App herunterladen
50% Lady Renee / Chapter 59: Dua Sisi Mata Pedang

Kapitel 59: Dua Sisi Mata Pedang

"Dia pergi?"

Ratu Ginevra murka mendengar kabar dari prajuritnya, ia tidak tahu kalau orang yang salama ini ia simpan di sisinya sebagai orang kepercayaan adalah seorang monster.

Tidak hanya sampai di situ saja, Arthur juga membantai para prajurit yang menghadangnya, ia benar-benar mengobarkan api permusuhan.

"Yang Mulia, tarik napas, jangan biarkan kemarahan menguasai anda." Pelayan yang selalu merawat sang Ratu bergumam dengan suara rendah, ia ketakutan.

Meja kaca yang ada di depan sang Ratu retak terkena kepalan tangan sang Ratu, gelas berisi susu terlonjak dan isinya memercik kemana-mana, belum lagi roti isi yang terbanting ke lantai hingga isinya berserakan.

"Aku penasaran, seperti apa Tuan yang dimiliki Arthur sampai rela mengkhianati keluarganya sendiri? Apa dia buta?!" Tangan sang Ratu terkepal dengan erat, tetesan darah kental berceceran di atas lantai.

"Yang Mulia, tolong tarik napas." Pelayan itu mulai gugup seiring dengan emosi sang Ratu yang mulai naik, ia mengambil saputangan lembut dan mengusap luka di tangan sang Ratu.

"Buat pemakaman untuk prajurit yang tewas tadi malam, beri mereka semua gelar pahlawan." Ratu Ginevra akhirnya menarik napas dan mulai tenang. "Umumkan pada semua orang bahwa Arthur Emmanuel adalah pemberontak, kepalanya akan dihargai satu peti emas."

Pelayan yang mengusap lengan sang Ratu tercekat, satu peti yang dimaksud Ratu Ginevra bukan kotak perhiasan berukuran kecil, itu adalah peti mati yang biasanya menyimpan mayat. Sang Ratu sepertinya benar-benar serius ingin memberi pelajaran kepada Arthur.

"Yang Mulia, apakah ini artinya …."

"Benar, Arthur meremehkanku sekarang. Tapi saat ia kembali padaku akan kubuat ia tidak akan pernah berpikir bisa pergi dari Ibukota selama hidupnya."

Pelayan itu menelan ludah, keringat dingin mengalir deras di punggungnya dan buru-buru membalut luka di tangan sang Ratu, ia tidak berani lagi mendongak dan bertanya, cukup tutup mulut saja dan layani Ratu dengan baik agar hidupnya bisa tenang dan nyaman.

"Cepat, laksakan perintahku." Ratu Ginevra mengangkat tangannya yang telah dibalut, ia mendecih.

"Baik yang Mulia."

Prajurit yang melapor itu langsung menganggukkan kepalanya, mungkin sepanjang sejarah, baru kali ini mereka melihat pemberontakan yang dilakukan secara nyata dari keluarga kerajaan sendiri, membuat orang-orang mulai menduga-duga.

Sebenarnya apa yang salah dengan keluarga kerajaan?

Ini tidak mungkin hanya sekadar soal perebutan tahta, bukan?

***

Jauh dari cahaya, di tempat tergelap dan terdingin kota Dorthive, suara lonceng yang bergema membuat tetesan air yang mengalir di atas turun lebih banyak, berjatuhan ke atas bebatuan yang diselimuti lumut dan rerumputan yang tidak pernah terkena sinar matahari.

Seorang laki-laki memuntahkan darah dari dalam mulutnya, tangan dan kakinya terjerat rantai, tubuhnya penuh luka dan pakaiannya tidak bisa dilihat lagi warna aslinya, tertutup lumpur dan darah yang menyatu.

Leo terengah-engah, ia memejamkan matanya dengan erat.

Satu-satunya yang mampu membuat lonceng bergerak hanyalah Renee, wanita itu satu-satunya harapan kota ini.

Tapi meski begitu, tidak bisa Leo pungkiri, semakin Renee kuat dan menguasai kekuatannya, semakin Leo takut.

Suara ketukan sepatu terdengar dari tangga yang terbuat dari batu, seseorang berjubah hitam turun dengan sebuah tongkat dan berdiri di depan Leo.

"Bagaimana rasanya?"

Leo tidak menatap sosok itu, hal ini sudah terjadi berkali-kali dalam satu waktu, seakan-akan mereka sekarang sedang menguji mentalnya untuk menyerah.

"Leo … kau bahkan lebih tahu apa yang akan terjadi setelah ini." Sosok itu bergumam lagi, jubah yang menutupi tangannya itu tersingkap, memperlihatkan tangannya yang putih dan jarinya yang lentik, kukunya dihiasi dengan cat kuku berwarna merah marun.

"Kau dan aku, kita bisa kehilangan diri kita jika terus seperti ini."

