App herunterladen
97.1% Awakening - Sixth Sense / Chapter 67: Kabar Buruk

Kapitel 67: Kabar Buruk

"Ram…" panggil Melissa seraya menatapku dengan pandangan mata yang berkaca-kaca.

"…." Walau aku ingin menjawab… tetapi kenyataannya mulutku tak bisa bergerak sesuai dengan keinginanku.

Di sisi lain, aku melihat Steven sedang memegang handphonenya seraya berbicara. Sepertinya dia sedang memberi tahu keadaanku yang sudah sadar kepada seseorang lewat telpon.

Melihatku keadaanku yang telah membuka mata tetapi tak bisa berbicara tampaknya membuat usaha Melissa untuk menahan tangisnya runtuh.

"Ram… jawab…." ucapnya sembari menangis sesenggukan.

Sementara itu, Steven hanya diam sembari menepuk-nepuk pelan pundak Melissa.

Melihat pemandangan itu membuat perasaanku menjadi campur aduk. Di satu sisi, aku bersyukur bahwa masih ada orang yang peduli dan sayang denganku. Di sisi lain, aku tak tega melihat wajah mereka yang tampak sedih, apalagi sampai mengeluarkan tangisan.

Hingga beberapa saat kemudian, terbesit sesuatu yang membuatku berpikir dan bertanya-tanya dalam hatiku.

"Bagaimana kalau kondisiku tak kunjung pulih?"

"Apakah kondisiku ini akan permanen?"

"Apakah aku harus hidup seperti ini untuk selamanya?"

Menyadari itu membuatku menjadi gugup dan frustasi. Aku tak bisa bergerak dan aku juga tak bisa berbicara. Kalau seperti itu, apa bedanya aku dengan mayat hidup. Mungkin lebih baik aku mati saja ketimbang harus menyusahkan keluarga dan orang-orang di sekitarku.

Beberapa saat kemudian… tiba-tiba terdengar suara langkah kaki yang cepat dan suara pintu terbuka. Suara langkah itu terdengar semakin dekat, hingga perlahan di dalam pandanganku tampak wajah yang tak asing bagiku. Wajah kedua orang yang paling menyayangiku… yaitu Ayah dan Ibuku.

Saat pandangan mata kami bertemu, Ibuku seketika menangis tersedu-sedu seraya memeluk tubuhku dengan erat. Melihat itu, Melissa yang matanya juga masih dipenuhi dengan linang air mata, berdiri di samping ibuku sembari mengusap-usap pundaknya, berusaha untuk menenangkan.

Sedangkan Ayahku hanya diam sambil menatapku dengan tatapan yang menunjukkan kesedihan. Tatapan yang sangat jarang atau bahkan hampir tak pernah kulihat… muncul di matanya. Tatapan yang terakhir kali muncul… pada saat Eyangku wafat. Aku bisa merasakan bahwa dia ingin mengucapkan banyak kata-kata kepadaku… tetapi dia sulit mengekspresikannya dan lebih memilih untuk diam seribu bahasa.

Suasana sedih itu berlangsung cukup lama, rasanya sangat sesak dan berat. Hingga beberapa saat kemudian, Ayahku pun menyarankan Melissa dan Steven untuk pulang terlebih dahulu, karena sudah malam dan waktu jenguknya sudah hampir usai.

Di saat keadaan telah menjadi sepi, sempat terbesit di benakku, "Bagaimana dengan keadaan Putra?"

"Bagaimana keadaan bu Nirma?"

"Apakah kondisi Lala sudah pulih dan baik-baik saja?"

"Apakah janji Jatuhu itu benar? Apa dia tidak akan mengusikku lagi jika melihat kondisiku sekarang?"

Pikiranku sibuk berspekulasi tentang apa yang terjadi kepada mereka. Ditambah lagi aku memikirkan kondisiku yang terasa sangat buruk. Itu semua berhasil membuat pikiranku kacau… kepalaku menjadi berat dan rasanya seperti mau pecah akibat sibuk memikirkan itu semua.

Hingga sampai pada suatu titik dimana aku mulai menyadari, untuk apa aku sibuk khawatir akan keadaan mereka. Jika saat ini keadaanku tak berdaya. Apa pun yang kupikirkan takkan berguna jika diriku belum pulih. Kebanyakan berpikir hanya akan memperburuk kondisiku. Oleh sebab itu, aku memutuskan untuk rileks dan berpasrah saja… aku hanya bisa berdoa dan berharap agar kondisiku bisa pulih dengan cepat.

Semenjak aku sadar, bisa dibilang Melissa dan Steven datang menjengukku setiap harinya. Biasanya mereka datang pada malam hari, seusai Melissa pulang bekerja. Walaupun mereka hanya bisa datang sebentar saja karena durasi kunjungannya sudah mepet. Setiap hari, Steven dan Melissa selalu mencoba menghiburku lewat celotehan mereka. Aku bisa memerhatikan hubungan mereka berdua yang tampak semakin akrab, lewat interaksi mereka yang kelihatan nyaman saat saling mengejek dan bergurau satu sama lainnya. Oleh sebab itu aku bersyukur dan bisa lebih tenang, sebab Melissa tidak kesepian lagi dan bisa mendapat teman yang bisa diandalkan seperti Steven.

