Rivan menepati janjinya untuk datang di sore hari. Namun, Kartika menolak saat Rivan mengajaknya untuk ke dokter kandungan.
"Kita harus cepat, Kartika. Kalau sudah terlalu besar mana mungkin bisa digugurkan lagi."
Kecewa!
Itulah yang Kartika rasakan saat ini. Ia merasa dunianya runtuh dan hancur. Tidak mengapa jika Rivan tidak mau bertanggung jawab. Tapi, jangan suruh ia mengugurkan kandungannya.
"Mas, beri aku waktu 3 hari untuk berpikir," kata Kartika.
Rivan menghela napas panjang, "Baiklah, tiga hari saja. Jangan lebih."
"Iya, aku janji hanya tiga hari," ujar Kartika.
Pada akhirnya Rivan pun mengalah, ia pamit pulang. Sebelumnya ia mengulurkan amplop berisi uang kepada Kartika.
"Ini untukmu," ujarnya. Kartika tidak menolak pemberian Rivan. Ia mengambil amplop itu dan langsung menyimpannya.
Setelah Rivan pergi, Kartika duduk di pinggir ranjangnya. Ia melihat buku tabungan miliknya. Jumlah uang di dalamnya cukup lumayan. Mungkin akan cukup jika ia pakai untuk modal usaha kecil-kecilan dan pindah ke kota lain.
"Sabar ya, Nak. Maafkan Ibu, kalau sampai kau tidak mengenal papamu. Ibu hanya ingin melindungi dirimu saja."
Kartika mengelus perutnya dengan lembut. Ia kembali ingat perlakuan Sulastri kepadanya. Dan, ia bertekad untuk tidak mengulangi kesalahan Sulastri kepada anaknya nanti.
**
Pagi-pagi sekali, Kartika sudah berada di terminal Leuwi Panjang. Tujuannya kota Jakarta, ia akan mengadu nasib di kota besar itu. Ia tidak mau menjadi beban untuk orang lain. Meskipun ia bisa meminta bantuan Sundari atau Ibu Aminah. Tapi, Kartika sudah bertekad untuk berdiri di atas kakinya sendiri.
Ia menyimpan ATM nya di tempat yang aman. Dan hanya membawa uang secukupnya. Ia juga memakai pakaian yang biasa saja, sehingga terhindar dari pandangan orang jahat. Ia sering membaca artikel bahwa jika bepergian, tidak boleh keliatan mencolok, atau bingung. Salah- salah bisa dibodohi orang lain.
Sampai di terminal kampung rambutan, Kartika datang ke pos polisi terdekat dan menanyakan di mana ada tempat kos di Jakarta. Ia sengaja bertanya kepada Polisi karena ia takut jika bertanya kepada sembarang orang.
"Jadi, adik ini merantau dari Bandung? Tidak punya saudara di Jakarta? Berani sekali," ujar polisi yang ia temui.
"Iya, Pak. Orangtua saya sudah meninggal di Bandung, saya juga tidak memiliki saudara. Jadi, saya mencoba merantau ke Jakarta."
"Lebih baik, adik naik taksi saja. Takutnya , adik malah nyasar kalau pakai kendaraan umum. Kebetulan, ada saudara saya yang memiliki rumah kos di daerah Jakarta Selatan. Saya tulis saja alamatnya. Biar nanti supir taksi yang mengantarkan."
Kartika langsung berseri-seri. Ia bersyukur sekali atas kemurahan Tuhan kepadanya.
"Terima kasih banyak, Pak."
"Jakarta kota besar , Dik. Hati- hati kepada orang asing yang belum adik kenal."
"Baik, Pak. Saya akan selalu berhati-hati."
Kartika pun datang ke tempat kos yang diberikan oleh bapak polisi tadi. Ternyata tempat kos nya berada di belakang pasar. Dan, harganya cukup murah. Tapi, memang Kartika harus membeli kasur dan perabotan sendiri.
Untunglah, ia memiliki simpanan uang. Sehingga ia bisa membeli perabotan yang ia butuhkan. Sekarang, hanya tinggal memikirkan apa yang harus ia lakukan untuk meneruskan hidup. Tidak mungkin jika ia mengandalkan tabungannya. Lama kelamaan juga pasti akan habis.
"Suaminya ke mana,Mbak?" tanya seorang tetangga kamar kos nya.
"Sudah pisah, Mbak," jawab Kartika yang langsung dihadiahi cibiran.
"Oh, janda!"
Kartika hanya mengelus dada melihat tetangganya itu. Lalu, ia pun masuk dan memilih untuk membereskan kamar kosnya.
Kamar itu tidak terlalu besar. Tapi, tidak juga kecil. Ada meja kecil yang terletak di sudut ruangan dekat kamar mandi. Mungkin dulunya bekas meja kompor. Kartika memang membeli kompor kecil tadi.
Ia pun menata ruangan sebaik mungkin. Ia juga membeli lemari plastik kecil dan kipas angin kecil.
Tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu. Kartika pun bergegas membukanya. Ternyata ibu kos nya bersama seorang lelaki paruh baya.
"Neng, ini Pak Gazali. Dia RT kita, boleh masuk?"
"Oh, iya silakan ,Bu, Pak. Maaf kamarnya masih berantakan."
Pak Gazali dan Ibu Siti pun segera masuk. Mereka duduk di lantai saja, "Maaf, Neng. Sebelumnya kalau kami boleh tau, Neng ini masih gadis, atau janda?"
Kartika menghela napas panjang, ia sudah memperhitungkan semuanya. Ia pun tersenyum kecil.
"Maaf, Bu, Pak. Saya ini janda, tapi, suami saya itu berbohong kepada saya. Dia bilang statusnya bujangan, ternyata belakangan saya dilabrak oleh wanita yang mengaku istri pertamanya. Itulah mengapa saya lari ke Jakarta ini. Saya ini anak yatim piatu, Pak,Bu. Dan, sekarang saya sedang hamil muda," jawab Kartika dengan wajah memelas dan air mata.
"Ya Allah, Neng. Kok cantik-cantik nasibnya apes bener," kata Bu Siti.
"Saya rencana mau cari pekerjaan,Bu. Untunglah, saya punya sedikit tabungan. Kalau tidak saya tidak bisa ke mana- mana."
"Kalau neng kerja di rumah saya, mau?" tanya Gazali.
"Serius, Pak?" tanya Kartika kembali semangat.
"Iya, kebetulan istri saya baru melahirkan, perlu tukang cuci gosok. Tapi, apa Neng mau, kan Neng lagi hamil."
"Saya kan bukan sakit, Pak. Hanya sedang hamil."
Bu Siti dan Pak Gazali pun tersenyum. Kartika merasa bersyukur, ternyata jalannya menjauh dari Rivan diberikan kemudahan.
***
Sementara itu, Rivan bingung setengah mati saat datang ke tempat kos Kartika dan gadis itu tidak ada.
"Dia nggak bilang pindah ke mana, Bu?" tanya Rivan.
"Nggak, Nak. Ibu tadinya mau mengembalikan uang , karena kan sudah dibayar setahun. Tapi, Neng Kartika baru delapan bulan di sini. Tapi, dia nggak mau terima."
"Nggak apa-apa,Bu. Tidak usah dikembalikan," tukas Rivan.