App herunterladen
3.73% AKIBAT ORANG KETIGA / Chapter 4: KAMANIA KECELAKAAN

Kapitel 4: KAMANIA KECELAKAAN

Atun tampak resah, ia baru saja akan menjemput Kamania di sekolah saat Endang dan Hesti pulang.

"Kau belanja ke pasar sekalian jemput Kamania. Beli sayuran dan juga buah-buahan untuk Non Hesti," kata Endang.

"Bu, saya jemput neng Nia dulu, ya," kata Atun.

"Aduuuh, saya kan nggak lama nulis catatan belanja, Tun. Kamu sekalian jalan juga ke pasar. Nia juga kan dijaga gurunya, kalau kerja sekalian dong!" bentak Endang dengan kesal.

Atun pun hanya bisa mengangguk pasrah. Ia tidak berani melawan majikannya itu. Hanya saja dalam hati ia merasa sangat cemas karena sudah terlambat menjemput Kamania.

Sekolah Kamania sebenarnya tidak terlalu jauh dari komplek rumah mereka. Hanya saja harus menyeberang jalan raya. Jadi, tidak mungkin jika Kamania berjalan pulang seorang diri.

Sementara itu, di sekolah Kamania sedang duduk menunggu di gerbang, gurunya sudah kembali mengajar anak yang masuk siang. Sementara teman- temannya sudah dijemput semua.

Kamania mulai bosan, ia merasa haus dan lapar, tapi bekalnya sudah ia habiskan tadi. Botol minumnya pun sudah kosong.

"Aduh, bik Atun mana sih, kok lama banget jemput aku," gumam Kamania sambil menoleh ke kanan dan ke kiri.

"Apa aku pulang sendiri aja ya? Tinggal nyebrang jalan aja, aku udah laper banget," gumamnya lagi.

Tanpa ada yang melihat, Kamania pun berjalan ke arah jalan raya. Rasa lapar dan haus yang dirasakan gadis kecil itu membuatnya tidak mempedulikan pesan bik Atun. Gadis itu pun langsung menyebrang jalan, dan tanpa disadari sebuah mobil dengan kecepatan tinggi mendekat. Saat pengemudinya melihat Kamania, ia sudah terlambat untuknya menginjak rem dan ... brak!

Tak ayal lagi tubuh mungil Kamania pun terpental, bau amis darah tercium. Orang- orang pun mulai berdatangan. Tepat pada saat itu bik Atun pun datang. Ia langsung menjerit histeris melihat majikan kecilnya terkapar berlumuran darah.

"Cepat telepon ambulance," ujar seorang ibu yang ada di sana.

Salah seorang ibu yang ikut berkerumun pun dengan cepat menelepon ambulance sementara bik Atun menangis histeris di samping tubuh Kamania.

Sementara itu Endang yang merasa jika Atun terlalu lama pergi berjalan mondar mandir sambil mengomel di dapur.

"Aduh, Atun ini ke mana sih, disuruh belanja sama jemput Kamania aja sampai lama begini!" Endang terlihat kesal saat Atun dan Kamania belum juga sampai ke rumah.

“Mungkin masih di pasar, Bu,” sahut Hesti.

“Pasar kan nggak jauh, masa iya sampai lama begini!”

Hesti hanya mengangkat bahu, ibu mertuanya itu memang tidak sabaran. Namun, tiba-tiba saja terdengar suara orang yang berteriak memanggil nama ibu mertuanya dari depan. Hesti dan Endang pun segera ke depan dan membuka pintu.

“Loh, Bu Erte, ada apa?” tanya Endang saat melihat bu RT di depan pintun rumahnya.

“Bu Endang, neng Nia ... bik Atun ....”

“Ada apa, Bu? Kenapa dengan pembantu dan cucu saya?”

Bu RT menarik napas dan mengembuskannya perlahan sebelum ia meneruskan ucapannya.

“Neng Nia kecelakaan, tabrak lari. Tadi, sudah dibawa ambulance ke rumah sakit. Kebetulan saya dan suami tadi melihat kejadiannya. Suami saya ikut mengantar dan menemani bik Atun.”

