri.

"Selamat pagi gadis Ayah tercantik," Gergely memeluk dan mencium kening Benca, "Apa yang dikirimkan ibumu untuk dua pria tampan di dunia ini?" Gergely mengerling pada Benca yang langsung tersipu, tidak mampu menyembunyikan rona merah di pipinya.

"Maaf, aku harus meralat pendapat Anda, tuan Gergely. Disini hanya ada satu pria tampan, yaitu Anda. Dan satunya lagi hanyalah seorang pria yang sedang terpesona pada keindahan bunga di tepi hutan."

Lorant tidak mau kalah ikut menggoda Benca. Melihat gadis yang diam-diam telah mencuri hatinya bersemu merah, membuatnya sangat bahagia. Pesona Benca telah memporak-porandakan pertahanannya pada apa yang disebut cinta. Lorant sangat yakin, bahwa saat ini, dirinya telah jatuh cinta pada Benca.

Sedetik pupil mata birunya mengecil, hatinya mencelos, mengingat perjodohan yang telah diatur oleh keluarganya, antara dia dan Baroness Ivett Henrietta de Czoborszentmihaly, sepupu jauhnya.

Kecenderungan keluarga bangsawan adalah menikahkan putra putri mereka dengan kerabat dekat, dengan maksud agar harta kekayaan keluarga tidak berpindah kepada keluarga lain. Bahkan banyak yang menikah dengan saudara dekat atau sedarah seperti yang terjadi pada keluarga Bibi jauhnya, orang tua dari Countess Elizabeth Bathory de Ecsed.

Namun Lorant sudah memutuskan, bahwa dia akan memperjuangkan Benca untuk menjadi pendamping hidupnya. Entah dengan cara apa, Lorant belum tahu. Yang dia tahu hanyalah, bahwa dunianya akan hampa tanpa Benca.

Baru lima hari dia tinggal bersama keluarga ini, sakit fisik maupun bathinnya seperti menguap tak berbekas. Dia merasa hidupnya dipenuhi warna dan harapan. Semua yang tadinya terasa monoton, berubah drastis. Lorant seakan menemukan tujuan hidupnya setelah bertemu dengan Benca. Mimpi dan rencana akan masa depan berebut menerobos pikiran. Kepalanya dipenuhi dengan macam-macam bayangan indah akan masa depan bersama Benca.

Saat ini, seandainya saja Lorant mampu, dia ingin membuat waktu berhenti. Tidak ada lagi yang diinginkannya, kecuali Benca. Benca adalah dunianya.

Benca segalanya. Benca adalah keping puzzle yang hilang dan telah ditemukan. Benca melengkapi gambar puzzle yang selama dua puluh tahun hilang.

Sementara hati Lorant dipenuhi rasa gembira tak berbatas. Segala sesuatu mendadak tampak indah dan sempurna di mata Lorant. Pekerjaan berat memecah kayu dengan kampak seperti sebuah olahraga ringan baginya. Dia merasa penuh energi. Lelah seakan tidak lagi menjadi karibnya. Lorant tidak mengerti dengan semua yang terjadi pada dirinya dalam lima hari ini. Yang dia tahu, dia tidak boleh melepaskan Benca demi apapun.

"Ehem..." Gergely mendehem, membuat Benca dan Lorant yang sama-sama terpaku spontan menengok ke arah Gergely, "Apakah Ibumu berpesan untuk tidak memakan kue-kue itu, sayang?" tanya Gergely menggoda Benca, "Karena sepertinya kamu tidak berniat memberikan kue-kue itu kepadaku dan Tuan Muda Lorant."

Benca tersipu, "Aah Ayah, maafkan. Aku hanya sedikit pusing tadi," jawab Benca mencoba berbohong. Namun Benca tahu, kebohongannya gagal total. Tetapi dengan bijak Gergely tidak menanggapi kebohongan Benca. Namun dengan susah payah, dia menyimpan senyum di hatinya melihat dua anak muda di hadapannya menjadi salah tingkah.

