App herunterladen
81.48% Petak Umpet Joe / Chapter 22: Meira

Kapitel 22: Meira

"Aku pernah menyukai seseorang sebab wajahnya cantik dan manis. tapi entah mengapa saat wajah itu kusayat habis dia tampak menangis?"

***

Meira POV

Pukul 00. 15

Satu jam ditinggal Rayyan. Dalam ruangan yang sunyi, semua terasa melambat. Walau sedetik tak luput mataku mengarah ke kanan kiri. Jantungku berdetak kencang tak karuan. Aku duduk jongkok di pojok ruangan menggenggam sikut menunduk ke bawah. Takut. Sekaligus marah. Entah apa yang kurasakan kali ini sungguh berbeda. Ketakutanku lebih besar ketimbang rasa amarah ingin keluar ruangan mencari yang lain.

"Bal. Iqbal." Kataku lirih.

Iqbal bagaimana?

Ia masih di luar mencariku. Sedangkan aku berada di sini. Berada di pojok ruangan menatap lilin yang menyala takut kalau makhluk itu datang kembali. Permainan Iblis. Semua kegelapan di ruangan ini bukan apa-apa ketimbang berhadapan langsung dengannya. Teringat kembali kejadian makhluk itu menghampiri ruangan ini. Hawa mencekam, bulu kuduk tegang di sekujur tubuh, memaksaku menahan napas selama mungkin. Membayangkan kembali membuat kakiku gemetar sekarang.

Tap!! Tap!! Tap!

Telingaku mendengar sesuatu bergerak.

Tap!! Tap!! Hah!! Hah!!

Suaranya mengarah ke ruangan ini. Siapa? Tanyaku dalam hati. Melihat kanan kiri, tidak berani mengangkat kepala melihat keluar jendela. Suara itu berasal dari lorong. Bersamaan dengan suara napas terenggah-enggah muncul suara bising seperti besi yang diseret. Segera kupadamkan lilin ruangan ini. Menutup diriku dengan bersembunyi di balik tumpukan meja. Sial, detak jantungku berpacu lagi.

"Cepet lari!! Lewat sini!!"

Itu suara teriakan orang. Setelah itu berberapa orang berlari melewati lorong secara serempak. Gema langkah kakinya menggema hingga terdengar di telinga. Niat awalku keluar dan meminta tolong buka pintu agar bisa bersama-sama yang lain. Akan tetapi niat itu kuurungkan takkala suara seseorang kemudian menjerit.

"Jangan tinggalin gue!!"

Suaranya serak. Meronta dengan segenap kekuatan tapi tak satupun teman rombongannya kembali berlari ke arah belakang.

"Tolong jangan bunuh gue. Tolong!"

Tap Tap!

Itu joe! Pikirku cepat, aku menutup mulut. Makhluk itu datang lagi. Astaga. Keadaan bertambah deg-deg an. Sesaat kemudian, sambil menahan napas, bunyi suara sabetan terdengar. Seperti suara air muncrat, darah mengalir deras membuatku begidik ngeri saking tegangnya. Aku menangis, tapi kucoba tahan sebisa mungkin. Ini tidak mengenakan. Mendengar suara teman dibunuh secara jelas di telinga. Hatiku langsung hancur berkeping-keping. Tidak satu sabetan saja, berkali-kali suara tebasan itu terdengar jelas.

Dari luar jendela sosok bayangan melintas. Perempuan berwajah datar itu berhenti sejenak persis di depan ruangan tempatku bersembunyi. Ia menoleh ke arah jendela kusam, mengawasi ruangan kosong dengan tatapan sama. Ia tersenyum lebar. Lalu tertawa sekeras mungkin.

"HIHIHIHI!!"

Aku kaget. Hampir saja mengeluarkan suara. Tahan, tahan. Aku tidak mau makhluk itu hendak masuk ke sini lagi.

Dua detik berlalu cepat, makhluk tersebut hilang pergi menjauh.

Akhirnya, aku lega. Tubuhku enteng rasanya. Meski sesaat setidaknya kali ini ia tidak masuk ruangan lagi. Aku kemudian menyalakan lilin. Keluar dari bawah kolong meja.

Kemana? Kemana aku harus cari Iqbal sekarang. Diam di ruangan ini aman-aman aja asal tidak buat suara. Tapi aku merasa bersalah buat Iqbal datang kemari. Karena diriku Iqbal ke sini. Ikut main permainan terkutuk.

