***
"Pergi dan belikan aku makanan ringan di toko depan."
Evan tidak bisa menolak, sebagai pekerja dengan posisi rendah, ia hanya bisa patuh dan mengerjakan apa yang diperintahkan oleh atasannya. Pemuda berusia 23 tahun itu sudah pernah mengadukan hal ini kepada manajernya. Namun, jawaban yang ia terima sama sekali di luar harapannya.
Dengan perasaan yang sama jengkelnya, ia berangkat dengan membawa dua buah lembar uang pecahan 10.000. Sempat berpikir untuk mengundurkan diri, tetapi ia kembali terpikir bagaimana ia akan menghasilkan uang jika menganggur, pasalnya ia memiliki adik perempuan yang harus disekolahkan.
"Apa pria brengsek itu menyuruhmu?" tanya kasir toko tersebut, Evan mengulas senyum seraya menerima plastik berisi makanan ringan yang mereka pesan.
Kasir itu memberikan kembalian dari uang yang dibelanjakan Evan, "Kau tidak sepatutnya terus mendengarkan mereka. Itu bukan tugasmu."
"Jika pun aku menolaknya, mereka akan melakukan sesuatu yang lebih buruk dari ini," balas Evan.
"Mungkin ada sesuatu yang bisa kubantu untuk meringankan bebanmu, Evan?" tanya kasir tersebut.
Hubungan keduanya begitu dekat, tentu saja ini akibat dari suruhan rekan kerja Evan. Jika tidak, mungkin wanita itu akan bersikap cuek seperti halnya kepada pembeli lain. Rika tergolong wanita yang baik dan ramah, wajahnya tidak terlalu cantik tetapi cukup untuk menenangkan hati siapa pun yang memandangnya.
Sembari tersenyum, Evan berpamitan kepada Rika, "Kau tidak perlu membantuku. Aku bisa mengatasinya sendiri."
Rika mengantar Evan sampai ke depan tokonya, melambaikan tangan dengan hangat kepada Evan ketika punggung pria itu mulai menghilang dari pandangan Rika. Bekerja selama tiga tahun di toserba mendatangkan harapan baginya, terlihat ia sudah menemukan orang yang tepat untuk menanggung tanggung jawab yang besar.
Jam kerja selesai, Evan selalu pulang paling akhir, tentu setelah ia membersihkan semua ruangan dan meja kerja di sana. Arloji yang terpasang di tangannya menunjukan pukul tujuh malam, ia sudah terlambat untuk memasakan makan malam untuk adiknya.
Dengan membawa dua bungkus bakso yang ia beli di alun-alun kota, Evan mulai berjalan dengan hati riang. Setiap makan malam, adiknya selalu senang ketika Evan membawakan berbagai jenis makanan. Kebahagiaan adiknya adalah satu-satunya alasan kenapa Evan harus terus bekerja.
Melewati jalan yang sunyi, langkah Evan hanya ditemani dengan tiupan angin yang cukup kencang. Semakin lama, pemuda itu semakin menyadari jika jalan yang ia ambil tidak berujung, hal itu membuatnya kebingungan.
"Kurasa aku sudah melewati rumah ini sebelumnya," gumam Evan, melihat rumah tingkat dua dengan pagar kayu berwarna kuning.
"Kau sudah melewatinya sebanyak tiga kali."
Evan tersentak kaget, ia berbalik dan melihat seseorang yang menjawab perkataannya barusan. Ketika Evan hendak melihatnya, seketika juga cahaya terang bersinar menyilaukan pandangan pemuda tersebut.
"Siapa kau?" tanya Evan, menutup kedua matanya yang perih.
"Aku sudah mengawasimu sejak lama, Evan."
Wanita itu terbang dengan dibantu dua buah sayap berwarna putih dengan bulu yang begitu halus. Ia terangkat cukup tinggi, bahkan lebih tinggi dari rumah tingkat dua yang sudah Evan lewati tiga kali.
"Mengawasi? Apa kau adalah Tuhan? Apa aku sudah mati?!" tanya Evan, terkejut.
"Haha! Aku orang yang mengabdi padanya," balas wanita tersebut.
"Astaga! Aku benar-benar sudah mati."
Wanita tersebut menjulurkan kedua tangannya, mengayunkannya sehingga membentuk lingkaran. Tampak dengan jelas lautan padang rumput terhampar di balik lingkaran dimensi yang tercipta olehnya.
