App herunterladen
6.34% School of Persona / Chapter 17: Sakit, Pengakhiran Kontrak

Kapitel 17: Sakit, Pengakhiran Kontrak

Haikal membuka pintu kamar dengan sebelah tangannya. Kanan memegang gagang pintu, kiri memegang bubur, segelas air, dan potongan apel di atas nampan kayu. Menu makan siang khas rumah sakit itu bukan untuk dirinya, melainkan Adri. Istrinya itu tengah sakit, sudah dua hari hanya berbaring di tempat tidur dan tak mau dibawa ke dokter.

"Makan dulu ya, nanti minum obat." Haikal menaruh nampan tadi ke atas nakas, sementara dirinya duduk di pinggir tempat tidur.

"Kenyang Kak ..." lirih Adri.

"Hmm, kenyang makan apa emang? Sarapan aja cuma dikit tadi. Makan dulu ya, udah Kakak buatin," ujarnya, mengusap kening hangat Adri itu sayang. Dirapikannya juga rambut pendek sebahu Adri yang berantakan akibat tidur terlalu lama. "Ke dokter ya sore ini? Takutnya tipes Kamu kambuh, Kakak khawatir. Ya?" bujuk Haikal sekali lagi.

Adri menggeleng, "Engga, cuma sakit kepala sama demam. Nanti juga sembuh."

Haikal tersenyum simpul, kemudian diambilnya mangkuk berisi bubur itu. Tanpa banyak membantah, Adri akhirnya menurut, menerima suapan demi suapan dari Haikal.

"Ini Senin. Kakak cuti lagi?" tanya Adri.

Haikal mengangguk, "Iya. Kenapa emang? Siapa yang jagain Kamu kalau Kakak ke kantor hari ini?"

Adri menghela nafasnya sejenak, "Maaf Kak, Kakak jadi terlalu banyak cuti karena Aku sering sakit."

Haikal berhenti, ditatapnya Adri yang tengah menatapnya sendu itu, "Kenapa minta maaf? Ini kewajiban Kakak. Toh kalau Kakak sakit juga Kamu cuti kan? Jangan berpikir begitu. Pekerjaan bisa jadi nomor dua buat Kakak kalau Kamu sakit," ujarnya, membuat Adri terharu diam diam.

"Mending Kamu istirahat, jangan banyak pikiran, lupakan dulu pekerjaan Kamu. Cepet sembuh, ya?" Haikal mengelus wajah Adri lembut. Masih panas, demamnya itu belum turun. Lalu Haikal tak tahu kenapa mata Adri itu basah sekarang. Efek panas? Rasanya tidak juga.

"Kamu kenapa?"

Adri menggeleng, menghapus jejak air matanya, "Enggak."

"Eeh, jangan gitu dong. Kenapa Kamu nangis? Kakak ada salah?"

Adri kembali menggeleng, "Enggaaa. Kakak gak pernah salah. Aku cuma ... sedih karena ... karena sering ngerepotin Kakak ..." ujarnya tersenggal-senggal.

Haikal menaruh mangkuk bubur kembali ke atas nakas, lalu merengkuh Adri yang tengah emosional itu. Haikal sudah hafal, karena ini bukan pertama kali Adri mengatakan hal serupa, bahwa Ia merasa sedih dan merepotkan.

"Gak ada yang merepotkan sama sekali. Kamu, atau Kakak. Memang tugas, tanggung jawab, dan lebih dari itu semua, keinginan Kita seperti ini. Kakak sayang sama Kamu, dan itu bukan sekedar diucapkan, tapi ditunjukkan, salah satunya seperti ini. Kamu gak pernah merepotkan Kakak, karena Kakak selalu ikhlaaaas menyayangi dan merawat Kamu selama ini. Ya?" Haikal penuh penghayatan mengungkapkan isi hatinya, sembari tangannya itu mengelus punggung Adri perlahan.

Adri memeluk Haikal erat, "Jangan tinggalin Aku Kak," ujarnya.

