App herunterladen
8.86% Kami adalah Aku : Epiphany / Chapter 29: Jakarta

Kapitel 29: Jakarta

Pesawat mereka mendarat dengan selamat di Jakarta. Jin dan Rea berjalan dengan santai membawa masing-masing satu buah koper dan tas berukuran besar. Menggunakan taksi bandara mereka pulang ke rumah pribadi mereka sendiri. Kejutan yang memang sudah Jin siapkan untuk sang istri. Mereka masuk ke dalam sebuah perumahan elite dengan nuansa serba modern dan keamanan yang terjamin. Lokasinya memang tak jauh dari tempat kerja Jin, mungkin hanya sekitar 5 km, sangat dekat untuk jarak kalau kita bicara tentang Jakarta. Perumahan itu juga dekat dengan beberapa fasilitas umum seperti halte, sekolah, juga pasar memudahkan segala kegiatan Rea sebagai ibu rumah tangga. Walau tentu area itu sudah sangat macet, padat dan tentu saja panas tapi kembali lagi ini Jakarta.

"Mas?" Tanya Rea ragu saat taksi mereka berhenti di depan sebuah rumah yang cukup besar sebenarnya.

"Ayo turun dulu." Ajak Jin ramah.

Setelah pak supir meninggalkan mereka berdua dengan bawaan yang menggunung di teras, Rea memuaskan diri memandang ke arah rumah yang ada di hadapan mereka itu. Taman kecil juga sebuah garasi mobil menyambut.

"Ini rumah kita Re. Ayo masuk." Jin membuka kunci pintunya dan membawa Rea yang terpana masuk ke dalamnya.

"Mas kalo ini sih buat aku udah besar banget." Ucap Rea penuh haru.

Rumah dominan bewarna putih gading dan abu itu nampak begitu cantik meski belum bayak perabotan disana. Dengan desain modern minimalis dengan sedikit sentuhan industrial yang memang mereka berdua suka. Dibawah ada satu kamar utama dengan kamar mandi di dalamnya. Cukup besar dengan dominan warna coklat dan sedikit pink. Rea yakin ini pasti kamar utama, kamarnya dan Jin yang memiliki pemandangan ke taman belakang. Sebuah taman kecil dengan dapur disampingnya. Sedangkan diatas ada dua kamar dengan warna dinding yang berbeda. Dominan warna hitam dan abu di satu kamar sedangkan baby pink dan mawar di kamar lainnya. Juga satu buah kamar mandi terpisah.

"Kamar ini bisa masing-masing untuk Gia dan Uri sementara sebelum nanti bisa dipake sama anak-anak kita Re." Ucap Jin masih mengelus pundak sang istri.

"Kamu nyiapin kamar juga buat mereka?" Tanya Rea.

"Emang kamu mau mereka tidur sama aku? Kalo aku sih gak keberatan." Ucap Jin santai.

"Hm, maunya kamuuuu ya." Rea mendelik.

"Senangnya dalam hati, kalau beristri tiga." Jin menggoda Rea yang sedikit terganggu.

"Hahaha. Ya makanya itu aku siapin kamar ini buat mereka. Biar mereka nyaman juga tinggal disini Re." Ucap Jin.

"Makasih banyak ya mas. Mas udah mikirin Gia dan Uri. Aku juga seneng banget sama rumahnya mas. Bagus banget dan rumah kaya gini emang selera aku banget." Ucap Rea begitu bersemangat.

"Tapi beli perabotannya nyicil ya Re. Maklum tabungan aku sudah habis untuk rumah ini kemaren. Hehehe." Ucap Jin.

"Iya mas tenang aja. Pelan-pelan aja semuanya." Ucap Rea penuh senyum memeluk suaminya itu.

"Jadi mulai sekarang kita resmi tinggal disini?" Tanya Rea.

"Ya kalau kamu mau Re. Papa mama juga udah berangkat ke Singapore. Sebagian barang-barang kamu juga udah disini. Dan Bibik juga udah dipasrahin sama mama papa untuk tinggal disini nemenin kamu kalo seandainya aku lagi kerja cuman seminggu dua kali aja Bibik bakal ke rumah orang tua kamu untuk bersih-bersih. Tapi kamu juga gak usah khawatir kamu bisa ikut aku ke kantor atau aku yang kerja dari rumah. Pokoknya gak ada yang peru kamu khawatirin lagi." Jelas Jin panjang lebar.

"Mas bener-bener udah persiapin semuanya. Makasih banyak ya mas." Rea makin mengeratkan pelukannya.

"Ya udah kalo gitu kamu istirahat aja dulu. Aku mau mandi sebentar." Ucap Jin menuntun Rea masuk ke dalam kamar utama.