Hari demi hari berlalu, hingga kisaran kurang lebih seminggu kemudian, setelah kondisiku sudah mulai membaik, secara tak sengaja… akhirnya aku bisa mengeluarkan suara dan berbicara dengan mulutku. Walau suara yang kukeluarkan terdengar sangat serak dan berat bagaikan suara monster. Pada pagi itu… di saat ibuku baru saja datang kembali sembari membawa perlengkapanku.

"M-aa…" ucapku dengan suara serak dan pelan.

Ibuku yang sedang merapikan meja seketika langsung menoleh dan memandangku dengan kaget.

"Kamu udah bisa bicara ya sayang?" ucap ibuku sembari menyentuh kedua pipiku.

Aku mengangguk pelan dan tersenyum kecil. Ibuku langsung memeluk erat tubuhku sembari berkali-kali berucap syukur dan berterimakasih kepada yang Mahakuasa. Perkembangan sekecil itu tampaknya berhasil membuat Ibuku sangat bahagia. Mungkin itu bisa sebagai harapan, bahwa keadaanku perlahan akan pulih hingga bisa sampai sembuh sepenuhnya.

"Mama kabarin ke temen-temen kamu ya?" tanya Ibuku sembari mengusap lembut kepalaku.

Aku menggelengkan kepalaku, "Biar surprise aja ma…" ucapku lemah.

Ibuku pun mengangguk sembari tersenyum lebar merespon permintaanku. Setelah melihat keadaanku yang semakin membaik, ibuku tampaknya sangat bersemangat. Senyum lebar pun selalu terpampang di wajahnya. Itu menjadi semangat buatku juga, untuk berdoa dan berusaha bisa pulih secepatnya.

Tak terasa waktu telah mengalir dengan cepat, hingga sinar matahari pun terganti oleh sinar rembulan, tanda siang sudah berganti dengan malam. Seperti biasanya, saat malam tiba, Melissa dan Steven pun datang mengunjungiku. Sesampainya di ruangan, mereka langsung sibuk mengoceh satu sama lainnya sembari menatapku dengan antusias. Walaupun terkadang mataku terpejam, tetapi aku tetap mendengarkan semua ucapan mereka.

"Temen kerjanya Melissa ada yang naksir sama dia loh…" ucap Steven sambil melirik Melissa dengan tatapan jahilnya.

"Tau dari mana lo?" tanya Melissa bingung.

"Ya tau lah… orang yang naksir lo itu temen gw hahaha."

"Lah… dia sampe curhat ke lo gitu?" tanya Melissa.

"Iya dong… gw pancing dikit udah dibocorin semua infonya… hahaha"

"Mulai dari dia yang ngechat lo tiap hari… terus ngajak makan malam bareng di resto, sampe dia yang malu-malu setiap kali ngeliat lo… semuanya gw tau… hahaha." jawab Steven sambil tertawa jahil.

"Terserah lo deh… lagian gw cuma anggap dia temen kerja doang, gw gak punya perasaan ke dia sama sekali." balas Melissa dengan santai.

"Ya iyalah… orang dari dulu lo cuma naksir sama si Rama doang." ucap Steven sambil menggelengkan kepalanya.

"Iya dong… gw mah setia orangnya…" balas Melissa sembari memasang ekspresi bangga.

"Tapi sayangnya lo ditolak mentah-mentah… pfffttttt…" tambah Steven sembari menutup mulutnya dengan telapak tangan.

"Akhhhhhh…"

Steven seketika berteriak keras sembari mengerang kesakitan akibat pukulan manis yang telah mendarat di punggungnya. Hanya mendengar suara pukulannya saja bahkan membuatku bergidik ngeri.

"Husss… jangan berisik dong mas…" tegur perawat yang sedang berjaga.

"Iya.. maaf mbak…" balas Steven sembari mengusap punggungnya sendiri.

Sementara itu, Melissa tertawa tanpa mengeluarkan suara dari mulutnya.

Sambil memasang ekspresi yang kesal, Steven beranjak berdiri dari kursinya, "Gw ke toilet dulu deh…" ucapnya.

"Hussssh sana…" balas Melissa sambil melambaikan tangannya.

"Ram… tau gak… tadi kerjaan aku padat banget loh… udah gitu aku dimarahin sama atasan… padahal yang salah itu pembelinya. Aku kesel sih… tapi mau gimana ya… aku ga bisa ngelawan juga… makanya aku cuma bisa curhat ke kamu…" ucapnya sembari menghela nafas.

"Aku jadi kangen Ram… kangen berangkat kerja dianterin sama kamu… terus pulang juga ditungguin dan dijemput sama kamu. Kangen waktu kita bercanda dan makan bareng dipinggiran. Aku kangen sama kamu…" ucapnya dengan tatapan sedu dan senyuman kecil di bibirnya.

"Nanti aku ajak Nadia deh… dia juga udah kangen loh sama kamu… tiap hari dia nanyain kabar kamu ke aku. Kayaknya dia naksir deh sama kamu… tapi dia malu nunjukinnya hahahaha." lanjut Melissa.