"Kau kutugaskan untuk memimpin manusia melawan para infidel itu," jelas wanita tersebut.
Seketika angin kencang mulai menarik barang-barang yang berada di jalan kecil tersebut, termasuk Evan dan makanannya. Sebelum Evan menghilang dari dunia ini, wanita berpenampilan layaknya malaikat memberinya petuah untuk memulai hidupnya yang baru.
"Temui Pendeta Agung Altair dan beritahu padanya kalau aku, Jophiel, mengirimu sebagai utusanku."
"Aku harus menyiapkan makan malam untuk adikku!" ucap Evan lantang, mencoba bertahan dari tarikan angin yang menyeretnya perlahan demi perlahan.
Akan tetapi, kekuatan kaki-kakinya mulai melemah. Evan tersedot ke dalam dimensi baru di balik lingkaran tersebut. Ketika membuka kedua matanya, ia sepenuhnya berada di dunia yang berbeda.
Udara yang begitu bersih, hamparan padang rumput yang begitu luas dan barisan pegunungan yang terselimuti salju. Ia sungguh berada di dunia paralel seperti dalam film-film.
"Apa? Di mana aku?" tanya Evan, bingung.
Ia segera bangkit dan memerhatikan sekelilingnya, tampak tidak ada siapa pun yang berada di sana selain Evan. Ia semakin bingung dan takut tatkala melihat barisan naga terbang yang melintas tepat di atas kepalanya, rombongan tersebut mengingatkan dirinya terhadap parade pesawat jet yang diadakan negaranya.
"Naga? Tunggu! Apa yang naga lakukan di sini?"
"Apa aku sedang bermimpi?!"
Evan terus bergumam tak jelas dan kebetulan ucapannya terdengar oleh seorang wanita yang tengah berjalan, memanggul bakul berisi buah-buahan di tangan kanannya. Ia memandangi Evan dengan tatapan aneh, pakaian yang dikenakan pemuda itu tampak asing baginya.
"Kau tidak sedang bermimpi," ucap wanita, ramah.
"Bagaimana kau bisa berbicara bahasaku?" tanya Evan, seraya membalikan badan.
"Bahasamu? Kau sedang berbicara bahasa Liel, Tuan," balas wanita tersebut.
"Bahasa Liel?"
Tiba-tiba tangan Evan merasakan panas yang begitu kuat, rasa panas yang membuat Evan berteriak kesakitan seraya menggenggam pergelangan tangan kanannya. Wanita itu langsung meletakan bakul miliknya dan pergi membantu Evan.
Rasa sakit yang tak tertahankan membuat Evan tak sadarkan diri. Ia jatuh di pangkuan wanita asing di sampingnya. Tak buang waktu lama, wanita itu langsung membawa Evan dengan menggendongnya hingga ke rumah.
"Tanda itu, tidak mungkin."
***
Wanita itu terus merawat Evan dengan baik, meskipun pemuda itu masih belum bisa makan. Pandangannya terfokus kepada lambang berwarna putih yang tercetak di atas punggung tangan Evan, lambang yang begitu legendaris dan konon katanya anugerah dari malaikat agung.
"Tidak mungkin dia dianugerahi kekuatan dari Malaikat Jophiel," balas seorang pria paruh baya yang tak lain Ayah wanita tersebut.
"Aku yakin, ini bukanlah luka atau pun garis biasa. Ini adalah lambang Jophiel," jelas wanita itu, keras kepala.
Mendengar keributan mereka membuat Evan terbangun dari tidurnya. Pemuda itu melihat dengan seksama kedua orang yang tengah duduk di sampingnya. Wanita yang menolong Evan tersenyum bahagia tatkala melihat pemuda tersebut bangkit dan bertanya hal sederhana padanya.
"Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Evan, bingung.
"Tangan kananmu, apa kau mengetahui sesuatu tentang Jophiel?" tanya wanita tersebut sembari menunjuk punggung tangan kanan Evan.
"Jophiel? Aku tidak—"
Ucapannya terhenti tatkala melihat lambang aneh muncul di punggung tangan Evan, lambang yang tidak pernah ia lihat sebelumnya yang membuat kedua orang di sampingnya beradu argumen selama lima belas menit.
"Tunggu, apa ini?" tanya Evan, kaget.
"Benar, kan? Sudah kubilang juga apa, dia sama sekali tidak mendapat anugerah dari Malaikat Jophiel," balas Ayah wanita tersebut.