“Ya Allah! Ke rumah sakit mana?”

“Bromeous, Bu.”

Endang memegang dadanya yang tiba-tiba terasa sesak. Lalu ia menoleh ke arah Hesti, “Cepat telepon suamimu supaya dia dan bapak pulang, kita pakai taksi online ke rumah sakit,” katanya.

Sesampainya di Rumah Sakit, mereka melihat bik Atun ditemani oleh Pak RT sedang duduk sambil menangis tersedu-sedu.

“Maafin bibik, Neng ... harusnya tadi bibik tunggu neng Nia aja di sekolah,” ujar bik Atun disela isak tangisnya. Dan saat ia melihat Endang, wanita berusia 40 tahun itu langsung bersujud di kaki Endang.

“Maafkan saya, Bu. Sa-saya terlambat menjemput neng Nia ... jangan pecat saya, Bu,” kata Atun ketakutan.

Endang tak menjawab, ia terdiam dan terduduk lemas. Seharusnya tadi ia membiarkan Atun menjemput Kamania terlebih dahulu baru menyuruhnya ke pasar. Wanita itu merasa sangat bersalah kepada Kamania.

Tak lama kemudian Amar dan Gilang datang. Wajah mereka tampak panik, tepat saat keduanya datang dokter yang menangani Kamania keluar dari ruangan.

“Bagaimana kondisi anak saya?” tanya Gilang.

“Pasien harus segera dioperasi dan dia juga kehilangan banyak darah. Apa di antara keluarga ada yang golongan darahnya sama dengan pasien?”

“Saya papanya, Dok. Silakan ambil darah saya,” kata Gilang dengan cepat.

“Baiklah, kalau begitu silakan ikut saya.”

Sementara itu, di tempat lain Fahira baru saja memecahkan gelas dan perasaannya mendadak tidak enak.

“Kamu kenapa, Fa?” tanya Inayah.

“Nggak tau, Ceu. Tiba-tiba saya kok ingat Kamania. Perasaan saya tiba-tiba nggak enak,” jawab Fahira lirih.

“Pulang saja, Fa. Dari pada kamu kerja tapi pikiranmu ke mana-mana,” kata Inayah sambil menepuk bahu Fahira dengan lembut.

“Tidak apa-apa, Ceu?”

“Tidak, pulanglah. Kalau ada apa-apa kamu hubungi ceceu, ya.”

Fahira pun mengangguk dan segera meraih tasnya. Setelah mengucapkan terima kasih, ia pun segera pulang. Konveksi tempat Fahira bekerja tidak jauh dari rumah kontrakannya, sehingga ia cukup berjalan kaki.

Namun betapa terkejut ia saat melihat Amar tampak berjalan dari arah berlawanan.

“Loh, Bapak mau ke mana?” tanya Fahira.

“Baru saja bapak mau ke tempat kerjamu. Ponselmu tidak aktif?”

“Tadi, kebetulan baterenya habis, Pak. Bapak sama Nia? Bukannya ini hari selasa, Nia mana?” tanya Fahira sambil mencari keberadaan anaknya.

Amar menepuk bahu Fahira perlahan, “Anakmu kecelakaan, Fa. Itu sebabnya bapak datang kemari."

*

"Heh! Buat apa kamu datang ke sini?!” bentak Gilang saat melihat mantan istrinya. Gilang hampir saja mendorong Fahira,tapi Amar dengan sigap menangkap pergelangan tangan anaknya itu.

“Bapak yang menjemputnya tadi. Kamu dan Fahira memang sudah bercerai, tapi Fahira tetap ibu kandung Kamania. Dia berhak mengetahui bagaimana keadaan anaknya!” tegas Amar.

Suasana begitu tegang. Tidak ada seorang pun yang berani bicara lagi. Gilang dan Hesti pun menjauh dan duduk di sudut ruangan. Sementara Fahira ditemani oleh Ammar dan bik Atun duduk tak jauh dari pintu ruang operasi.Sementara Endang mondar mandir dengan gelisah.