Hanya ada ranjang dan sebuah lemari besar juga satu cermin yang berdiri di pojok ruangan. Benar-benar masih sepi tapi sudah layak untuk ditinggali. Jin sudah masuk kedalam kamar mandi dan baru saja Rea berbaring, Gia hadir. Jin yang selesai mandi cuek saja saat keluar kamar mandi dan hanya berbalut handuk menutup wilayahnya. Menghadap ke arah lemari bersiap mengambil pakaian, Jin menurunkan handuk di ubuhnya dan,

"Arrgggghhh." Sebuah teriakan memekakkan telinga Jin otomatis membuatnya menoleh dan sebuah bantal langsung mengenai wajahnya.

"Gila lu ya Jin!" Menyadari panggilan yang ditujukan padanya, Jin reflek memungut handuk di lantai dan menutupi kemaluannya. Sedangkan sosok dengan suara lantang itu sudah keluar meninggalkan kamar dengan membanting pintu.

"Gia?" Jin segera berpakaian.

Sedangkan di ruang tengah. Gia sedang menetralkan debaran jantungnya sendiri.

"Astaga. Aku ngeliat semuanya. Aku ngeliat Jin dan arrrggghh!" Gia menutup wajahnya sendiri gusar.

"Sialan tuh cowok emang!" Gia masih terus menghujat.

Berbeda jauh bahasa mulutnya dengan kondisi tubuhnya yang jadi panas dingin setelah melihat tubuh polos Jin. Pria itu faktanya memang tampan dengan tubuh yang memang tidak terlalu kekar tapi pundak lebarnya pasti bisa membuat siapapun terpana. Ditambah rambutnya yang basah disapu kebelakang dan bulir air yang masih menetes di dada bidangnya.

"Kenapa sekarang gua jadi begini sih? Kenapa jantung gua jadi sakit? Ada apa sih sama gua?" Gia mencoba mencari jawaban.

Faktanya perlahan dia memang mulai jatuh cinta pada Jin. Mungkin memang benar pepatah yang mengatakan jangan terlalu benci karena bisa jadi cinta. Ya awalnya dia memang tidak suka pada Jin karena takut pria itu hanya akan memanfaatkan kepolosan Rea saja. Tapi makin kesini dia bisa melihat ketulusan seorang Jin pada Rea juga dirinya dan Uri. Belum lagi waktu yang mereka lewati saat di Bali kemaren begitu berarti. Bagaimana Jin membatasi dirinya sendiri untuk tidak menyentuh padahal dia bisa. Bagaimana Jin melindunginya dengan caranya saat mereka sedang berselancar. Bagaimana Jin merelakan tubuhnya untuk ditato dan tidak menolaknya.

"Apa jangan-jangan aku jatuh cinta sama dia? Nope nope nope! Dia suami Rea. Inget itu Gia. Dia suami Rea!"

Begitu inginnya dia mengelak dan mengatakan bahwa ini hanya simpati semata. Dia tak mungkin mengkhianati dirinya yang lain dengan jatuh cinta pada suaminya. Tapi kalau mau dipikir lagi, bukankah suami Rea berarti suami dia juga? Toh saat ini mereka berbagi tubuh jadi bisakah mereka juga berbagi suami? Kira-kira apa yang Rea pikirkan kalau dirinya memang jatuh cinta pada suaminya? Dan bagaimana tanggapan Uri kalau tahu aku mencintai suami Rea? Apakah mereka akan berpikiran untuk menyingkirkanku?

"Aish. Mikir apaan sih lu Gia? Jangan gila Gia. Jangan gila!"

Sebelum semuanya terbongkar, apakah aku bisa menguasai tubuh ini untuk diriku sendiri? Lalu apakah mungkin aku bisa memiliki Jin seutuhnya untuk Gia seorang? Apakah aku harus melakukannya? Dirinya merutuki pemikiran jahatnya sendiri.


Load failed, please RETRY

Geschenke

Geschenk -- Geschenk erhalten

    Wöchentlicher Energiestatus

    Rank -- Power- Rangliste
    Stone -- Power- Stein

    Stapelfreischaltung von Kapiteln

    Inhaltsverzeichnis

    Anzeigeoptionen

    Hintergrund

    Schriftart

    Größe

    Kapitel-Kommentare

    Schreiben Sie eine Rezension Lese-Status: C29
    Fehler beim Posten. Bitte versuchen Sie es erneut
    • Qualität des Schreibens
    • Veröffentlichungsstabilität
    • Geschichtenentwicklung
    • Charakter-Design
    • Welthintergrund

    Die Gesamtpunktzahl 0.0

    Rezension erfolgreich gepostet! Lesen Sie mehr Rezensionen
    Stimmen Sie mit Powerstein ab
    Rank NR.-- Macht-Rangliste
    Stone -- Power-Stein
    Unangemessene Inhalte melden
    error Tipp

    Missbrauch melden

    Kommentare zu Absätzen

    Einloggen