"Anugerah? Malaikat Jophiel? Apa sebenarnya yang kalian berdua bicarakan?" tanya Evan.
Keduanya kembali saling pandang, mengernyitkan dahinya tanda kalau mereka sama herannya dengan sikap Evan. Menurut mereka, tidak ada satu orang pun di dunia ini yang tidak mengetahui siapa malaikat agung dan anugerahnya.
"Ada yang tidak beres dengan kepala anak ini," keluh Ayah wanita tersebut sembari berjalan meninggalkan Evan dan anaknya berdua di kamar tersebut.
Evan terus memerhatikan arah pergi dari Ayah wanita di sampingnya, seketika itu juga teman barunya tersebut mulai menuangkan teh hangat untuk menyegarkan tubuh Evan.
"Akan kujelaskan semuanya dengan detail."
Terima kasih sudah mampir, jangan lupa vote dan comment yah. Cerita selanjutnya akan semakin menarik, stay tune yah
***
"Ketujuh malaikat itu penjaga dunia ini?" tanya Evan.
"Benar! Lambang yang ditanganmu adalah lambang dari Jophile, malaikat kecantikan," jawab Ponrak, nama dari wanita yang menyelamatkan Evan.
"Oh, jadi wanita yang menyeretku kemari adalah Jophile?"
"Memangnya kau berasal dari mana? Pakaianmu tak pernah kulihat sebelumnya," tanya Ponrak, Evan langsung melirik ke arah pakaian kemeja dan celana panjang miliknya yang masih tersimpan rapi di atas kursi.
Evan memerhatikan furnitur dan peralatan yang ada di rumah tersebut, begitu kuno dan hampir semuanya terbuat dari kayu. Ia berpikir, teknologi masih jarang ditemukan di negeri ini.
"Aku berasal dari negeri yang jauh, seseorang menyeretku kemari tanpa tanggung jawab," balas Evan, tersenyum kecil.
"Katakan padaku, kau tidak punya hubungan apa pun dengan ketujuh malaikat itu, kan?" tanya Ponrak, penasaran.
"Apakah seseorang dilarang memiliki hubungan dengan mereka?" tanya Evan, memastikan.
"Hanya Pendeta Agung yang boleh berhubungan dengan mereka. Rakyat kecil seperti kita akan diburu untuk dibunuh atau lebih buruk lagi, dijadikan kelinci percobaan."
Ponrak berbicara dengan suara yang lirih, pemilihan kata-katanya juga ia atur sedemikian rupa sehingga tidak membuat Evan bingung. Penjelasan Ponrak sebenarnya lebih dari cukup untuk bisa dipahami oleh Evan, ia juga tidak begitu asing dengan dunia paralel dan sistemnya, pasalnya Evan banyak mempelajari melalui game online atau pun komik.
"Tujuanku adalah bertemu dengan Pendeta Agung. Apa kau bisa membantuku?" tanya Evan, mendengar itu membuat Ponrak tertawa lantang.
"Semua orang bermimpi untuk bertemu dengannya, tapi hanya orang terpilih saja yang bisa melakukannya," jawab Ponrak.
Suara air mendidih dari atas tungku terdengar jelas. Ponrak bangkit dan berjalan menuju dapur untuk menuangkan air panas tersebut ke teko yang sudah terisi teh hijau. Evan ikut berdiri dan berjalan menuju jendela rumah, ia melihat banyak warga desa yang tengah berkegiatan di ladang.
"Apa kau ingin minum di luar?" tanya Ponrak, Evan menggelengkan kepalanya pelan.
"Aku akan segera pergi, tidak ada waktu bagiku untuk berlama-lama di sini." Evan segera berbalik badan dan tanpa sengaja menabrak Ponrak yang kebetulan berada di belakangnya. Pemuda itu segera menangkap Ponrak dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya mencoba menangkap teko yang terlempar dari Ponrak.
"Maafkan aku," ucap Evan, bersalah.
"Tidak apa-apa, tetapi bagaimana kau bisa melakukannya?" tanya Ponrak, seraya menunjuk teko yang melayang
Pemuda itu mengalihkan pandangannya dan melihat teko tersebut melayang di udara ketika tangan kanannya hendak meraih benda tersebut. Evan terkejut dan mengangkat tangan kanannya seraya berteriak kecil.
"B-Bagaimana aku bisa melakukannya?" tanya Evan, menunjuk teko teh yang pecah di atas lantai kayu rumah Ponrak.
