"Apa kau hilang ingatan dan ditemukan di pinggir jalan?" tanya gadis itu dengan tatapan penuh percaya diri.
Ruri hanya terdiam dengan kedua mata yang membulat. Duduk dengan wajah terperangah seakan tak percaya akan apa yang baru saja ia dengar.
"Oke, aku yakin jawabannya 'ya'. Jika dilihat dari sikapmu saat ini," ungkap gadis itu dengan angkuhnya. Lalu mendekatkan lagi wajahnya ke arah Ruri yang masih saja terduduk bingung seperti orang bodoh.
"Kau dibawa ke rumah sakit Sehati dan dirawat oleh Dokter Leo, lalu kau ...."
"Siapa kau?" tanya Ruri yang mulai menyadari ada yang aneh dengan gadis didepannya. Gadis itu terlalu banyak tahu tentang dirinya. Itu semua membuat Ruri tak nyaman dan mendadak merasa takut. Matanya mengitari area yang ada, mencoba mencari sosok yang mungkin menguntit dirinya.
"Tenang saja ... tidak ada yang mencurigakan di sini. Aku Sesilia ... kau?" tanyanya ramah sambil menunjukkan senyuman dan tangan yang menjulur.
"Ruri," jawabnya singkat mengabaikan tangan Sesilia.
"Ruri, oke Ruri. Mulai sekarang kita akan bekerja sama. Aku akan membantumu mengembalikan ingatanmu, begitu juga sebaliknya kau harus membantuku."
"Membantumu, membantu apa?"
"Jangan terburu-buru, Ruri. Sesuai perjanjian, aku akan lebih dulu membantumu mengembalikan ingatanmu."
"Caranya?" tanya Ruri yang mulai jengah dengan keberadaan Sesilia.
"Menggunakan kunci ini," ungkapnya yang segera meraih tas dan bergerak pergi meninggalkan Ruri.
"Hei, hei! Itu milikku," ucap Ruri sambil mengejar Sesilia.
Sesilia terus saja berjalan tanpa memperdulikan Ruri. Membuat Ruri jengkel dan segera menyeberangi jalan mendekati Sesilia.
"Kau mau kemana?" tanya Ruri kesal.
"Kau hanya perlu mengikutiku," ungkapnya sambil terus berjalan menuju area penyimpanan yang ada di pusat kota.
"Hei, tempat apa ini?" tanya Ruri tak percaya dengan apa yang ia lihat. Di sana terdapat seorang penjaga yang asik membaca koran dan membiarkan keduanya masuk begitu saja. Lalu ada sebuah lorong yang membawa pada banyak rak berisi loker terkunci.
"Ada milikmu di salah satu loker ini," ungkap Ruri yang mulai menerka tempat keberadaan loker Ruri.
"Apa kau ingin mencoba membuka semua loker di sini?" tanya Ruri dengan wajah bingung.
"Kenapa enggak? Bukannya itu lebih baik karena aku kini sudah memiliki kunci," jawab Sesilia tak perduli. Ia terus saja memasukkan kunci itu ke lubang-lubang loker berharap bisa membuka salah satu dari loker yang ada.
Ruri setuju, meski ia merasa tak senang akan sikap Sesilia yang begitu seenaknya. Matanya terus menatap ke arah sekitaran loker yang memiliki ukuran dan warna sama persis. Kakinya melangkah dari ujung loker ke sisi ujung lainnya dan mencoba menghitung jumlah loker yang ada.
"Buset! Ada 100 loker dan dia mau mencoba satu-satu?" gerutu Ruri sembari menepuk dahinya. "Tapi setidaknya aku jadi tau kalau kunci itu digunakan untuk apa," ungkapnya yang kembali memperhatikan loker yang ada.
Sesaat ia tersadar akan kunci lain yang ia dapatkan dari dompet pemuda tempo hari.
"Yah, kenapa enggak aku coba buka loker dengan kunci ini," ungkapnya yang mulai melangkah mendekati loker tepat di depannya.
Loker pertama gagal, lanjut ke bagian dua dan "Klik!" loker terbuka.
"Hei! Kenapa kau bisa membuka loker? Bukannya kuncimu ada padaku?" tanya Sesilia geram.
"Ini kunciku dan itu kunci orang lain," jelas Ruri dengan sikap sedikit bingung.
"Apa kau benar hilang ingatan?" tanya Sesilia yang merasa tak percaya karena Ruri bisa dengan mudahnya mengetahui dimana lokernya berada. Begitu geram, Sesilia bertindak kasar dengan mendorong tubuh Ruri hingga bersandar rapat ke loker. Lalu mendekatkan wajahnya hingga begitu dekat, membuat Ruri sulit bernapas.
