App herunterladen
1.07% Battle of Heaven / Chapter 3: Malaikat Jophiel

Kapitel 3: Malaikat Jophiel

"Oh Tuhan, kau berani mengkhianati kehendak Gabriel?" tanya Uriel, setiap kali malaikat itu berbicara, terasa getaran semakin kuat detik demi detik.

Tangan dan kaki seluruh warga desa ikut gemetar ketika mendengar ancaman dari malaikat agung tersebut, bahkan Ponrak yang semula gagah berani hendak melawan para iblis kini nyalinya ciut dihadapkan dengan dua malaikat agung yang datang ke desanya.

Ukuran tubuh dua malaikat itu jauh lebih besar dan tinggi dari yang mereka duga, bahkan mereka tinggi pohon kalah oleh tinggi Uriel dan Kamael. Perbandingan besar keduanya layaknya seorang manusia dengan kucing, cukup besar jika kucing melihat manusia dewasa di depannya.

"Aku harus bertanggung jawab. Aku harus menyampaikan pesan dari seseorang yang mengirimku kemari."

Kamael terlihat kesal dan marah. Ia dengan keras menghentakkan tombak trisula yang ia genggam di atas tanah sehingga membentuk kawah dengan api panas yang bergejolak. Jaraknya cukup jauh tetapi warga desa sudah dibuat ketakutan akan hawa panas yang mereka rasakan.

"Jangan bertindak bodoh, kau akan mengorbankan semua orang di desa jika tetap tak mau mengatakan dari mana kekuatanmu berasal," ucap Kamael, menunjuk Evan dengan ujung tombaknya.

Wajah Ponrak kini berubah pucat, ia sama takutnya ketika kehilangan ayahnya beberapa menit yang lalu. Nyalinya ciut ketika dirinya dihadapkan pada kematian yang sia-sia, Ponrak segera menghampiri Evan dan meminta pria itu untuk memberitahu mereka.

"Aku tidak bisa melakukannya."

"Kau akan membiarkan kami semua mati terpanggang di sana, Tuan?!" bentak Ponrak, egois.

Kini, Evan dihadapi dilema besar, antara memilih harus memberitahu kedua malaikat tersebut atau memegang teguh prinsip tanggung jawab akan pesan yang harus ia sampaikan pada Pendeta Agung.

"Cepat beritahu mereka!"

"Jangan buang waktu lagi. Aku tidak mau mati muda."

Mereka serentak menyuruh Evan untuk segera mengungkapkan identitas si pemberi kekuatan. Jika ia melakukannya, ia akan diburu oleh seisi dunia dan menjadi buronan kelas atas karena hubungannya dengan Jophiel.

"Jangan beritahu mereka. Uriel dan Kamael akan membunuhmu hingga ke jiwa terdalammu!"

Lagi, Evan mendengar perkataan tersebut. Ia tidak tahu siapa yang mengatakannya, tetapi perintahnya selalu membawa keuntungan bagi Evan. Evan tetap berpegang teguh untuk tidak mengatakan siapa yang memberinya kekuatan selain kepada Pendeta Agung.

"Aku tidak akan mengatakannya."

"Manusia egois. Karena ulah dirimulah mereka semua akan dimasukan ke dalam kawah berapi tersebut."

Serentak semua warga desa menjerit ketakutan, mulai dari orang dewasa hingga anak kecil yang tak tahu apa-apa. Ponrak terkejut mendengar pernyataan Evan, tubuhnya mengigil ketakutan ketika dia dipastikan akan tewas terpanggang di kawah tersebut.

"Kau akan diliputi rasa bersalah seumur hidupmu! Akan kupastikan itu, Evan!" bentak Ponrak, kesal.

"Tidak!"

"Seseorang tolong aku!"

Satu persatu warga desa yang tak berdosa dikirim untuk dimasukan ke dalam kawah berapi. Terdengar teriakan melengking dari mereka, suara penyiksaan dan penderitaan yang tak seharusnya mereka dapatkan.