"Oh ya, kalau begitu, masuklah. Biar Ibumu mengobati sakit kepalamu itu." Gergely mengambil nampan berisi kudapan buatan istrinya, lalu mulai menikmati dengan ekspresi berlebihan, "Ibumu memang koki terhebat di dunia. Apapun yang dimasaknya, selalu cocok di lidah. Iya kan, Tuan Muda Lorant?" Gergely melirik Lorant sekilas. Mulutnya penuh dengan kudapan buatan istrinya.

"Oh, eh iya, iya tuan Gergely. Uhm, kalau Benca sakit kepala, biar aku antar dia masuk ke rumah. Saya khawatir nanti Benca jatuh pingsan karena terik matahari." Lorant menjawab dengan gugup.

Gergely hampir tersedak, terutama karena sejak tadi dia sudah berusaha keras untuk tidak tertawa, namun saat ini dia justru terbahak-bahak, "Haha... sejak kapan matahari pagi di bulan Oktober sebegitu teriknya?" Gergely sungguh tidak mampu menahan tawanya melihat muda-mudi yang sedang jatuh cinta ini, "Baiklah, silahkan antarkan Benca pada Ibunya," Gergely terkekeh geli, "Sampaikan pada Ibunya, bahwa putri cantiknya sakit kepala karena terik matahari di pagi hari bulan Oktober."

Lorant menggaruk kepalanya yang tidak gatal sambil menyeringai mendengar godaan Gergely. Tetapi dia tidak perduli. Baginya, yang terpenting adalah berdekatan dengan Benca sesering mungkin sambil memikirkan bagaimana caranya membawa Benca pergi bersamanya.

Lorant sudah memikirkan semalaman rencana untuk meminta izin membawa Benca bersamanya. Dia hanya butuh sedikit keberanian untuk menyampaikan rencana tersebut kepada orang tua Benca. Tentu dengan berbagai alasan yang sudah dipersiapkan untuk meyakinkan kedua orang tua Benca, sehingga mereka dengan sukarela melepaskan putri cantiknya tersebut.

Lorant menghampiri Benca yang tertunduk dengan pipi memerah. Kepalanya sama sekali tidak pusing. Hanya hatinya yang jungkir balik setiap kali Lorant menatapnya. Keadaan hatinya semakin kacau ketika Lorant mendekat. Benca merasa sangat gugup sekaligus bahagia. Perasaan aneh yang sangat sulit untuk diungkapkan.

Dalam lima hari ini, selama Lorant tidur di atas dipan miliknya, sementara dia dan kedua orang tuanya berdesakan di dipan satunya lagi, Benca sering gugup bila menduduki dipan miliknya sendiri, meskipun Lorant tidak sedang berbaring di situ. Ada perasaan aneh yang menjalar membelit hatinya. Seolah dia bisa merasakan dan mengelus jiwa Lorant yang tertinggal di dipan tersebut.

"Benca, ayo kita ke dalam. Kamu harus istirahat. Kalau kamu sakit, siapa yang akan merawat aku?" Lorant berbisik lembut di telinga Benca. Bisikan Lorant membuat hatinya semakin kacau-balau. Namun kakinya seperti terpaku, tidak mampu untuk digerakan. Hingga Lorant memapah dengan lembut, mengajaknya memasuki rumah.

Lorant membimbing Benca duduk di dekat dapur, "Duduklah, aku akan ambilkan air untuk minum. Kamu tidak boleh sakit, Benca. Karena aku ingin mengajakmu jalan-jalan."

Benca menatap Lorant penuh tanda tanya, matanya mengerjap. Sesuatu yang sangat Lorant sukai, dan Lorant masih saja terpesona dengan bola mata hazel milik Benca yang cemerlang saat mengerjap, "Jalan-jalan?" Benca bertanya lirih.