"Mundurlah!" pinta Ruri yang terus menghindar.
Kedekatan wajah keduanya membuat pria tua penjaga loker salah paham. Ia berdiri sambil berdehem dan menatap genit ke arah keduanya. Membuat Ruri dan Sesilia merasa malu dan segera saling menjauhkan diri.
"Jangan lakukan itu di sini, jika kalian tidak ingin aku melihatnya," ucap pria tua itu kembali.
"Cepat ambil barang yang ada di sana!" ucap Sesilia dengan nada sedikit membentak. Namun, kedua pipinya merona dan tak berani menatap ke arah Ruri.
Ruri dengan gagap dan sedikit canggung mulai meraih isi loker yang ternyata berisi sebuah tas hitam terbuat dari kulit.
Tersadar, Ruri melihat sebuah huruf kecil di sudut bawah pintu loker. Tertulis jelas huruf 'P' di sana.
"Aku tau!" ungkapnya dengan semangat. Lalu mulai berjalan dan mengabjatkan huruf hingga menemukan rak deretan 'L'.
"Buka loker deretan ini dengan kunci yang ada padamu," ucap Ruri dengan semangat.
Sesilia terlihat tak percaya, namun tangannya terus saja bergerak membuka deretan loker yang ada.
"Klik!"
Sesilia terperanjat, ia tak menyangka prediksi Ruri benar dan loker terbuka. Namun sayang, loker itu kosong.
"Hei! Tidak ada apa-apa di sini!" ungkap Sesilia dengan nada kesal.
"Benar juga, tapi kenapa loker milikku ada?"
"Kau tidak salah kunci kan? Maksudku, tas itu emang milikmu?" tanya Sesilia kembali. Ia begitu penasaran hingga ingin merampas tas hitam dari dekapan Ruri.
"Ini punyaku. Aku yakin itu. Ada simbol 'P' sedangkan loker yang kau buka itu bersimbol 'L'."
Sesilia masih saja tak percaya, hingga akhirnya Ruri menunjukkan huruf 'L' di sudut bawah pintu loker.
"Dari mana huruf 'P dan L' itu berasal?" tanya Sesilian yang semakin menaruh curiga ke arah Ruri.
"Ayo keluar dulu. Jangan membahas ini di sini!" ungkap Ruri dengan wajah takut.
Keduaya berjalan menjauhi lokasi, tanpa sadar mereka saling berpegangan tangan. Tepatnya Ruri menggenggam tangan Sesilia hendak menariknya pergi. Sedangkan pria tua yang berjaga hanya tersenyum meledek ke arah keduanya melihat kemesraan keduanya.
"Lepaskan!" ucap Sesilia dengan begitu kasar.
"Oh, maaf," ucap Ruri yang menjadi salah tingkah sendiri.
"Ikut aku!" ucap Sesilia yang berjalan lebih dulu di depan Ruri. Keduanya melangkah mendekati daerah tol yang sempit dan kotor.
"Kita mau kemana?" tanya Ruri bingung.
"Ke rumahku!"
Ruri semakin bingung. Tidak ada rumah dan bangunan apapun di sana. Hanya sampah di sepanjang jalan. "Rumah?" gerutunya sambil terus melihat sekitaran.
Langkah mereka berhenti pada sebuah bangunan rusak dengan atap yang nyaris hilang semua.
"Masuklah!" pinta Sesilia dengan bangga.
"Ke sini?" tanya Ruri seakan tak percaya.
Rumah dengan dinding yang nyaris roboh, kotor dan bau. Ia tak tahu kalau Sesilia bisa betah tinggal di sana. Namun, semua prasangkanya terbantahkan setelah ia melihat apa yang ada dibalik bangunan itu. Sebuah rumah yang bagus dan sangat nyaman. Indah dan asri dengan banyak tanaman dan pepohonan.
"Kenapa? Apa kau juga tertarik tinggal di sini?" tanya Sesilia meledek ke arah Ruri yang masih saja terdiam dengan wajah bodohnya. Menganga dan terus melihat sekitaran. Ada gambaran takjub di matanya. Ia begitu menyukai rumah dan keadaan yang ada.
"Hai sayang, siapa yang kau bawa kali ini? Apa dia korban barumu?" tanya pria dewasa bertubuh tinggi tegap dan berkulit gelap. Tepatnya seperti algojo yang menakutkan.