Haikal tersenyum simpul, "Apa alasan Kakak ninggalin Kamu emangnya, hm? Rasanya gak ada."

Adri menggeleng, "Siapa tau."

"Tau dari siapa?" Haikal membalikkan pertanyaan.

"Kakak mah ..."

Haikal tergelak, "Kamu tuh kalau lagi sakit suka berubah emosional gini, Kakak jadi takut kadang."

"Takut kenapa?"

"Takut kalau tiba tiba ... gak jadi."

"Ih Kakak ... jangan setengah setengah, bikin penasaran ..."

Haikal melepaskan pelukannya kemudian, diraihnya gelas berisi air mineral, "Minum dulu," titahnya, Adri kembali menurut saja.

"Lanjut makan atau mau minum obat dan langsung istirahat?" tawar Haikal.

"Minum obat, tapi gak mau istirahat," jawab Adri yang sudah berbaring kembali diatas bantal.

Haikal mengangguk, "Oke. Tapi mau apa kalau Kamu gak mau istirahat? Mending tidur lagi, biar cepet pulih," ujarnya seraya membuka plastik berisi obat obatan untuk Adri.

"Tadi malem Nalesha chat Aku Kak," lapor Adri.

"Oh ya? Apa katanya?" Haikal membantu Adri sedikit duduk untuk memudahkannya menelan obat obatan, "Minum dulu obatnya," ujarnya cepat sebelum Adri lanjut bercerita.

Tiga tablet dilahap Adri sekaligus dibantu air mineral. Adri tak langsung berbaring, memilih bersandar pada headboard dan lanjut bercerita.

"Katanya Saheera lagi bingung karena dapet dua beasiswa tapi gak didukung sama Abinya."

Haikal mengerutkan dahinya, "Dua beasiswa? Beasiswa apa?"

"Exchange, Belanda dan USA. Udah dapet pendanaannya juga, tinggal berangkat setelah visa selesai katanya."

"Oh gitu? Terus kenapa gak diizinkan? Masih sama alasannya?" tebak Haikal.

Adri mengangguk, "Iya Kak. Masih sama, kali ini kayaknya bikin Saheera bener bener galau karena studi ke luar negeri itu kan salah satu cita citanya gitu."

Haikal tampak berpikir, bertopang dagu, "Terus apa solusi dari Nalesha?"

"Bukan solusi langsung mungkin, tapi dia minta Kita untuk bantu bicara sama Abinya Saheera ini."

"Wah, agak susah ya sebenarnya. Kakak beberapa kali bicara dengan beliau, dan ... masih sangat sulit."

"Sangat konservatif?"

"Ya, kalimatnya menutup pandangan lain untuk masuk, seperti 'Maaf Pak Haikal, ini masalah keyakinan' begitu. Sulit sekali, jujur. Tapi mungkin Kamu bisa mendekati istrinya Dri. Belum pernah kan?"

Adri mengangguk, "Iya, belum."

"Nah, dicoba aja. Biasanya kalau sesama wanita lebih mudah, lebih dari hati ke hati," saran Haikal.

"Gitu ya? Oke, nanti Aku coba bicara sama Saheera dulu."

Haikal mengangguk setuju, "Nalesha tuh ... care banget sama Saheera. Sepanjang camping kemaren dia banyak cerita soal gimana Saheera tuh influence anak anak buat ibadah dan belajar."

"Bagus dong berarti. Kakak mah liatnya dari sisi jodoh jodohan aja sih," protes Adri.

Haikal cengengesan, "Ya abis tuh gemes loh Sayang. Jadi inget masa masa kuliah dulu, asik banget ngeroasting orang sampe jadian."

"Gak boleh gituu Kak Haikaal. Apalagi ini Saheera loh."

"Iyaaa deh iyaaa."

"Iya iya diulang terus," ambek Adri.

Haikal mencubit pelan kedua pipi Adri dengan gemasnya, membuat si empunya memberontak, "Sakit Kak, ngiluu."

"Eh? Maaf maaf. Duh, kok ngilu? Tuh kan, mendingan ke dokter deh, ini tuh gejala tipes kayaknya." Haikal kembali khawatir.

