Ratih terpaku setelah kepulangan Ferdian dan Julia dari rumahnya, dia tidak menyangka selama ini ketulusan yang dia berikan kepada keluarga mereka ternyata tidak berarti, bahkan Julia dengan terang-terangan mengatakan jijik dan terpaksa.
Kemudian dia teringat dengan ucapan Julia tadi, Kirana juga hamil!
"Tidak mungkin!" dia menggumam. Ia lalu menemui Kirana yang sedang berada di kamarnya.
"Kirana?" ucapnya ketika berada di depan kamar putrinya.
Tidak ada jawaban, ia pun berinisiatif untuk membuka kamarnya. Ketika membuka kamar ia tidak menemukan sosok Kirana di tempat tidurnya, ia mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan kamar itu, kemudian ia melihat putrinya itu berada di sudut kamar sedang menangis tak bersuara.
Ratih tidak sanggup untuk menahan air matanya melihat putri tercintanya begitu memilukan, tangisnya pecah lalu ia memeluk putrinya. Mereka menangis sembari berpelukan.
Hermawan mendengar tangis kedua wanita yang di kasihinya. Sorot matanya menghitam, tidak mudah menebak apa yang ada dalam pikirannya, namun yang pasti dia begitu geram.
"Maafkan aku Bu, aku membuat Ibu dan Ayah kecewa!" lirih Kirana.
"Tidak Nak, ini salah kami karena sudah menjodohkan kalian, andaikan perjodohan itu tidak ada kau tidak akan merasakan sakit seperti ini," kata Ratih.
Kemudian ia teringat ucapan Julia tadi, ia melanjutkan, "Sayang kamu tidak hamil kan? Tadi Julia bilang kau sedang hamil, itu tidak benar bukan?" tanya Ratih menatap Kirana dengan penuh harap.
Tangis Kirana semakin menjadi dia tidak langsung menjawab, Ratih yang melihat itu semakin berdebar menantikan jawaban putrinya.
"Maaafkan aku Bu, aku tidak bisa menjaga diriku sendiri, maafkan aku!" jawab Kirana di iringi tangisnya yang semakin pilu.
Ratih membulatkan matanya dan menggeleng, ia berharap itu suatu kebohongan dari Julia tapi yang baru saja ia dengar seakan meruntuhkan dunianya.
"Kiran? Katakan dengan benar pada Ibu! Itu bohong bukan?" tanyanya lagi seakan tidak percaya.
"Aku ... aku hamil Bu," aku Kirana.
Kini luluh lantaklah perasaan Ratih. Mereka bukan saja mendapatkan pengkhianatan dan penghinaan, tapi juga harus menerima kenyataan bahwa putri tercintanya harus hamil di luar nikah dan laki-laki itu tidak mungkin bertanggung jawab. Dia tidak bisa membayangkan putrinya hamil tanpa suami terlebih Kirana masih sangat muda, masa depannya masih panjang.
Ia kemudian melepaskan pelukannya, bangkit berjalan keluar kamar dengan gontai. Kirana yang melihat itu semakin tercabik hatinya ia berseru, "Ibu maafkan aku Bu!"
Ratih menghampiri suaminya, Hermawan. Dia menangis meraung-raung dalam pelukan suaminya.
"Putri kita ... putri kita masa depannya sudah hancur. bukan saja hatinya yang hancur," ucap Ratih dengan memukul-mukul dada suaminya.
Hermawan yang mengerti dengan yang diucapkan istrinya. Dia tidak berkomentar, di sudut matanya tergenang butiran bening. Namun ia mencoba tegar dan kuat.
"Sudahlah Bu, kita terima ini dengan lapang dada. Kita masih bisa mengurus Kirana dan anaknya walaupun tanpa seorang ayah, kita harus kuat demi mereka," ucap Hermawan mencoba menenangkan istrinya.
"Tapi, ini sangat memalukan," timpal Ratih.
"Ini kesalahan kita juga, kita punya andil atas apa yang terjadi dengan putri kita, dan sekarang nasi sudah menjdi bubur," kata Hermawan.
Kirana tertidur dengan kepala di tepi ranjang tempat tidur sedangkan tubuhnya terduduk di lantai, mungkin karena dia sudah terlalu lelah menangis.