"Mel…" panggilku dengan suara pelan.

Melissa yang tadinya sibuk bercerita tiba-tiba langsung diam seketika. Ekspresinya tampak sangat kaget… matanya membelalak… dia menatapku layaknya tak percaya akan apa yang baru saja didengarnya.

"Mel…." panggilku sekali lagi sembari tersenyum kecil.

Ucapanku itu membuat mata Melissa tampak mulai berkaca-kaca, begitu juga mulutnya yang tertutup rapat dan tak bisa berkata apa-apa.

Dengan suara yang lemah aku berkata, "Makasih… Mel…"

Air mata Melissa pun mulai terjatuh dan mengalir di pipinya. Tangisnya seketika pecah setelah mendengar ucapanku. Di sisi lain, terdengar suara pintu yang terbuka… Steven yang baru kembali dari toilet tampak heran melihat Melissa yang sedang menangis terisak-isak.

"Kenapa lo nangis Mel?" tanya Steven sembari menepuk lembut pundak Melissa.

"De..wa… Cin…ta.." ucapku sambil tersenyum.

Steven seketika melongo, "Lo udah bisa ngomong…" ucapnya seakan-akan tak percaya.

Sejujurnya aku heran kenapa reaksi mereka sampai seperti itu. Sebenarnya aku telah didiagnosa apa oleh dokter, pikirku.

"Ke-napa?" tanyaku pelan.

Melissa menggelengkan kepalanya lalu berusaha memasang ekspresi senyum di wajahnya.

Sedangkan Steven tampak berusaha mengalihkan pembicaraan, "Gapapa Ram… omong-omong perasaan lo gimana sekarang?"

"Senang…" jawabku sembari tersenyum.

Suasana menjadi terasa lebih ceria… Steven dan Melissa pun dengan antusias mengajakku berbicara. Mereka bercanda gurau, berusaha untuk mencairkan suasana. Begitupun aku yang juga terbawa oleh suasana, sampai terhanyut di dalam obrolan. Saking semangatnya, aku sampai kadang terbatuk karena ingin mengimbangi obrolan mereka.

"Gw ada tebak-tebakan neh… kenapa ayam jago gak punya tangan?" tanya Steven dengan senyuman jahil khasnya.

"Karena ayam kan termasuk burung… ya cuma punya sayap lah." jawab Melissa.

"Yah… ga asik jawaban lo…" ejek Steven.

"Emangnya jawabannya apa?" tanya Melissa.

"Ayam jago gak punya tangan… karena ayam betina ngga punya susu." jawab Steven sembari menahan tawa.

"Uhukkk… uhukkk…." Mendengar itu membuatku spontan batuk. "Seharusnya aku sadar, sebab selama ini teka-teki yang kudengar dari Steven selalu bertema khusus dewasa." pikirku.

"Santai aja Ram… pelan-pelan… jangan dipaksain…" ucap Steven sambil tertawa.

"Gara-gara lo sih… pake becandaan jorok lagi…" potong Melissa dengan kesal.

"Hehehe…" Steven pun tertawa kecil melihat responku.

Hingga sejenak kemudian, terbesit suatu pertanyaan di benakku, "Aku… udah berapa lama di sini?" tanyaku dengan suara terbata-bata dan lemah.

"Hampir dua bulan Ram…" jawab Melissa.

Aku terkejut dan tak menyangka sudah terbaring selama itu di sini. Berarti aku sudah tak sadarkan diri selama waktu satu bulanan.

"Keadaan Putra?" tanyaku.

"Putra?" tanya balik Melissa yang tampak kebingungan.

"Temanku yang kecelakaan." jawabku.

"…." Melissa dan Steven seketika terdiam. Melissa dan Steven saling menatap satu sama lainnya dengan ragu… seakan-akan terjadi sesuatu kepada Putra.

"Teman kamu…"

"Kenapa?" tanyaku dengan firasat yang tak enak.

"Udah meninggal…" ucap Melissa.

"......…"

Kabar yang paling tak ingin kudengarkan ternyata benar-benar terjadi.

Bersambung…


Load failed, please RETRY

Wöchentlicher Energiestatus

Rank -- Power- Rangliste
Stone -- Power- Stein

Stapelfreischaltung von Kapiteln

Inhaltsverzeichnis

Anzeigeoptionen

Hintergrund

Schriftart

Größe

Kapitel-Kommentare

Schreiben Sie eine Rezension Lese-Status: C67
Fehler beim Posten. Bitte versuchen Sie es erneut
  • Qualität des Schreibens
  • Veröffentlichungsstabilität
  • Geschichtenentwicklung
  • Charakter-Design
  • Welthintergrund

Die Gesamtpunktzahl 0.0

Rezension erfolgreich gepostet! Lesen Sie mehr Rezensionen
Stimmen Sie mit Powerstein ab
Rank NR.-- Macht-Rangliste
Stone -- Power-Stein
Unangemessene Inhalte melden
error Tipp

Missbrauch melden

Kommentare zu Absätzen

Einloggen