"Apa kau yakin tidak punya hubungan apa pun dengan ketujuh malaikat tersebut?" tanya Ponrak, curiga.
"Aku? Iya, aku yakin aku tidak punya."
"Itu aneh," ucap Ponrak.
Pintu terbuka, Ayah Ponrak datang dengan wajah yang ditekuk marah. Alisnya meruncing dan matanya terus memandang pedang panjang yang terpajang di dinding. Ia tidak berucap apa pun kepada Ponrak dan entah kenapa wanita itu mengerti dengan sikap yang ditunjukan oleh ayahnya.
"Ada apa?" tanya Evan.
"Mereka datang," ucap Ponrak, siap dengan seragam tempur berbahan kulit dan sebuah pedang kecil seukuran lengan.
"Siapa?"
"Para iblis yang berhasil menyelinap," balas Ponrak.
Evan semakin terkejut, ia sungguh tidak salah dengar kalau Ponrak mengatakan iblis. Di dunianya, memang ada iblis, tapi bentuk mereka tidak terlihat sehingga sangat sulit untuk melawannya, apalagi dengan menggunakan pedang seperti yang Ponrak genggam.
"Seperti apa bentuk iblis itu?" tanya Evan, penasaran.
"Apa kau tidak pernah melihat iblis sebelumnya?" tanya Ponrak, ia begitu sibuk memerhatikan sekeliling rumahnya melalui jendela.
"Aku pernah, iblis itu menampilkan dirinya ketika aku sedang berada di kamar mandi," balas Evan, bulu kuduknya seketika berdiri ketika menceritakan momen buruk yang ia alami tersebut.
"Iblis di kamar mandi? Bagaimana ia bisa berada di sana?" tanya Ponrak, terkejut.
"Iya kau tahu kemampuan mereka, menghilang dari pandangan kita."
Ketika kedua orang itu tengah mengobrol tentang iblis, teriakan kencang terdengar dari luar rumah. Ponrak dan Evan terperanjat kaget dan spontan segera membuka pintu rumah. Terlihat banyak orang berjatuhan dengan tubuh penuh darah, termasuk Ayah Ponrak.
"JANGAN KELUAR! Kembalilah masuk dan pasang mantra penghalang," balas Ayah Ponrak, tergeletak di atas tanah dengan mulut penuh dengan darah, perutnya ditusuk oleh sebilah kayu panjang mirip seperti tombak.
"Ayah! Aku akan pergi bersamamu, jangan tinggalkan aku!" teriak Ponrak, menangis melihat kondisi ayahnya yang sekarat.
Evan mencegah Ponrak untuk mendekati ayahnya, tetapi kekuatan tangan wanita itu jauh lebih besar ketimbang dirinya. Ponrak berjalan dengan langkah cepat menghampiri ayahnya.
Terlihat dari kejauhan, sebuah tombak melesat cepat dari kedalaman hutan mengincar kepala Ponrak. Evan berteriak kepadanya untuk menghindar seraya menjulurkan tangan kanannya ke arah tombak tersebut.
Sihir pun terjadi, tombak itu berubah menjadi debu sebelum mengenai Ponrak. Lambang Jophile yang berada di tangan Evan menyala terang, tanda kalau dia sudah menggunakan kekuatannya.
"Sekarang bagaimana kau melakukannya, Evan?" tanya Ponrak, kebingungan.
"Aku pun memikirkan pertanyaan yang sama denganmu."
Suara riuh sekelompok monster semakin bergaung, menciptakan ketakutan di hati para penduduk desa. Hutan belantara mengurung desa ini, sehingga cukup masuk akal jika iblis-iblis itu mengincar manusia.
"Letakan tangan kananmu di atas tanah."
Evan membelalak kaget, terdengar suara lembut yang memerintahkan dirinya meletakan tangan di atas tanah, sekilas ia seperti mengenal suara tersebut mirip dengan suara Rika.
Tanpa ragu, Evan melakukannya sesuai yang diperintahkan. Di beberapa menit awal, tidak terjadi apa pun. Namun, setelah beranjak lebih dari lima menit, tanah di desa tersebut terlihat bergetar dan membukakan celah luas yang mirip dengan jurang yang dalam.
Iblis-iblis itu berlarian tanpa tahu ada jurang yang baru terbentuk di depan desa. Dengan mudahnya, mereka terkalahkan dan berjatuhan layaknya air hujan. Evan memerhatikan bentuk iblis tersebut, wajah dan bentuknya lebih mirip seperti goblin daripada iblis-iblis yang ia kenal dulu.