Kini hanya tersisa Ponrak dan Evan seorang di desa tersebut, Kamael memberi kesempatan kedua untuk Evan memberitahu mereka siapa yang memberinya kekuatan.

Evan masih diam, melihat sikap pemuda tersebut membuat Ponrak berang. Ia langsung berteriak kepada Kamael dan memberitahu mereka siapa yang memberi Evan kekuatan.

"JOPHIEL! Malaikat itu yang memberinya kekuatan," teriak Ponrak.

"Jophiel? Bagaimana kau mendapatkan kekuatan dari malaikat yang terbuang?" tanya Uriel, terkejut.

"Terbuang? Apa maksudmu?" tanya Evan, bingung.

Uriel dan Kamael tidak berkata apa pun. Ia memiliki perjanjiaan dengan para malaikat agung lainnya untuk tidak menceritakan penyebab Jophiel dibuang dari dunia ini.

"Bagaimana kau mengetahui kalau dia adalah utusan Jophiel?" tanya Kamael, kepada Ponrak.

Wanita itu segera mengangkat tangan kanan Evan dan menunjukan lambang Jophiel di punggung tangan pemuda tersebut. Uriel mulai mengerti dengan situasi yang dihadapi mereka.

"Kekuatannya berada di tangan kanan pemuda itu," ucap Uriel seraya menunjuk ke arah Evan.

"Aku akan mengambilnya!"

Kamael segera berubah bentuk dari semula besar dan tinggi, mengecil hingga seukuran Evan dengan tetap memakai seragam perang dan menggenggam tombak trisula miliknya.

"Apa maksudmu mengambilnya?" tanya Evan, ketakutan.

"Kau tidak akan merasa sakit ketika kumelakukannya." Kamael mendekat dengan langkah perlahan, Ponrak memundurkan langkahnya dan menjauhi kedua orang tersebut. Kamael akan mengambil kekuatan Evan dengan cara memutuskan tangan kanan pemuda itu dari tubuhnya.

Semakin Kamael mendekat, Evan berjalan menjauh. Ia masih takut dengan maksud dari mengambil kekuatannya. Ia pun memerhatikan Ponrak dan melihat wanita itu sudah berada di rumahnya kembali.

"Letakkan tangan kananmu di dadamu."

Evan kembali mendengar perkataan tersebut, cukup mengganggu karena selalu datang tiba-tiba. Namun, ia langsung melakukannya mengingat ia tidak tahu harus berbuat apa lagi di kondisi yang menegangkan kali ini.

Ketika ia meletakkan tangan kanannya di dadanya, muncul angin besar yang menyelimuti dirinya, membuat jarak pandang Kamael kepada Evan terganggu. Pemuda itu terselamatkan, tetapi dirinya merasakan kembali kesakitan yang pernah ia rasakan di awal dirinya menginjakkan kakinya di dunia ini.

"ARGH!"

"Dia mencoba menyatukannya dengan tubuhnya. Cegah dia!" titah Uriel.

Kamael segera menghentakkan tombaknya, seketika benda itu berubah menjadi tombak dengan api yang berkobar di seluruh bagiannya. Ia melemparkan tombak itu ke arah pusaran angin, tetapi tak berhasil.

"Jangan khawatir. Aku akan membimbingmu, cukup dengarkan saja apa yang kuucapkan."

"Siapa sebenarnya dirimu?" tanya Evan, bingung.

Ia masih merintih kesakitan, perasaan terbakar yang pernah ia alami di tangan kanannya kini terasa juga di dadanya, rasanya jauh lebih sakit dari yang ia perkirakan. Tiba-tiba, cahaya terang muncul dan Jophiel hadir dalam pusaran angin tersebut.

Penampilan malaikat agung tersebut sangat anggun, gaun panjang yang sangat elegan dengan rambut pirang yang memesona. Gaunnya berhiaskan perak dan permata, tangan kanannya terlihat tengah menggenggam setangkai mawar merah yang begitu mekar.

"Aku Jophiel. Aku yang mengutusmu," balas Jophiel.