Dia bermimpi, dalam mimpinya ia melihat semua orang pergi meninggalkannya, Adrian, ayahnya, lalu ibunya. Mereka pergi tanpa mendengar raungannya memanggil-manggil mereka. Kemudian Kirana terjaga dengan napas tersengal-sengal, ia bernapas lega karena semua itu hanya mimpi. Tidak bisa ia bayangkan bagaimana jika itu semua terjadi, kehilngan Adrian saja sudah cukup membuatnya rapuh.
Dia melihat ponselnya bergetar tanda seseorang menelponnya, dia meraih ponsel itu dan melihat siapa si penelepon. Adrian di sana yang menelponnya, untuk sesaat ada perasaan bahagia dalam hatinya namun kemudian rasa sakit menjalar ke seluruh sudut hatinya.
Dia lalu mengangkat panggilan itu.
"Kiran? Kau dengar aku Kiran?" tanya Adrian.
"Ya," jawab Kirana singkat.
"Kita harus bicara, bisakah kita bertemu?" pinta Adrian.
"Untuk apa? Kau ingin ucapan selamat dariku?" sindir Kirana.
"Tolonglah Kirana kita perlu bicara, aku akan menunggumu di cafe biasa kita bertemu jam empat sore nanti, kamu harus datang!" ujar Adrian. Kirana tidak menjawab, dia langsung menutup ponselnya. Ia lalu bangkit menuju kamar mandi.
Ia keluar kamarnya menuju ruang makan perutnya terasa perih karena tidak terisi makanan, sekarang dia bertekad untuk menjadi kuat demi calon bayi yang ada dalam kandungannya.
Hermawan keluar melihat Kirana yang sedang makan, ia lalu menghampiri putrinya menggeser kursi makan dan duduk di hadapannya.
"Makanlah yang banyak demi dirimu dan anakmu! Kau tak perlu memikirkan hal lain lagi! Ada ayah dan ibumu yang tidak akan pernah meninggalkan dan mengkhianatimu," ucap Hermawan. Seperti biasa kata-kata ayahnya memang selalu menjadi obat penenang bagi Kirana.
Mendengar itu, air mata Kirana kembali mengalir dia sesenggukan lalu bangkit dan bersimpuh di hadapan ayahnya.
"Maafkan Kirana Ayah, Kirana sudah mengecewakan Ayah dan Ibu!" isak Kirana.
"Sudahlah, kau tak perlu merasa menyesal. sekarang lanjutkan makanmu!" perintah Hermawan.
Kirana menuruti perintah ayahnya sampai selesai, ia lalu menghabiskan minum yang tadi disodorkan Hermawan untuknya.
Sore itu sebelum jam empat sore, Adrian sudah sampai di cafe yang ia janjikan kepada Kirana. Ia duduk di sana sampai pelayan cafe datang menghampirinya dan bertanya.
"Saya pesan es kopi saja," pintanya. Si pelayan itu mengangguk lalu pergi meninggalkannya.
Setengah jam berlalu namun Kirana belum juga datang, dia mulai resah dan terus melihat ke arah jam yang ada di tangannya. Ia mencoba menghubungi Kirana tapi tidak ada jawaban juga.
Beberapa saat kemudian dia tersentak dengan kehadiran seseorang di hadapannya.
"Sintia? Kau sedang apa di sini?" tanyanya, keterkejutan tampak di wajahnya.
Sintia duduk di kursi samping Adrian lalu menjawab, "Sama sepertimu menunggu wanita itu, kau tidak keberatan bukan jika aku di sini?"
"I-iya tentu saja eh bukan begitu, tapi aku harus bicara empat mata dulu dengan Kirana," ucap Adrian.
"Kenapa? Aku istrimu, mengapa aku tidak boleh tahu dengan apa yang akan kalian bicarakan? Aku bisa curiga nanti," ucap Sintia dengan mendelik. Rupanya ia mendengar percakapan Adrian ketika menelpon Kirana.