Setelah dirasa para iblis tak berdatangan, ia mengangkat tangannya dan terkejutnya bagi Evan, tanah itu tak kembali menutup. Kekuatannya yang misterius menimbulkan sesuatu yang baru di desa tersebut, jurang besar yang tidak pernah mereka duga sebelumnya.
"Evan," panggil Ponrak, tak percaya.
Evan segera melirik dengan wajah yang lugu, setidaknya ia berhasil menyelamatkan warga desa dari kematian. Kekuatan yang dimunculkan olehnya membuat orang desa mulai mengagumi Evan, tak sedikit juga yang mencurigainya sebagai mata-mata para malaikat.
"Bagaimana kau melakukannya?" tanya Ponrak, semakin kebingungan dengan kekuatan Evan.
"Itu sesuatu yang mustahil, menggerakkan tanah dan menciptakan jurang, hanya para malaikat yang mampu melakukannya," sambung Ponrak.
Evan terpaku tak mampu bersuara, sudah cukup kekuatan yang ditunjukan olehnya. Wajah Ayah Ponrak begitu pucat, terlihat pria paruh baya itu sudah kehabisan banyak darah akibat pertempuran dengan para goblin. Evan berlari mendekati Ponrak dan melihat kondisi Ayah wanita itu sedari dekat.
"Apa kau bisa menggunakan kekuatanmu untuk menyembuhkan ayahku?" tanya Ponrak, matanya semakin banjir oleh genangan air mata, ia belum siap jika harus ditinggalkan seorang diri.
"Akan kucoba."
Evan menjulurkan tangan kanannya dan membentangkan telapak tangannya lebar-lebar. Kedua matanya terpejam dan pikiran begitu fokus untuk menyembuhkan luka di tubuh Ayah Ponrak. Ia berpikir begitu keras hingga tangannya disingkirkan oleh pria tua tersebut.
"Ah, aku tidak merasakan apa pun," ucap Ayah Ponrak, singkat.
"Kau tidak bisa melakukannya?" tanya Ponrak.
"Entahlah, kekuatan itu tidak muncul ketika kupanggil," balas Evan seraya tersenyum simpul.
Ponrak menangis sejadi-jadinya, ia terus berada di dekat ayahnya dan menemani pria itu hingga ajal datang menjemput. Semuanya ikut bersedih, orang-orang yang punya hubungan dengannya ikut menangis, hanya Evan seorang yang berwajah polos tidak tahu apa pun.
"Jangan tinggalkan aku, Ayah!" teriak Ponrak, memeluk tubuh ayahnya dengan erat.
Momen kesedihan warga desa terganggu akibat kedatangan dua malaikat agung ke desa tersebut. Warga desa segera mengangkat senjata dan mengambil sikap untuk bertahan. Manusia memang punya dendam terhadap malaikat, karena sikap arogan dan licik para malaikat yang melebihi iblis.
"Itu dua malaikat agung, Uriel dan Kamael," ucap Ponrak, menyeka air matanya.
Evan mengangguk setelah mengetahuinya, penampilan mereka jauh lebih eksentrik dibandingkan manusia. Malaikat Uriel mengenakan pakaian serba panjang dengan buku tebal yang selalu ada bersamanya, sedangkan Kamael mengenakan jubah perang berwarna perak dengan tombak trisula berada di tangan kanannya. Keduanya memiliki sayap yang membentang dengan besar.
"Dari mana kau mendapatkan kekuatan itu, wahai Pendosa?" tanya Uriel, suaranya sangat kencang hingga membuat benda-benda di sekitar rumah Ponrak bergetar.
"Aku tidak akan memberitahumu, hanya Pendeta Agung yang harus mendengarnya."
Menghadapi dua malaikat agung yang setara dengan Jophile, apakah Evan mampu?
Simak terus kelanjutannya, yah. Jangan lupa vote dan comment apa pun bebas. Selamat membaca
Das könnte Ihnen auch gefallen
Kommentar absatzweise anzeigen
Die Absatzkommentarfunktion ist jetzt im Web! Bewegen Sie den Mauszeiger über einen beliebigen Absatz und klicken Sie auf das Symbol, um Ihren Kommentar hinzuzufügen.
Außerdem können Sie es jederzeit in den Einstellungen aus- und einschalten.
ICH HAB ES