Wajah malaikat itu tak asing bagi Evan, setelah melihatnya dengan seksama, ia baru menyadari kalau wajah Jophiel sangat mirip dengan Rika.

"Ah, wajahmu mengingatkanku kepada Rika," ujar Evan.

"Aku memang Rika yang kau maksud."

Evan membelalakkan kedua matanya, begitu tak percaya dengan apa yang ia dengar darinya. Ia tidak pernah menduga kalau Rika, wanita yang bekerja sebagai kasir di toko langganannya tak lain adalah Malaikat Agung di dunia ini.

"Bagaimana dengan pekerjaanmu di toko?" tanya Evan.

"Aku mengajukan cuti selama satu minggu kepada manajer toko. Dia menyetujuinya tanpa banyak bertanya."

"Oh begitu, yah. Lalu bagaimana dengan kabar adikku?" tanya Evan, penasaran.

Ia meninggalkan adiknya seorang diri di dunia asalnya ketika ia tersedot ke dunia ini. Mereka sudah hidup berdua sejak bertahun-tahun lalu dan sangat wajar jika Evan mengkhawatirkan keadaan darinya.

"Dia menunggumu untuk membawa makan malam," balas Jophiel.

"Kita tidak punya banyak waktu untuk basa-basi ini. Segeralah pergi ke Ibukota dan temui Pendeta Agung, tunjukan lambang milikku padanya."

Seketika pusaran angin itu menghilang dan Evan terjatuh setelah tidak lagi mengapung di udara. Ia jatuh tepat di hadapan Kamael yang sangat kesal karena sudah dikerjai oleh seorang manusia yang derajatnya lebih rendah dari malaikat.

"Tunjukan tanganmu, Manusia Sialan!" titah Kamael, Evan menunjukan tangan kanannya dan kini lambang itu tak ada lagi di dirinya.

"Kemana lambang itu? Apa yang kau perbuat di dalam pusaran angin itu?!" bentak Kamael.

Evan terdiam, ia sama sekali tidak tahu apa yang terjadi. Ia ingat kalau perintah terakhir dari Jophile adalah meletakan tangan kanannya di dadanya, Evan berpikir kemungkinan lambang itu berpindah dari tangannya ke dadanya.

"Sepertinya aku mendengar perkataan seperti, kekuatanmu aku ambil kembali."

Uriel datang menghampiri Evan dengan tubuh yang mengecil sama seperti Kamael. Ia menatap tubuh Evan mulai dari kaki hingga ke kepala pemuda tersebut. Dengan menggunakan mata pendeteksinya, ia tidak menemukan kekuatan apa pun di tubuh Evan.

"Kekuatannya menghilang."

"Tapi bagaimana bisa?" tanya Kamael, bingung.

"Hanya Gabriel yang mengetahuinya, sebaiknya kita kembali untuk memberitahu mereka," titah Uriel, Kamael menyetujui dan merubah kembali tombak api miliknya menjadi semula.

Kamael selalu patuh kepada Uriel, karena dia memiliki peringkat yang lebih rendah darinya, bahkan dari Jophiel sekali pun. Hal itulah yang membuat Kamael kesal karena manusia rendahan seperti Evan berusaha menggunakan kekuatan Jophile untuk menyelamatkan manusia.

Kedua malaikat itu pergi dengan kilauan cahaya yang begitu terang. Dalam sedetik, mereka sudah tidak berada di hadapan Evan dan kini desa yang ia tempati sangat kosong, hanya Ponrak dan dirinya yang tersisa.

"Aku harus segera pergi ke Ibukota," ucap Evan seraya memandang langit biru yang menawan

"Tunggu, Tuan! Anda tidak bisa pergi begitu saja dariku."


AUTORENGEDANKEN
Rafaiir_ Rafaiir_

Jophiel datang untuk membantu Evan ketika berhadapan dengan Uriel dan Kamael. Evan tidak pernah menduga kalau Jophiel adalah orang terdekatnya.