Aku harus keluar.

Putusku cepat. Pintu ruangan ini terlilit besi panjang. Menyangga gagang pintu agar tidak bisa dibuka dari dalam. Cara satu satunya adalah lewat jendela. Tapi permasalahannya mau nggak mau kaca sisi kanan pintu harus dipecah. Bunyi suara pecahan kaca yang bikin repot. Akan mengundang makhluk itu.

Aku diam sebentar.

Melihat keluar ke arah lorong. Memastikan tidak ada siapapun.

Kosong.

Aku berpikir untuk menggunakan jendela yang sudah pecah untuk membuka pintu dari luar menggunakan tali. Meski jarak dari pintu agak jauh, itu sudah cukup. Tapi sebelum itu, aku butuh tali untuk mengikat sebuah balok kayu. Puji tuhan aku mendapatkan tali bekas di atas lemari. Jika kayu berhasil melilit besi tersebut, aku tinggal menariknya.

"Harus bisa." Kataku. Lilin ruangan sebentar lagi akan habis. Mau nggak mau keluar sini tanpa membawa lilin. Kuharap makhluk buruk rupa itu tidak menemukanku.

Hap!

Percobaan pertama gagal. Lemparan kurang jauh.

Hap!

Gagal. Aku menelan ludah, suara kayu tepat mengenai besi pintu. Menyebabkan suara Ting!! yang menggema. Jantungku spontan terpompa.

Dua detik berlalu, tidak terjadi hal ganjil. Kali ini harus betul-betul kena.

Yes!!!

Akhirnya kena. Satu tarikan cepat besi pintu berhasil tercabut. Kudorong meja agar menjauhi pintu. Cepat, sebelum suara ini mengundang makhluk itu datang.

Aku menuju pintu keluar, mengendap-endap melewati ruangan demi ruangan gelap. Detak jantungku setiap memasuki ruangan serasa diperas. Jedag-jedug nggak karuan membuat sesak napas akibat menahan sebisa mungkin. Jalan yang kupilih sedikit memutar melewati rute kiri. Jaraknya dari rute pintu masuk akan lebih dekat kalau lewat rute kanan. Hanya satu hal membuatku urung mengambil rute kanan. Mau nggak mau aku harus melewati jasad teman sendiri. Jujur aku nggak sanggup. Membayangkan seperti apa kejadian itu saja bikin kakiku gemetar berberapa saat. Memang benar kata orang, perempuan lebih main perasaan daripada akal.

Saat berberapa langkah di ujung lorong. Aku melihat cahaya lilin keluar ruangan. Sosok yang membawa lilin tersebut perempuan. Dari jarak lumayan jauh aku melihat banyak noda darah melekat di pakaiannya. Sampai saat ia menunjukkan tangan kanan membawa parang aku langsung mengerti kalau sosok tersebut bukan hal baik untuk disapa.

Aku memalingkan pandangan di balik tembok. Mencoba tenang lalu melangkah perlahan mencari tempat persembunyian.

Buntu!!

Aku kaget. Jalan di belakangku adalah rute menuju kanan. Aku menoleh ke kanan kiri. Meraba sesuatu. Meja. Nggak, bukan. Keadaan mulai panik. Langkahku terburu-buru.

Brak!!

Aku menabrak pintu. Sial. Sekarang aku membuat suara sementara makhluk itu sebentar lagi akan menuju sini. Sekarang sepenuhnya panik. Tanganku meraba tembok. Langkahku kupercepat agar segera menyingkir memasuki suatu ruangan tak berpintu. Makhluk itu berlari mencari sumber suara. Aku tidak bisa melihat isi ruangan. Tapi setelah meraba-raba di ruangan ini terdapat meja berkuran lebar. Aku memutuskan bersembunyi di bawah meja tersebut. Meja ini persis dibalik tembok lorong. Jika makhluk itu masuk ruangan dan menerengkan kepalanya. Sudah pasti aku berakhir di sini.

Sosok itu datang.

Berjalan tenang mengarahkan lilin melihat sekitar. Ia lalu masuk ruangan depan. Pintu didobrak. Terdengar suara jeritan sebentar. Ia keluar dan kembali masuk ruangan sebelahnya, pintu kembali didobrak. Begitu seterusnya sosok tersebut memeriksa satu persatu ruangan.

Sudah berakhir.

Aku akan mati di sini.