"Ngapain bolak balik begitu, Bu? Bapak pusing lihat Ibu mondar mandir," tegur Amar.

"Dokter kenapa lama sekali mengoperasi Kamania?”

"Sabar! Kalau sudah selesai juga keluar," ujar Ammar tampak kesal.

Hesti memang tampak lelah, dan itu tak luput dari perhatian Ammar.

"Lebih baik, kamu bawa istrimu pulang dulu. Dia kan sedang hamil. Nanti kecapean, takut kenapa-kenapa lagi," kata Amar pada Gilang.

"Tapi, Nia kan masih di dalam,” jawab Gilang.

"Ada ibunya di sini , ada bapak dan juga ibu. Pulanglah kamu!” perintah Ammar dengan tegas.

"Baiklah, kalau begitu Gilang dan Hesti pulang dulu. Nanti Gilang ke sini lagi, Bik Atun ikut pulang saja sama saya. Jadi, kalau saya pergi Hesti ada teman di rumah," kata Gilang.

Bik Atun tampak melirik Ammar meminta persetujuan. Ammar pun mengangguk. "Pulanglah, Bik. Rumah tidak ada yang urus , kasihan juga anak- anak kos kalau butuh sesuatu."

Bik Atun pun patuh. Ia segera beranjak mengikuti langkah Gilang dan Hesti untuk pulang ke rumah. Sementara itu Fahira hanya diam, matanya tertuju ke pintu ruang operasi. Ia mendengar tapi tak peduli dengan sekelilingnya lagi. Yang ada dalam pikirannya hanya Kamania putrinya.

Tak lama kemudian , pintu ruang operasi terbuka,dokter pun keluar. Fahira pun langsung menghampiri, "Bagaimana kondisi anak saya dokter?" tanyanya cemas.

"Sabar, Bu. Anak Ibu sudah melewati masa kritisnya. Tapi, dia belum sadar, karena masih dalam pengaruh bius. Tapi, sudah bisa dipindahkan ke kamar rawat. Nanti, jika sudah sadar, Ibu atau keluarga yang lain bisa menghubungi perawat atau dokter jaga, ya."

“Syukurlah kalau begitu,terima kasih banyak,Dok," kata Fahira.

********

Kamania sudah dipindahkan ke ruang rawat. Ammar memilih kamar VVIP utuk merawat cucu kesayangannya itu. Ia ingin Kamania merasa nyaman, juga keluarga yang menjaga tidak bercampur dengan keluarga pasien yang lain.

"Kamu ngga kerja? Ngga takut dipecat? Ngapain terus di sini?" kata Endang dengan sinis.

“Ibu bicara apa? Fahira itu ibu kandung Kamania, wajar jika dia ada di sini untuk menjaga anaknya," tegur Ammar dengan tegas.

“Fahira sudah izin sama ceu Inayah , Bu. Ceu Inayah sudah tau kalau Nia kecelakaan. Jadi saya boleh menemani Nia sampai sehat," jawab Fahira sopan. Endang hanya mendengus sebal.

Padahal selama Fahira menjadi menantunya, Fahira tidak pernah melawan atau berkata kasar.

Namun entah mengapa Endang kurang suka kepada Fahira. Endang masih menganggap bahwa Fahira tidak memiliki pendidikan yang tinggi. Tidak selevel dengan Gilang yang sarjana. Apa lagi mereka adalah pengusaha. Tetapi, sekarang ini ia juga tidak suka pada Hesti, karena menantunya itu sering kali melawan. Hal itu terkadang membuat Ammar pusing.

"Sudahlah,Bu. Biarkan saja Fahira di sini."

"Ibu nggak ngusir , Pak. Ibu,kan cuma tanya. Nanti kalau dia kena pecat gimana."

"Insya Allah, tidak Bu. Ceu Inayah baik dan pengertian, Bu," jawab Fahira sambil tersenyum.

"Baguslah kalau begitu," sahut Endang ketus yang langsung mendapat tatapan tajam dari suaminya.