Lorant menyapu pandangan pada seluruh sudut di sekitar mereka, dia tidak melihat Gerda di ruangan tersebut. Setelah memberikan air pada Benca, Lorant duduk di samping gadis itu, "Benca, aku ingin mengatakan sesuatu padamu," Lorant menatap manik mata hazel milik Benca lekat-lekat, seolah mencoba menyelam ke dalam samudera hati Benca melalui matanya.

Benca mengangguk kecil sebagai jawaban, Lorant menggeser duduknya agar lebih merapat pada Benca, "Aku rasa, aku menyukaimu. Bila kamu memiliki perasaan yang sama denganku, maka aku ingin membawamu bersamaku."

Benca terbelalak, "Mmm.. maksudnya?"

"Aku ingin menikahimu," jawab Lorant mantap, "Apakah kamu mau menjadi istriku?" sesaat Benca terpaku bingung, tidak tahu harus menjawab atau memberi respon seperti apa.

Seumur hidupnya, dia belum pernah bertemu dengan orang lain selain kedua orang tuanya. Dan tiba-tiba, ada seorang pria yang baru bertemu dengannya selama lima hari, mengajaknya menikah. "Apakah itu sesuatu yang normal?" Benca sungguh tidak mengerti. Dia perlu nasihat dari kedua orang tuanya, tetapi dalam sudut hati terdalam, Benca sangat ingin selalu bersama Lorant.

"Ikuti saja kata hatimu, Benca!"

Bola mata hazel itu kembali terbelalak lalu mengerjap, "Apakah Lorant seorang penyihir yang mampu membaca pikirannya?" Benca membatin.

"Aku bukan seorang sakti yang mampu membaca pikiranmu, Benca. Kamu harus menjawab pertanyaanku, supaya aku bisa tahu apa yang kamu rasakan." Perkataan Lorant semakin membuat Benca terbelalak, "Benca, tolong jangan memainkan matamu seperti itu. Kamu harus tahu, bahwa caramu mengerjap dan melotot ke arahku, bisa membunuhku!" Lorant tertawa gemas. Ingin rasanya memeluk gadis cantik disebelahnya ini untuk selamanya.

"Kamu bilang kamu bukan orang sakti? tapi kamu mengulangi apa yang terlintas di pikiranku berkali-kali," ujar Benca lirih dengan segala kepolosannya.

Lorant tertawa, semua yang ada pada Benca membuatnya gemas. Lorant bisa gila bila tidak mampu memiliki gadis ini sebagai pendampingnya, "Ini bukan masalah kesaktian, Benca. Ini adalah kontak batin antara dua orang yang sama-sama tertarik, sama-sama jatuh cinta. Fenomena saling tertarik ini, membuat komunikasi non verbal, alias tanpa kata-kata bisa terjalin. Karena, frekwensi antara dua orang yang sedang kasmaran itu sangat sensitive, hingga mampu menembus ke dalam kalbu keduanya." Entah bagaimana Lorant memperoleh kalimat panjang tersebut untuk menjelaskan tentang cinta asmara kepada Benca. Tetapi Lorant puas bisa mengungkapkannya.

Benca menatap Lorant lekat, "Apakah itu artinya, aku sedang jatuh cinta padamu? apakah itu juga yang disebut jodoh?" tanya Benca polos.

"Ya, kamu benar. Aku rasa, kita memang berjodoh." Lorant bersyukur pada Tuhan karena Benca menyimpulkan hal mengenai perjodohan antara dirinya dengan Benca, lalu dia melanjutkan kata-katanya dengan penuh semangat, "Tuhan mempertemukan kita dengan jalan yang aneh, lalu menitipkan perasaan ini di dalam sanubari kita masing-masing. Kita memang berjodoh, Benca. Maka, menikahlah denganku! Jadilah pendamping hidupku selamanya, hingga maut memisahkan, bahkan hingga kehidupan yang akan datang."

