Doni tak pernah tahu hal ini. Dia hanya bisa tersenyum tipis seolah-olah dengan itu semua segalanya akan terselesaikan, padahal kenyataannya tak demikian. Terkadang rasanya aku ingin menghantam kepalanya ke dinding.
Dia bilang akan selalu ada untukku, aku lega seumpama si sialan itu mengatakannya dalam hati saja. Aku lega jika Doni tak begitu banyak bicara, kata-kata manis yang ada di mulutnya tak lebih dari rancu. Menyesatkan sekali sampai bisa kulihat dengan jelas penampakan wajah kusut dari Raisa.
"Kamu benar-benar pria yang budiman dan selalu saja berhasil membuat manusia jadi banyak pikiran, ya?" kekehku sembari menjambak rambut Doni.
Aku mengakuinya, bahwa dia memang pria baik hati yang bisa membuat siapa saja terpana. Tak satu atau dua kali aku melihatnya tersenyum tipis, mengorbankan bahunya dan bahkan merelakan sapu tangan untukku. Akan tetapi semua itu bukan lagi milikku, semenjak Joo menjadi suamiku kami hanya rekan kerja.