Adri menggeleng, "Gak mau Kak. Mending di rumah aja."

"Kenapa sih gak mau ke dokter? Kamu masih takut?" tanya Haikal hati hati.

Adri terdiam, membuat Haikal paham sekarang. Rupanya vonis dokter sepuluh tahun lalu itu masih sangat membekas di hati istrinya.

Kembali Haikal rengkuh Adri, mengelus kepalanya pelan, "Gak apa apa. Kakak gak akan maksa Kamu ke dokter. Kamu cepet sehat ya ..."

"Hmmm. Makasih Kak."

"Sama sama. Tapi boleh Kakak minta sesuatu sama Kamu?"

"Apa Kak?"

"Kontrak Kamu di ITB, akhiri tahun ini aja ya. Kakak minta tolong, ini final, pertimbangan besar di kesehatan Kamu."

Diluar dugaan Haikal, Adri mengangguk, "Iya Kak. Aku akan berhenti jadi dosen, dan fokus di bisnis. Aku juga mau setiap hari sama Kakak di Jakarta."


Kapitel 18: Mentoring Akbar

Jam tujuh pagi, seperti biasa semua sudah berkumpul di ruang makan untuk sarapan bersama. Bi Kani, alias bibi asrama sibuk menyajikan satu per satu menu ke meja, dibantu Saheera, Iqbaal, dan Noer. Belum apa-apa, manusia-manusia langganan kelaparan seperti Jerry dan Lim sudah tergoda duluan dengan aroma omelet spesial ala Bi Kani.

"Yang ngambil jatah omelet lebih dari satu Gue sihir jadi lampu flip flop." Jerry mengultimatum Lim yang biasanya suka sembarangan menukar-menukar jatah menu.

Semua orang tergelak, Jerry si penggemar Harry Potter garis keras sudah mengeluarkan ancaman sihir lawak andalannya.

"Saya curiga Jerry punya batu sihir di kamarnya, jangan-jangan selama ini dia melet seseorang di asrama," tambah Nalesha yang baru saja bergabung. Maklum, masbuk kelas satu.

"Paling Leon yang dipelet," celetuk Dhaiva.

"Astagfirullah ..." ujar mereka kompak, terlepas dari apa keyakinannya, seakan 'Astagfirullah' adalah kata universal ketika merespon sesuatu yang memerlukan 'menghela nafas berat'.

"Siapa yang suka magic disini? Jerry?" Bi Kani ikut-ikutan.

"Iya tuh Bi."

"Bohong Bi," bella Jerry sembari mengamankan omeletnya.

"Bi Kani bilang sapu lidi sering ilang kan? Nah itu diterbangin Prof Jerry Bi." Leon menambahkan.

Bi Kani hanya geleng-geleng kepala, "Kalian ini ada ada aja, yaudah deh, silakan makan ya, Bibi beberes yang lain dulu," ujarnya.

"Iyaa makasih Bi Kaniii," ujar mereka kompak.

Acara makan pagi kemudian dilanjutkan, beberapa memulai percakapan, sebagian lagi tidak, tergantung preferensi saja.

"Eh nanti malam jadi mentoring Ra?" tanya Dhaiva pada Saheera yang duduk didepannya. Saheera mengangguk sembari masih mengunyah makanannya, "Iya, nanti malam jam delapan ya, semua siap-siap, Kita pembukaan dulu, mentoring akbar lah gitu istilahnya, minggu minggu selanjutnya baru mentoring dalam grup," jawabnya sekalian saja memberikan pengumuman.

"Okeee siap," jawab mereka kompak, membuat Saheera mengangguk puas, mengacungkan jempolnya.

"Mentornya siapa Ra? Bang Rasyid lagi?" tanya Abidin dengan mata sedikit berbinar.

Saheera kembali mengangguk, "Iya, sama Kak Nadia. Mentoringnya kali ini dipisah perempuan sama laki-laki, gak barengan kayak dulu," ujarnya.