"Terserahlah, tapi tolong nanti jangan terlalu banyak bicara!" ucap Adrian dengan pasrah. Ia merasa kesal dengan kehadiran istrinya yang tiba-tiba, bisa kacau pikirnya jika Sintia tahu.
Tepat pukul lima sore Kirana akhirnya datang, dengan mengenakan dress hitam selutut dan rambut tergerai, tanpa polesan bedak ataupun lipstik merona seperti Sintia, dia hanya mengenakan lipbalm di bibirnya. Meskipun begitu kecantikan alami yang dimilikinya sudah sangat terpancar.
Melihat Sintia di samping Adrian, Kirana menghela napas dan mencoba untuk tegar. Tak mungkin ia mundur dan kembali pulang karena mereka sudah terlanjur melihat kedatangannya. Tanpa berbasa-basi ia duduk dan langsung bertanya kepada Adrian.
"Ada apa kau menyuruhku kemari?" tanya Kirana.
Adrian ragu untuk menjawab, dia serba salah karena di sampingnya Sintia begitu serius memperhatikan mereka.
"Tentunya aku ingin meminta maaf dan ...." Adrian ragu untuk melanjutkan kata-katanya.
"Dan apa?" sambung Kirana.
"Itu, tentang pesan yang kau kirimkan beberapa hari yang lalu," kata Adrian, tidak bisa bertanya secara gamblang.
"Oh tentang aku yang sedang hamil?" jelas Kirana. Spontan saja Sintia melotot mendengar ucapan Kirana.
"Apa? Hamil? Siapa? Kamu hamil sama siapa?" tanya Sintia tidak sabar.
Kirana mengeluarkan tespek dan selembar kertas keterangan dari dokter yang menyatakan bahwa dirinya hamil.
"Aku hamil, dan aku tidak berbohong, usianya masih sekitar empat minggu," terang Kirana.
"Apa kamu yakin itu anaknya Adrian?" tanya Sintia dengan sinis.
"Kamu pikir aku melakukannya dengan laki-laki lain? Adrian tahu, dia sendiri yang mengambil kesucianku, aku sungguh bodoh mempercayai segala rayuannya, ternyata di belakangku dia juga mengahamili wanita lain," tukas Kirana.
Karena Adrian tidak mengatakan apapun, akhirnya Kirana melanjutkan ucapannya.
"Aku pikir dia adalah pria yang baik dan tepat untukku, aku pikir kedekatan kalian itu murni dilandaskan persahabatan. Aku percaya semua itu sampai aku rela menyerahkan segalanya untuknya," Kirana berkata dengan menahan tangis. Dan tiba -tiba saja Adrian bertanya sesuatu yang membuatnya cukup terhenyak.
"Apa kau yakin calon bayi dalam kandunganmu adalah darah dagingku?" tanya Adrian dengan sedikit sinis.
Kirana membelalakkan matanya tak percaya kata-kata itu keluar dari mulut Adrian, sebaliknya Sintia menyunggingkan senyumnya merasa senang dengan pertanyaan Adrian, itu artinya Adrian meragukan Kirana dan hendak menyingkirkan wanita itu dalam hidupnya.
"Adrian, aku tidak pernah berhubungan dengan laki-laki lain selain kamu. Kamu tahu itu, mengapa kamu meragukan anak ini?" ucap Kirana.
"Kamu mencoba menjeratku bukan? Kamu ingin menghancurkan pernikahan yang baru kami bangun," tuduh Adrian.
"Adrian, aku tidak menyangka kamu begitu tega menghianatiku aku pikir aku memang tidak ditakdirkan untukmu. Sekarang kamu mengelak atas anak ini, itu sungguh sangat keterlaluan," ucap kirana dengan air mata yang sudah membasahi kedua pipinya.
Kirana lalu bangkit dari duduknya hendak meninggalkan mereka, tapi sebelum ia pergi ia berbalik menatap Adrian.
"Aku memang sangat mencintaimu, dan aku mencoba merelakanmu menikah dengannya, tapi kata-katamu yang meragukan darah dagingmu sendiri tidak bisa aku maafkan. Aku tidak menuntutmu untuk bertanggung jawab atas anak ini, anakku tidak pantas memiliki ayah sepertimu."
Visual Adrian ada di Coment ya ...