Simak terus kelanjutannya. Jangan lupa vote dan comment ceritaku. Selamat membaca

Kapitel 4: Ibukota Kerajaan

***

Satu bulan kemudian.

Evan bersama Ponrak berhasil keluar setelah bantuan dari ibukota kerajaan datang. Mereka datang setelah mendengar informasi dari pedagang yang tak sengaja melintas dan melihat wujud dua malaikat agung di desa tersebut.

Kini, Evan dan Ponrak dibawa oleh pasukan kerajaan untuk menghadap Raja, Alexandre. Sang Raja ingin mengetahui apa yang terjadi di desa tersebut dan kenapa dua malaikat agung sampai datang ke sana.

Sampai di gerbang Ibukota, Evan merasakan hawa yang berbeda menghinggapi dirinya. Rasanya seperti sesak di dadanya tepat ketika ia sudah melewati tugu selamat datang kerajaan tersebut.

Evan terjatuh dengan tetap bertumpu pada tangan kanannya, mencoba menarik napas panjang dan menenangkan dirinya. Namun, hal itu sia-sia.

"Apa yang terjadi?" Ponrak begitu khawatir, perasaan kesal dan marah akibat keegoisan Evan satu bulan lalu sudah sirna setelah ia mengetahui sikap pemuda itu secara langsung di desanya.

"Hentikan kereta ini!" pinta Ponrak, tegas.

Kusir kuda segera menghentikan kereta dan berjalan ke belakang bagian kereta, membuka pintu kayu tersebut dan melihat Evan tergeletak tak berdaya di atas lantai kereta. Ponrak meminta bantuan kusir tersebut, tetapi pria tua itu tidak tahu apa yang harus ia lakukan.

"Cepat cari dokter!" perintah Ponrak, kusir itu segera berjalan meninggalkan kereta tersebut, beberapa prajurit juga ikut membantu mencarikan dokter bagi Evan.

Menunggu selama lima belas menit, akhirnya dokter itu datang. Seorang wanita tua dengan pakaian serba putih dan mengenakan tudung berwarna hitam. Ia dikenal sebagai dokter handal yang banyak mengobati penyakit-penyakit langka,

"Apa yang kau rasakan?" tanya dokter kepada Evan.

"Dadaku, rasanya sungguh sesak." Evan membuka kancing pakaiannya dan memerlihatkan tubuh bagian atasnya yang tampak tidak begitu atletis, tapi cukup berisi. Dokter tersebut membelalakan kedua matanya, tak sanggup berkedip sesuatu yang tercetak jelas di dada Evan.

"Ini lambang Jophiel," ucap dokter, terkesiap.

"Benarkah?"

Ponrak memerhatikan dengan jelas, garis dan titik yang berada di dada Evan membentuk lambang yang kembali mengundang kenangan buruk pada gadis itu.

Sebelumnya tidak pernah ada kasus lambang malaikat agung yang berpindah tempat, semua orang yang menjadi utusan malaikat hanya memiliki lambang di punggung tangan.

"Bagaimana bisa lambang Jophiel berpindah ke dadamu, Evan?" tanya Ponrak, penasaran dan terkejut.

"Aku ... tidak tahu. Tolonglah, aku tidak kuat lagi," pinta Evan, napasnya terdengar begitu terengah-engah, mencoba bertahan dari rasa sesak yang semakin lama semakin memenuhi rongga dadanya.

Setelah memeriksa, dokter itu tak menemukan sesuatu yang salah dengan tubuh Evan. Ponrak semakin khawatir dengan keadaan Evan, bahkan matanya begitu berkaca-kaca ketika melihat wajah pemuda tersebut sudah begitu pucat.

Datang melintas, dua orang pria muda dengan berpakaian serba hitam melihat keributan di dalam kereta Evan. Mereka berinisiatif untuk menghampiri dan melihat kondisi yang terjadi di sana, ia sama kagetnya dengan dokter tatkala melihat Lambang Jophiel di dada Evan.