****

Sementara itu, Gilang dan Hesti tampak sedang bertengkar. Hesti kelihatan kesal pada Gilang.

"Kamu itu, ngapain tadi pake ngamuk- ngamuk segala sama si Fahira?"

"Ya iyalah, aku nggak suka kalau dia ketemu Nia," jawab Gilang

"Loh, dia kan ibunya. Lagian ya, aku tu heran. Kalau dia mau ambil Nia ya biarin ajalah. Kamu kan udah mau punya anak juga dari aku. Ngapain sih, mesti ngotot begitu pertahanin anak kamu. Dia juga ngga pernah mau deket sama aku kok."

"Ya kamulah yang harusnya berusaha untuk deketin Nia. Masa iya ngambil hati anak kecil aja nggak bisa kamu ini!"

"Aku, kan, mesti jaga kesehatan juga. Lupa kalau aku lagi hamil anak kamu!"

"Emang kamu ngapain aja ? Beres- beres ada bik Atun. Masak juga nggak pernah. Di rumah ini kamu tinggal menjaga Kamania. Dulu, si Fahira hamil Nia masih bisa kerja ini itu. Nggak pernah dia ngeluh. Kamu dikit- dikit ngeluh. Dikit- dikit manja."

"Wajarlah, aku sama orang tuaku juga dimanja. Kamu harusnya sebagai suami lebih ngerti apa maunya aku!"

"Egois kamu ini!"

"Aku hanya bicara apa adanya. Inget ya , aku ngga mau balik ke Rumah Sakit. Aku mau istirahat. Kalau kamu mau balik ... balik aja sana! Sekalian juga kalau mau balik sama mantan istri kamu yang kampungan itu!"

Gilang menggeram, hampir saja ia menampar istrinya itu kalau tidak ingat sedang hamil. Akhirnya ia memutuskan untuk keluar kamar. Dilihatnya bik Atun sedang duduk merenung di meja makan.

"Ngapain, Bik?" Tegur Gilang. Bik Atun tergopoh-gopoh berdiri. "Eh, maaf Den. Aden butuh sesuatu? Mau makan atau minum?" tanya Atun.

"Buatin mie rebus aja, Bik. Saya lapar, habis makan saya mau ke kantor sebentar lalu kembali ke rumah sakit," jawab Gilang.

"Baik Den, sabentar, ya."

Bik Atun pun segera membuat mie seperti yang majikannya itu minta.

“Bibi mikirin apa?” tanya Gilang lagi. Ia tau betul jika pembantunya itu pasti resah karena Kamania.

“Saya merasa bersalah, Den. Kalau saja tadi saya tidak terlambat menjemput, neng Nia pasti tidak akan celaka,” kata bi Atun.

Gilang menghela napas panjang, “Ibu bilang tadi, Bibi terlambat gara-gara ibu menyuruh bibi menunggu catatan belanja, kan? Tidak ada yang salah dan benar di sini, Bi. Tidak ada yang mau celaka, kok.”


Load failed, please RETRY

Geschenke

Geschenk -- Geschenk erhalten

    Wöchentlicher Energiestatus

    Rank -- Power- Rangliste
    Stone -- Power- Stein

    Stapelfreischaltung von Kapiteln

    Inhaltsverzeichnis

    Anzeigeoptionen

    Hintergrund

    Schriftart

    Größe

    Kapitel-Kommentare

    Schreiben Sie eine Rezension Lese-Status: C4
    Fehler beim Posten. Bitte versuchen Sie es erneut
    • Qualität des Schreibens
    • Veröffentlichungsstabilität
    • Geschichtenentwicklung
    • Charakter-Design
    • Welthintergrund

    Die Gesamtpunktzahl 0.0

    Rezension erfolgreich gepostet! Lesen Sie mehr Rezensionen
    Stimmen Sie mit Powerstein ab
    Rank NR.-- Macht-Rangliste
    Stone -- Power-Stein
    Unangemessene Inhalte melden
    error Tipp

    Missbrauch melden

    Kommentare zu Absätzen

    Einloggen