App herunterladen
5% Gentar Almaliki / Chapter 3: Gentar Tiba di Gunung Kalingking

Kapitel 3: Gentar Tiba di Gunung Kalingking

Setelah itu, rasa sakit di kepala dan perutnya berangsur pulih. Namun, tiba-tiba orang tua berjubah putih itu tertawa lepas, "Ha ... ha ... ha...." Suaranya membuat gaduh suasana.

Belum sempat bangkit, Gentar merasakan hawa dingin di sekujur tubuhnya amat begitu hebat, hingga ia pun kembali terjatuh dan menggigil. Rasa dingin itu sungguh menyiksa dan membuat Gentar tidak mampu bangkit.

Gentar berteriak, seakan-akan marah dan kecewa dengan pria renta berjubah putih itu.

"Sebenarnya kau siapa? Mengapa kau menambah penderitaanku dengan memberikan racun dalam botol ini?"

"Aku adalah Ki Ageng Raksanagara," jawab pria tua itu. Lalu, ia berkata lagi, "Kau jangan gegabah menuduhku, segera tarik napas. Tidak lama lagi kau akan sembuh!" sambungnya sedikit membentak Gentar.

Gentar pun menuruti perkataan dari Ki Ageng Raksanagara, ia berusaha duduk dengan tenang, Lalu, menarik napas dalam-dalam, dan mengembuskannya perlahan.

Gentar merasakan kondisi badannya sudah terasa segar dan tenaganya pun sedikit pulih, sudah lebih baik dari sebelumnya.

"Alhamdulillah, aku sudah sembuh, ternyata orang tua itu tidak berdusta," ucap Gentar merasa bahagia dan senang.

Kemudian, Gentar pun bangkit dan memanggil-manggil orang tua itu, "Ki Ageng! Aku sudah sembuh, terima kasih."

Ki Ageng Raksanagara hanya tertawa sembari duduk santai di dahan sebuah pohon yang tumbuh menyamping itu. Lalu, Ki Ageng Raksanagara pun berkata, "Jika Kedatanganmu ke sini hanya untuk mencari ayahmu yang sudah lama hilang. Itu mustahil dan perjalananmu ke sini tentu akan sia-sia."

"Asal kau ketahui, ayahmu sudah meninggal!" sambungnya.

Gentar memang mengakui jika perkataan orang tua itu adalah benar, Gentar pun menyahut ucapan Ki Ageng Raksanagara, "Ya, Ki. Kalau memang seperti itu, aku akan kembali dan pergi dari hutan ini."

Ki Ageng Raksanagara tersenyum-senyum, "Apakah tidak ada niat lain selain itu?" tanya orang tua berjubah putih itu menatap tajam wajah Gentar.

Gentar mengerutkan keningnya. Ia pun berpikir, jika dirinya pulang harus pulang ke mana? Ke kampung halamannya pun sudah tidak mungkin, ia sudah tidak punya banyak uang untuk kembali ke sana dan sudah tidak merasa nyaman. Karena di kampung halamannya pun sudah tidak ada lagi yang peduli dengannya, sudah tak ada sanak saudara lagi yang dapat ia ikuti untuk sekadar menumpang hidup.

Kemudian, Gentar pun melangkah mendekati Ki Ageng Raksanagara, Gentar segera meraih tangan pria tua itu. "Jika diperkenankan, bolehkah aku menimba ilmu agama kepadamu, Ki?" ucap Gentar sambil meraih tangan orang tua itu. Lalu mencium tangan Ki Ageng Raksanagara.

"Kau akan melewati batasan penderitaan dalam hidup ini. Maka, aku izinkan kau menjadi muridku," jawab Ki Ageng Raksanagara tersenyum memandang wajah yang sedang diliputi kesedihan itu.

Berkata Gentar dengan raut wajah penuh kebahagiaan, "Terima kasih, Ki." Gentar tertunduk penuh keharuan bersimpuh di hadapan calon gurunya itu.

Lalu, ia pun jatuh terkulai ke tanah, pikirannya diselimuti kepedihan tiada tara. Mengingat akan penderitaan yang selama ini ia alami, banyak torehan luka dan kekecewaan yang datang menerpa dalam kehidupannya.

Ki Ageng Raksanagara tersenyum dan meminta Gentar untuk segera bangkit, "Bangunlah! Aku akan menuntunmu dalam hal ilmu agama dan akan mengajarimu ilmu beladiri, agar kau tumbuh menjadi pemuda yang sakti dan beriman kepada Allah!"

Gentar pun segera mematuhi perintah dari Ki Ageng Raksanagara, ia bangkit dan duduk bersila penuh rasa hormat dan menundukkan kepalanya di hadapan orang tua berjubah putih itu.

"Namamu siapa, anak muda?" tanya Ki Ageng Raksanagara menatap tajam wajah Gentar.

Gentar pun menjawab pertanyaan dari Ki Ageng Raksanagara dengan bersikap ajrih, "Namaku Gentar, Ki."

"Pejamkan matamu,!" pinta pria berusia senja itu, berkata penuh kelembutan.

Gentar memejamkan mata sejenak, Ki Ageng Raksanagara meminta Gentar untuk mengatur napas dan mengucapkan kalimat Laa ilaa ha illallah, syahadat dan takbir sebanyak tiga kali.