"Bagaimana bisa dia...?" tanya salah satu pria seraya menunjuk tubuh Evan.

"Apa kau tahu sesuatu tentang kondisinya?" tanya Ponrak, berharap.

Pria itu menoleh dan memandang wanita tersebut, ia mengangguk untuk menjawab pertanyaan darinya. Situasi yang Evan alami adalah dampak dari penghalang sihir yang dipasang mengelilingi gerbang ibukota.

"Aku tidak membawa obatnya, sebaiknya kalian bawa dia keluar gerbang," ucap pria tersebut, ia menggulung lengan bajunya dan menyuruh rekannya pergi ke akademi untuk membawa obat bagi Evan.

Ponrak tak punya pilihan lain. Ia mengambil salah satu kuda dan membawa Evan bersamanya seraya menunggangi kuda. Kedua orang itu melesat dengan kencang mengabaikan kerumunan orang yang banyak berjalan di jalanan utama ibukota.

"Bertahanlah, Evan."

Evan mengangguk pelan. Ia menyandarkan kepalanya di punggung Ponrak seraya kedua tangannya memeluk wanita tersebut dengan erat. Terasa tubuh wanita itu begitu hangat dan harum, sesuatu yang tidak pernah ia dapatkan seumur hidupnya.

Tak lama, Evan sudah berada di luar gerbang. Ia mencoba menarik napas panjang dan akhirnya ia bisa bernapas secara normal kembali. Rasa sesak yang semula membelenggunya, kini menghilang begitu saja layaknya jejak kaki di pasir pantai.

"Pria berpakaian hitam itu benar, penghalang di gerbang ibukota membuatku tersiksa."

Evan beristirahat di bawah pohon besar, dekat dengan kedai roti yang cukup ramai oleh pengunjung. Sembari menunggu kehadiran pria tadi, ia terus memerhatikan kemegahan bangunan-bangunan di ibukota, sesuatu yang berbeda dengan bangunan di dunianya.

"Mereka pasti sudah mengetahui kalau aku memiliki hubungan dengannya," ucap Evan, memikirkan tentang reaksi kusir kereta, dokter, dan dua pria yang sempat melihat Lambang Jophiel di dadanya.

"Kemungkinan terburuknya itu, apalagi jika mereka melihat keadaanmu yang kembali normal," balas Ponrak.

Situasi yang dialami Evan cukup rumit. Jika ia terbukti memiliki hubungan dengan Jophiel, maka seisi kerajaan akan memburunya dan bahkan orang-orang tertentu akan menggunakan tubuhnya sebagai media percobaan.

Mereka datang bersama pasukan kerajaan berseragam besi lengkap dengan pedang panjang dan perisai yang menghiasi ketangguhan mereka. Pria tersebut datang bersama seorang pria tua yang berpakaian serba putih dengan memegang tongkat panjang berlapiskan perak.

Penampilan yang cukup eksentrik itu menimbulkan tanya di benak Evan, siapa sebenarnya pria tua tersebut?

"Prajurit! Cepat kepung dia."

Seketika derap langkah yang kuat tercipta seiringan dengan tertangkapnya Evan oleh mereka. Hal buruk pun benar-benar menghampiri Evan akibat Lambang Jophiel yang diketahui umum.

Evan bangkit, ia menatap kedua mata pria tadi dengan tajam. Ponrak berada di belakang punggung pemuda tersebut seraya mengeluarkan belati miliknya.

"Apa maksudnya ini?" tanya Evan.

Pria tua itu berjalan mendekati Evan, wajahnya begitu angkuh dan terlihat aura kebencian terpancar dari kedua matanya. Mereka saling beradu pandang cukup lama sebelum pria di hadapan Evan mengayunkan tangan ke arah pria di belakangnya.

"Tangkap kedua orang itu!" ucap pria tersebut, Ponrak bereaksi setelah mendapatkan perlawanan dari prajurit kerajaan.

Ia mengalahkan beberapa orang dan menarik tangan Evan untuk segera kabur dari tempat tersebut. Evan mengangguk dan pergi dengan berlari bersama Ponrak hingga keduanya tak terkejar.