"Yaaaaahhhh," keluh Dhaiva, Abidin, dan deretan muslimah itu. Yang lain hanya geleng-geleng kepala, paham kenapa mereka mengeluh. Apa lagi kalau bukan karena tidak bisa melihat Rasyid yang katanya tampan dan menyejukkan hati.

Astaga.

"Mau pengajian apa mau flirting deh nih orang-orang padaan," sindir Noer.

"Kan cuci mata Noer, sumpek di asrama pemandangannya Prof Jerry sama Bang Iqbaal doang."

"Oh berarti Gue termasuk ganteng gitu ya Va? Aduh hatur nuhun euy, pujian tak terduga." Iqbaal dengan percaya diri level dewanya.

"Pede Lu." Lim buka suara, langsung membuat orang orang tertawa. Tajam sekali lidahnya itu, Iqbaal sampai mencelos dramatis.

Saheera sang koordinator acara mentoring akhirnya buka suara, "Jadi gitu ya, mentoring akbarnya di pisah, dan gak ada crossing over antar gender mentor dan mentee. Perempuan sama perempuan, laki-laki sama laki-laki. Oke?"

"Iyaaa deeehh,"ujar mereka akhirnya.

Jerry dan Leon tiba-tiba mengangka tangan kompak, tentu saja langsung di roasting, apalagi Jerry yang mengerlingkan sebelah matanya sebagai kode ingin bicara duluan. Leon hanya mengangkat sebelah bibirnya mencibir.

"Iya kenapa Prof Jerry? Ada yang bisa dibantu?" tanya Saheera, sok menirukan gaya bicara customer service bank syariah Islam. Nalesha di beberapa kursi depannya tersenyum tipis setengah mencibir, bisa juga Saheera bertingkah seperti itu, batinnya.

"Itu, yang non jadwalnya kapan? Kata Kamu dipisah kan jadwalnya? Atau mau digabung sama yang Muslim?" tanyanya yang langsung direspon negatif se ruangan. Inilah Jerry dan tingkah absurdnya yang mengundang Nalesha mengatakan bahwa Ia adalah seorang atheis.

"Jer, Lo tobat deh Jer, dicari Tuhan Lo tuh," celetuk Manty yang mengundang tawa.

"Emang Prof Jerry mau ikut kajian nanti malem? Boleh aja," ujar Saheera santai, langsung mendapat lirikan dari sebagian besar pengisi meja makan.

Jerry mengangguk-ngangguk, "Nice thought, Saheera, this is to open my mind, religion comparison, that's interesting subject, wasn't it?" tanyanya pada forum yang sebagian besar hanya mengangkat bahunya tak punya jawaban.

"Yeah, that was interesting." Nalesha buka suara, jarang jarang pria itu mendukung opini Jerry, "Dengan catatan, Kita sudah punya keyakinan kuat akan satu keyakinan yang Kita anut dan janji setia pada keyakinan itu," lanjutnya. Oh, disclaimer.

Saheera mengangguk setuju, "True, dan kekuatan atas keyakinan itu hanya bisa diukur oleh Prof Jerry sendiri, bukan Aku, atau siapapun dari Kita," tambahnya.

"Tapi Jerry keliatan agnostik nyaris atheis sih, makanya Kita curiga," sindir Manty. Hm, dua orang ini, tidak benar musuhan, tapi seolah saling kemusuhan.

Iqbaal yang sedari tadi diam saja akhirnya selesai makan, memutuskan untuk menyampaikan opini, "Begini temen-temen, ini agak sensitif ya sebenarnya, Gue gak mau ada persinggungan apapun ke depan, baik itu ... antar keyakinan, atau saling judge keyakinan dan kadar keimanan," ujarnya, seperti mukadimah pidato kepresidenan.

Selalu kharismatik Iqbaal berbicara, mudah sekali membuat rekan-rekannya diam menyimak. Karena ekspektasi dari setiap kalimatnya selalu berbobot dan menjadi jalan tengah.