Tubuhku mati rasa, napasku kacau. Pikiranku melayang kemana-mana. Terlintas wajah papa mama tersenyum. Rasanya aku ingin menangis karena nggak bisa kirim pesan terakhir buat ngucapin selamat tinggal. Love you mama, love you papa. Love you Iqbal.

Makhluk itu berjalan tepat di samping tembok tempatku bersembunyi. Lewat celah kecil aku bisa melihat tubuhnya diam tangan kanannya memegang lilin. Tapi bukan lilinnya yang membuatku merinding, tapi sesuatu di tangan kiri sosok tersebut. Menetes perlahan jatuh ke lantai. Tiga buah kepala perempuan yang rambutnya diikat dalam satu simpul.

Ya Tuhan.

Itu kepala Nawal, Siska, dan Lea. Wajah mereka berlumuran darah penuh luka. Ekspresi takut tergambar jelas kalau mereka terlebih dahulu disiksa lalu kemudian dipenggal.

Nawal kataku dalam hati. Hatiku sakit. Tangisku tumpah tanpa mengeluarkan suara. Teman baikku sekarang pergi untuk selama-lamanya.

Aku gak kuat.

Yang lebih brengseknya, dalam kondisi sedih aku harus diam tidak bergerak. Kulipat bibirku kuat-kuat. Aku harus selamat apapun terjadi. Kuusap air mataku.

Makhluk itu masuk ruangan. Semakin terasa hawa mematikan. Langkahnya pelan-pelan melewati atas kepalaku. Aku menutup mata, menahan napas sekuat tenaga.

Suasana hening. Hanya suara tetesan darah penggalan kepala jatuh ke lantai. Aku menelan ludah. Suara pintu lemari terbuka. Ia membuka pelan sekali hingga suara kiek engsel terdengar.

Aku membuka mata. Mengamati pergerakan makhluk itu. Makhluk tersebut akan jongkok, melihat bawah meja!! Aku merambat ke atas, mencoba keluar ruangan.

"Cepat!!" aku panik.

Ada batu di sebelahku, saat badan bagian atas keluar kolong, sekuat tenaga kulempar batu tersebut tepat keluar kaca gedung. Aku melihat lagi, makhluk itu tidak jadi jongkok melihat bawah meja. Segera kusembunyikan tubuhku dengan kembali ke kolong meja. Makhluk itu berjalan mendekati jendela. Sejenak mengawasi luar gedung. Mencari pelempar batu tersebut. Lima detik kemudian makhluk tersebut keluar ruangan.

Aku menghembuskan napas lega. Tetap posisi berbaring menutup mata. Air mataku masih mengalir membasahi pipi. Sedih. Sangat sedih mengetahui Nawal, teman terbaikku tak lagi bisa menyapaku. Selamanya.

Rauangan kembali gelap gulita. Aku menangis tersedu-sedu.

***

Pukul 00.36

Aku berhasil keluar gedung. Bersembunyi di balik pepohonan. Berjalan melewati satu gedung ke gedung lain. Aku mencari keberadaan teman-teman lain. Suara orang di lorong gedung tadi hilang begitu saja tanpa jejak. Jika dilihat rute orang itu mengarah ke gedung sebelah kanan. Yang berarti menuju gedung delapan dan sepuluh. Tapi kemungkinan tersebut bisa jadi percuma kalau dalam perjalanan mereka menemukan tempat persembunyian. Lagian ada apa dengan gedung sepuluh dan menara? Bukannya dulu tempat itu terlantar.

"Sekarang gimana?" batinku. Bingung antara langsung menuju menara atau memeriksa satu persatu gedung delapan dan sepuluh.

Di luar sunyi sekali. Tidak ada yang terlihat kecuali jalan yang terkena sinar rembulan. Angin malam berhembus kencang, mengibaskan pohon-pohon berberapa saat. Celetuk pikiranku mengarah untuk segera keluar dari area asrama. Meninggalkan bangunan-bangunan tua pergi mencari bantuan. Daripada mencari tempat sembunyi untuk waktu yang tak sebentar.

Aku menggigit bibir. Teringat pada salah satu peraturan permainan, semua pemain dilarang keluar arena permainan. Bagi siapa yang keluar maka hal buruk akan menimpanya. Tidak tidak. Ini mengerikan. Terlebih lagi aku harus mencari Iqbal.