Mereka bersembunyi di sebuah rumah kosong dekat dengan ladang pertanian. Evan menjadi buronan kerajaan setelah diduga memiliki hubungan dengan Jophiel. Raja mengutus beberapa orang untuk mencari Evan dan menginterogasi pemuda tersebut.

Keadaan ibukota cukup genting. Prajurit kerajaan cukup pandai, mereka tidak mencari Evan di dalam gerbang ibukota karena mereka tahu kalau pemuda itu tidak akan bertahan dengan tekanan dari penghalang sihir yang digunakan istana.

Malam hari pun datang, prajurit kerajaan terus melakukan pencarian tanpa mengenal waktu. Evan dan Ponrak aman di rumah tersebut, mereka terus memikirkan bagaimana cara mereka menghindar dari para prajurit kerajaan.

"Mereka sepertinya menambah pasukan menjadi lebih banyak. Kita akan tertangkap jika tetap berada di sini," balas Evan, memandang obor prajurit kerajaan yang semakin banyak terlihat.

"Ke mana kita akan pergi? Apa kau punya ide?" tanya Ponrak, pasrah.

"Satu-satunya tempat yang aman adalah di dalam gerbang ibukota kerajaan," ujar Evan dengan ekspresi serius.

Ponrak tertawa terkikih mendengar perkataan Evan. Sudah cukup sulit bagi mereka untuk bersembunyi dari kejaran prajurit, tetapi Evan justru ingin mendatangi para prajurit itu. Ponrak yang tidak tahu mau kemana lagi hanya bisa pasrah mengikuti keinginan dari pemuda tersebut.

"Baiklah. Bagaimana kita akan masuk ke sana? Apakah dengan mengetuk gerbang ibukota sambil berkata 'Yoo, utusan Jophiel ingin masuk' kepada mereka?" ucap Ponrak berkelakar.

Evan menutup jendela dengan kain yang ia temukan, "Kita perlu menangkap prajurit kerajaan dan menyamar sebagai mereka masuk ke istana."

"Itu gila!" keluh Ponrak.

"Entahlah apakah hal gila akan kembali terjadi di sini, aku pun tak tahu."


AUTORENGEDANKEN
Rafaiir_ Rafaiir_

Langkah Evan dipersulit karena kekuatan yang ia peroleh, bersama Ponrak, ia akan terus berusaha untuk bisa masuk ke istana dan bertemu dengan Pendeta Agung.

Simak terus kisahnya. Jangan lupa vote dan comment ceritaku. Selamat membaca.

Load failed, please RETRY

Geschenke

Geschenk -- Geschenk erhalten

    Wöchentlicher Energiestatus

    Stapelfreischaltung von Kapiteln

    Inhaltsverzeichnis

    Anzeigeoptionen

    Hintergrund

    Schriftart

    Größe

    Kapitel-Kommentare

    Schreiben Sie eine Rezension Lese-Status: C3
    Fehler beim Posten. Bitte versuchen Sie es erneut
    • Qualität des Schreibens
    • Veröffentlichungsstabilität
    • Geschichtenentwicklung
    • Charakter-Design
    • Welthintergrund

    Die Gesamtpunktzahl 0.0

    Rezension erfolgreich gepostet! Lesen Sie mehr Rezensionen
    Stimmen Sie mit Powerstein ab
    Rank 200+ Macht-Rangliste
    Stone 0 Power-Stein
    Unangemessene Inhalte melden
    error Tipp

    Missbrauch melden

    Kommentare zu Absätzen

    Einloggen

    tip Kommentar absatzweise anzeigen

    Die Absatzkommentarfunktion ist jetzt im Web! Bewegen Sie den Mauszeiger über einen beliebigen Absatz und klicken Sie auf das Symbol, um Ihren Kommentar hinzuzufügen.

    Außerdem können Sie es jederzeit in den Einstellungen aus- und einschalten.

    ICH HAB ES