"Program yang dirancang Saheera itu rata untuk setiap Kita dengan berbagai macam keyakinan disini. Gue gak mau mendengar konspirasi kalau ... ada yang mencoba mendominasi atau menjalankan semacam misi misionaris dari rangkaian mentoring ini."

"Kalau kalian mau join ke kajian agama lain silakan aja, asalkan seperti kata Nalesha tadi, perkuat dulu pondasi kalian, jangan menggoyahkan diri sendiri."

"We consider about hidayah, but don't make you regret your decision yourself made, okay?" finalnya yang diangguki seluruh orang disana, termasuk Jerry dan Manty yang secara implisit menjadi spotlight.

Leon yang merasa masih memiliki opini belum tersampaikan kembali mengangkat tangan, "Mau nanya guys," ujarnya.

"Kenapa Yon?" tanya Nalesha.

"Hmm saran aja sih sebenarnya, mungkin ... apa ya?" Leon bingung sendiri bagaimana menyusun kalimatnya, "Mungkin ... hype di mentoring ini disamakan gitu. Ngerti gak sih?"

Kebanyakan mereka menggeleng, tak paham, termasuk Saheera si perancang program.

"Jadi berdasarkan pengamatan Gue di tahun sebelumnya, Gue merasa tingkat dukungan satu sama lain untuk mentoring keagamaan lima agama berbeda ini berbeda gitu, Ra, Lesh, Bal," ujarnya, berbicara spesifik pada tiga pentolan asrama itu. "Okay, as disclaimer, I'm not speaking as a jealousy or whatsoever, tapi ... ya you know what I mean, the hype is different between event for Muslim to Budhist, or Christiant."

Akhirnya satu forum paham apa maksud Leon.

"Okay Leon, I got what you mean. Aku usahakan untuk program mentoring Kita saling mengingatkan dan menyemangati secara ... adil? Oh ya satu lagi yang kayaknya belum Aku sampaikan," ujarnya sembari menegakkan duduk, berbicara lebih serius.

"Yang berbeda dari kegiatan mentoring keagamaan tahun ini, sekaligus untuk merapatkan toleransi di asrama, akan ada subpanitia, disamping Divisi Religion and Ethical sendiri."

Semua orang tampak antusias, kecuali Nalesha yang hanya tersenyum tipis karena sudah diceritakan paling awal oleh Saheera.

"Jadi misalkan ini jadwal mentoring buat yang Kristiani, nah nanti Kita yang Muslim, yang gak ada jadwal mentoring, akan siapkan keperluannya, di schedule, dan schedule nya udah ada. Itu salah satu bentuk usaha Kita memelihara equality untuk masalah keyakinan."

"Aku harap itu bisa Kita jalankan dengan senang dan ringan hati bersama-sama ya, temen temen."


Load failed, please RETRY

Geschenke

Geschenk -- Geschenk erhalten

    Wöchentlicher Energiestatus

    Stapelfreischaltung von Kapiteln

    Inhaltsverzeichnis

    Anzeigeoptionen

    Hintergrund

    Schriftart

    Größe

    Kapitel-Kommentare

    Schreiben Sie eine Rezension Lese-Status: C17
    Fehler beim Posten. Bitte versuchen Sie es erneut
    • Qualität des Schreibens
    • Veröffentlichungsstabilität
    • Geschichtenentwicklung
    • Charakter-Design
    • Welthintergrund

    Die Gesamtpunktzahl 0.0

    Rezension erfolgreich gepostet! Lesen Sie mehr Rezensionen
    Stimmen Sie mit Powerstein ab
    Rank 200+ Macht-Rangliste
    Stone 0 Power-Stein
    Unangemessene Inhalte melden
    error Tipp

    Missbrauch melden

    Kommentare zu Absätzen

    Einloggen

    tip Kommentar absatzweise anzeigen

    Die Absatzkommentarfunktion ist jetzt im Web! Bewegen Sie den Mauszeiger über einen beliebigen Absatz und klicken Sie auf das Symbol, um Ihren Kommentar hinzuzufügen.

    Außerdem können Sie es jederzeit in den Einstellungen aus- und einschalten.

    ICH HAB ES