Entah sudah berapa kali Sean bertanya, tapi tidak ada satupun jawaban. Keceriaan Reva beberapa hari ini seketika redup dalam hitungan detik. Entah apa yang Jihan katakan, yang pasti menyakitkan hati. Sean tidak menyangka kalau Jihan masih saja berani menelepon.
Tangan Sean terulur, mengusap pundak Reva yang sedang berbaring di atas kasur. Sesampainya di apartemen, Reva langsung masuk kamar menutup rapat tubuhnya di dalam selimut. Rasanya Sean habis akal, tidak tahu mau menjelaskan apa. Reva kalau sudah ngambek, omongan apapun tidak akan didengar.
"Apapun yang Jihan bilang, itu semua ga benar, Reva. Adanya saya di sini udah membuktikan semua, kenapa kamu tetap ga percaya? Nanti kita pulang ke Jakarta, kita hadapin Ibu kamu sama-sama. Kalau Ibu kamu tetap ga setuju, kita bisa apa? Kita harus tetap nikah. Bukan lagi perkara kamu, tapi anak di dalam perut kamu. Apa kamu tega biarin dia hidup susah? Tanpa orang tua komplit?"
Hening.