Mendengar penjelasan Lorant, Benca mengangguk, "Ya, mari hidup bersama dan saling melengkapi," ucap Benca lirih, "Seperti Ayah dan Ibuku, begitukah maksudmu?"

Lorant mengangguk, "Ya, seperti ayah dan ibumu. Setiap hari kita akan bersama-sama, saling mencintai dan berbagi kebahagiaan," Lorant menggenggam jemari Benca lembut, "Maafkan, aku tidak mempersiapkan cincin yang cantik untuk calon pengantinku. Tapi aku berjanji, akan segera memasangkan di jarimu segera setelah aku tiba di Arva. Ikutlah bersamaku ke Arva, Benca."

"Apakah Ayah dan Ibuku juga ikut?" tanya Benca ragu.

"Jika mereka mau, tentu saja mereka bisa ikut."

"Baiklah, aku mau," jawab Benca mantap.

Lorant tersenyum, genggamannya pada jemari Benca semakin erat. Tatapan mata mereka beradu, seolah saling menyalurkan energi cinta yang membuncah di hati masing-masing. Ketika Benca berusaha menata hatinya yang terlalu suka cita, Lorant terus menatap manik mata hazel milik Benca hingga ke dasar, mencoba memberi keyakinan pada Benca akan tulus cintanya, sekaligus meyakinkan dirinya sendiri, bahwa dia bisa memperjuangkan cinta mereka berdua.

Sementara itu, Gergely dan Gerda berpelukan dibalik dinding kayu yang bercelah. Mereka telah melihat juga mendengar semuanya, dan merestui.

Selama beberapa saat, keduanya menahan diri untuk tidak berteriak mengungkapkan rasa gembira dan haru di hati mereka. Gergely meraih punggung Gerda, mengajak menjauh. Kembali berkumpul dengan tumpukan kayu, berusaha menimbulkan suara bising karena pertemuan antara kampak dan batang kayu yang terbelah.

Sementara Gerda berteriak histeris, "Gery, apa yang kamu lakukan, serpihan kayu mengenai mataku!" Gerda memang selalu memanggil suaminya dengan sebutan Gery saja.

Gergely sedikit berteriak membalas keluhan Gerda yang sedang terkikik, karena sesungguhnya Gerda baik-baik saja, "Ooh sayang, maafkan aku. Apakah itu sakit sekali?" Gergely menyahut sambil melirik ke arah pintu rumah, berharap kedua sejoli yang baru saja saling mengungkapkan isi hati itu ke luar karena keributan yang mereka ciptakan dengan sengaja. Namun sepertinya usaha mereka sia-sia. Karena di dalam sana, kedua sejoli itu masih saling menatap. Keriuhan di dalam hati mereka jauh lebih bising dibandingkan teriakan Gergely maupun Gerda.

Begitulah ketika cinta sedang menghampiri, dunia serasa hanya milik berdua.


Load failed, please RETRY

Geschenke

Geschenk -- Geschenk erhalten

    Wöchentlicher Energiestatus

    Rank -- Power- Rangliste
    Stone -- Power- Stein

    Stapelfreischaltung von Kapiteln

    Inhaltsverzeichnis

    Anzeigeoptionen

    Hintergrund

    Schriftart

    Größe

    Kapitel-Kommentare

    Schreiben Sie eine Rezension Lese-Status: C12
    Fehler beim Posten. Bitte versuchen Sie es erneut
    • Qualität des Schreibens
    • Veröffentlichungsstabilität
    • Geschichtenentwicklung
    • Charakter-Design
    • Welthintergrund

    Die Gesamtpunktzahl 0.0

    Rezension erfolgreich gepostet! Lesen Sie mehr Rezensionen
    Stimmen Sie mit Powerstein ab
    Rank NR.-- Macht-Rangliste
    Stone -- Power-Stein
    Unangemessene Inhalte melden
    error Tipp

    Missbrauch melden

    Kommentare zu Absätzen

    Einloggen