Aku akhirnya memutuskan pergi ke gedung delapan. Dalam berbagai sisi gedung ini tidaklah sulit untuk sampai. Aku hanya perlu berjalan berberapa menit sebelum memasuki pintu gedung tersebut. Aku mengendap bersembunyi di balik semak-semak. Melihat situasi sekitar gedung. Area pintu masuk gedung terkena sinar bulan. Pikirku akan sangat berbahaya jika masuk lewat pintu tersebut. Aku memutuskan lewat pintu belakang.

Jalan menuju pintu belakang menyeramkan. Harus berjalan memutari sisi dua gedung, tanpa pencahayaan membuat ragu apakah ada orang di balik kegelapan, mengintai perlahan dan ketika sudah masuk jebakan dia siap menusuk dari balakang. Psikopat selalu punya cara tersendiri bermain dengan mangsanya, baginya ketakutan mangsanya adalah kenikmatan tersendiri merangsang senyuman di wajahnya.

Tebakanku salah.

Semua aman. Aku sudah mengendap-endap masuk pintu berjalan di lorong. Saat hendak menuju lantai atas dari belakang seseorang menyekap mulutku. "Ssssttt!!!" Dia melepaskan satu tangannya lalu menyalakan senter ponsel. "Ini gue."

Aku mejaga jarak dengannya. Cahaya senter menerangi wajahnya. Sosok perempuan pemilik poni sedang. Ciri khasnya takkan pernah kulupakan hingga dewasa saat ini. "Jennie." Kataku setengah terperanjak. Aku dan Jennie tak memiliki hubungan dekat. Hanya sebatas kenal saja saat dulu mengikuti seleksi olimpiade.

Jennie menempelkan jari telunjuknya ke mulutku. Ia membawaku pergi ke lantai atas. Masuk ke satu ruangan lalu menguncinya dari dalam. Sejenak Jennie melihat keluar jendela. Tidak ada apapun di sana. Di luar bangunan juga demikian. Di ruangan ini kami bisa jelas melihat situasi jalan.

"Lo nggak bawa lilin kan?"

"Nggak."

"Bagus." Kata Jennie duduk di pojok ruangan. Mengamati luar. Cahaya dari luar cukup menerangi sebagian ruangan ini. "Apa ada masalah?" tanya Jennie kembali saat melihatku menatap ragu. "Nggak, itu. Kenapa lo mau bantu gue. Sementara gue nggak bantu lo bawa lilin."

Jennie mengalihkan pandangan keluar lagi. Wajah Jennie sedang tidak baik-baik saja. Seperti ada sesuatu yang ia cemaskan kali ini. Aku tidak paham maksudnya tapi kuharap semua akan baik-baik saja.

"Oh," kata Jennie pelan.

"Gue cuman bantu orang yang perlu bantuan. Dan kebetulan itu elo." Jennie tersenyum simpul.

..

"Oh," kataku singkat.

Suasana canggung. Aku tidak tahu harus malakukan apa.

"Lo mau ketemu Iqbal kan?"

"Ya."

"Gue bantu lo. Tapi nggak sekarang, situasinya udah berubah Ra. Ini udah bukan permainan lagi."

Perkataan Jennie di telinga terdengar aneh, tapi sebelum memikirkan hal tersebut tiba-tiba pandanganku memudar seperti kegelapan yang merayap memenuhi ruangan, kepalaku pusing sama seperti sebelumnya. Tubuhku tiba-tiba lemas, tanganku bergetar. Pada akhirnya aku kembali jatuh pingsan.

***


Load failed, please RETRY

Wöchentlicher Energiestatus

Rank -- Power- Rangliste
Stone -- Power- Stein

Stapelfreischaltung von Kapiteln

Inhaltsverzeichnis

Anzeigeoptionen

Hintergrund

Schriftart

Größe

Kapitel-Kommentare

Schreiben Sie eine Rezension Lese-Status: C22
Fehler beim Posten. Bitte versuchen Sie es erneut
  • Qualität des Schreibens
  • Veröffentlichungsstabilität
  • Geschichtenentwicklung
  • Charakter-Design
  • Welthintergrund

Die Gesamtpunktzahl 0.0

Rezension erfolgreich gepostet! Lesen Sie mehr Rezensionen
Stimmen Sie mit Powerstein ab
Rank NR.-- Macht-Rangliste
Stone -- Power-Stein
Unangemessene Inhalte melden
error Tipp

Missbrauch melden

Kommentare zu Absätzen

Einloggen