"Laa ilaa ha illallah ... Laa ilaa ha illallah ... Laa ilaa ha illallah, Ashadu'alaa ilaahaillah wa ashaduanna Muhammadarrasulullah, Allahuakbar ... Allahuakbar ... Allahuakbar," ucap Gentar masih dalam keadaan mata tertutup rapat.

Dengan mengikuti perintah Ki Ageng Raksanagara, Gentar merasakan ada getaran dalam jiwanya. Kepalanya pun terasa ringan, seakan-akan ia merasa berada di sebuah sabana, indera penciumannya pun merasakan wewangian yang begitu harum.

"Bukalah matamu!" perintah Ki Ageng Raksanagara.

"Bismillahirrahmanirrahim," ucap Gentar sembari membuka matanya.

Sungguh kaget dan terperanjat, ternyata Gentar sudah berada di sebuah ruangan yang di dalamnya tersimpan banyak barang-barang perkakas rumah dan dinding ruangan tersebut tampak indah dihiasi tulisan-tulisan kaligrafi Arab nan indah. Di sebuah meja tertumpuk beberapa kitab suci Al-Qur'an.

"Apakah ini sebuah pondok tempat menimba ilmu?" tanya Gentar berpaling ke arah Ki Ageng Raksanagara yang sudah duduk di sampingnya.

Tersenyumlah orang tua berjubah putih itu, lantas ia pun menjawab pertanyaan Gentar, "Ya, ini adalah pondok tempat menimba ilmu. Akan tetapi aku baru mempunyai dua orang murid dari bangsa manusia. Kau dan muridku terdahulu yang sudah meninggalkan tempat ini."

Gentar mengerutkan keningnya, dalam benak pemuda itu banyak dihinggapi rasa penasaran. Gentar bertanya-tanya dalam hati, "Siapakah murid satu lagi yang ia maksud?"

"Dahulu, ketika aku menginjakkan kaki di tempat ini, yang sekarang sudah menjadi tempat tinggalku. Aku pernah berkata dalam hati, barang siapa yang datang ke tempat ini, aku akan menolong dan memberikan ilmu pengetahuan yang aku miliki kepadanya," ucap Ki Ageng Raksanagara menuturkan.

Gentar hanya diam menyimak perkataan-perkataan dari orang tua berbudi luhur itu, Ki Ageng Raksanagara sedikit menceritakan tentang awal mula kedatangannya ke tempat tersebut.

Kilas balik...!

Sekitar tahun 1871, Ki Ageng Raksanagara mengalami hal serupa seperti yang dialami oleh Gentar, ia terbuang dari istana kerajaan, dikarenakan sikap angkuh saudara-saudara tirinya yang dengan sengaja merancang siasat untuk menyingkirkan Ki Ageng agar keluar dari istana dan tidak mendapat kepercayaan dari ayahnya untuk menjadi penggantinya sebagai raja.

Kemudian, ia memutuskan untuk berkelana tak tentu arah tujuan hingga pada akhirnya ia tiba di sebuah desa, dan ikut tinggal bersama salah seorang warga di desa tersebut. Hingga ia diangkat menjadi anak oleh orang tersebut.

Setelah itu, ia dijodohkan dengan seorang gadis dari desa tersebut. Akan tetapi, prahara pun menimpa. Enam tahun setelah menikah, terjadi sebuah pemberontakan berkecamuk di kerajaan Alengkara.

Ki Ageng Raksanagara harus rela menjauh dari desa tersebut, Ki Ageng bersama istri dan kedua anaknya pergi dari tempat tinggalnya untuk menyelamatkan diri, mereka berangkat menuju puncak gunung Kalingking.

Akan tetapi dalam perjalanan menuju puncak gunung tersebut, istri dan kedua anaknya mengalami nasib naas ketika ditinggal sejenak dalam mencari makanan dan air minum oleh Ki Ageng Raksanagara.

Mereka tewas diterkam harimau buas yang ada di hutan itu, hutan yang berada di bawah lereng bukit sebelah timur berbatasan dengan wilayah kerajaan Ramakarta.

*


Load failed, please RETRY

Geschenke

Geschenk -- Geschenk erhalten

    Wöchentlicher Energiestatus

    Rank -- Power- Rangliste
    Stone -- Power- Stein

    Stapelfreischaltung von Kapiteln

    Inhaltsverzeichnis

    Anzeigeoptionen

    Hintergrund

    Schriftart

    Größe

    Kapitel-Kommentare

    Schreiben Sie eine Rezension Lese-Status: C3
    Fehler beim Posten. Bitte versuchen Sie es erneut
    • Qualität des Schreibens
    • Veröffentlichungsstabilität
    • Geschichtenentwicklung
    • Charakter-Design
    • Welthintergrund

    Die Gesamtpunktzahl 0.0

    Rezension erfolgreich gepostet! Lesen Sie mehr Rezensionen
    Stimmen Sie mit Powerstein ab
    Rank NR.-- Macht-Rangliste
    Stone -- Power-Stein
    Unangemessene Inhalte melden
    error Tipp

    Missbrauch melden

    Kommentare zu Absätzen

    Einloggen