Leo mengusap noda darah di dagunya, ia mendengkus.

"Aku lebih suka kita mati bersama-sama daripada mengorbankan banyak orang."

Sosok itu menahan napasnya, ia terlihat tidak senang dengan jawaban yang diberikan oleh Leo. Kedua tangannya yang lentik itu mengepal erat.

"Padahal kau tampan dan aku mencintaimu sepenuh hatiku, tapi sayang sekali otakmu terlalu banyak dinodai oleh Ginevra."

Tangan lentik itu bergerak mengusap tongkatnya yang ujungnya dihiasi dengan kepala ular, beberapa tangan monsterr muncul dari balik bebatuan dan mengangkat cakar mereka ke arah Leo.

"Tapi tenang saja, aku tidak akan membiarkanmu mati sebelum aku benar-benar puas."

Leo mengulas senyum getir di wajahnya, matanya itu menjadi semakin suram. Sosok itu tertawa pelan dan tangan monster itu mulai mencakar tubuh Leo.

"Seperti yang kukatakan ketika pertama kali kita bertemu, kau akan menyesal." Tongkat yang ia pegang itu mengetuk di atas batu dan bebatuan itu melebur menjadi lumpur.

"Aku tidak akan menyesal kalau menyangkut orang-orang di kotaku." Leo menggertakkan gigi, menahan rasa sakit di tubuhnya. "Aku adalah seorang Marquis."

Sosok itu tertawa dengan suara melengking, tubuhnya yang masih diselimuti jubah menjuntai menyapu lumpur.

"Kau bodoh!"

Leo tidak menyahut lagi, ia memejamkan matanya dengan erat dan kedua tanganya yang terikat rantai itu menegang.

"Kita lihat saja siapa yang akan berakhir di antara kita berdua, tapi akan aku pastikan kau yang akan mati lebih dulu!" teriaknya dengan suara gemerutuk, tongkatnya ia hentakkan beberapa kali ke atas batu dan membuat lumpur semakin meluas.

Gema lonceng berhenti di luar sana dan secara bertahap keadaan di dalam menjadi sunyi, sosok berjubah itu sepertinya sudah bosan mengatakan hal yang sama berkali-kali pada Leo karena selalu mendapatkan jawaban yang sama, membosankan.

Ia melangkah naik ke atas dengan suara mengetuk yang keras, seakan-akan sepatunya terbuat dari kaca yang keras, tongkatnya perlahan berubah menjadi ular dan naik ke pundaknya.

Ruangan yang gelap dan dingin itu kembali seperti semula, menjadi sunyi dan sepi. Hanya deru napas kasar dari Leo dan tetesan air yang mengalir dari atas terdengar.

Leo menghela napas, lama kelamaan, ia telah akrab dengan rasa sakitnya. Mata hitamnya itu terbuka dan menatap tetesan darah di depannya.

Hidupnya sangat sulit, semua yang ia dengar sepanjang ia hidup, terasa seperti omong kosong.

Ratu Ginevra, kenapa wanita itu … sepertinya Leo tahu alasannya mengapa ia tidak pernah menyerah pada kota Dorthive dan juga dirinya.

Ratu Ginevra adalah wanita yang paling keras kepala yang pernah ia lihat, mungkin karena itulah ia tidak pernah memiliki sosok yang layak menjadi Rajanya, ia penuh dengan intrik dan tidak semua orang menyukainya, terutama mereka yang memiliki hubungan kuat dengan ilmu hitam.

Mungkin memang benar, Renee adalah orang yang mereka tunggu-tunggu, orang berjiwa suci yang Ratu Ginevra percayai dan ia juga telah menaruh semua hidupnya pada Renee.

Meski itu harus dibayar dengan nyawanya, Leo tidak apa-apa.

Asalkan semua orang bisa kembali seperti semula dan kota Dorthive kembali hidup, tidak apa-apa.


Load failed, please RETRY

Wöchentlicher Energiestatus

Rank -- Power- Rangliste
Stone -- Power- Stein

Stapelfreischaltung von Kapiteln

Inhaltsverzeichnis

Anzeigeoptionen

Hintergrund

Schriftart

Größe

Kapitel-Kommentare

Schreiben Sie eine Rezension Lese-Status: C59
Fehler beim Posten. Bitte versuchen Sie es erneut
  • Qualität des Schreibens
  • Veröffentlichungsstabilität
  • Geschichtenentwicklung
  • Charakter-Design
  • Welthintergrund

Die Gesamtpunktzahl 0.0

Rezension erfolgreich gepostet! Lesen Sie mehr Rezensionen
Stimmen Sie mit Powerstein ab
Rank NR.-- Macht-Rangliste
Stone -- Power-Stein
Unangemessene Inhalte melden
error Tipp

Missbrauch melden

Kommentare zu Absätzen

Einloggen