App herunterladen
50% One Click / Chapter 8: Si Kembar yang Tak Sama

Kapitel 8: Si Kembar yang Tak Sama

Terlihat dua orang anak kembar yang berusia sepuluh tahun tengah asik bermain di kamarnya. Anak yang menggunakan baju tanpa lengan itu Riko, dia kini sedang memegang pedang dan menggunakan kain yang diikat di leher. Melompat dan berlari seakan tengah melawan musuh. Duduk di atas bantal panjang seakan sedang menaiki kuda.

"Hiat! Mati kau!" teriaknya sambil terus melompat-lompat tak ada henti. Begitu semangat sampai meluluh lantahkan kain penutup ranjang.

Sedangkan seorang anak lagi sedang asik di depan komputer tua milik ayahnya. Bermain permainan kartu solitare dengan baik. Bahkan ia nyaris menang terus dan kini berada di level tertinggi. Tidak hanya itu, dalam permainan mahyong dan permainan susun balok dia juga menang.

Suatu saat ayahnya iseng melihat ke kamar kedua putra kembarnya. Melihat kamar yang berantakan, ia hanya bisa menggelengkan kepala. Namun, sesaat matanya terpana akan sosok Riki yang begitu asik dengan laptop miliknya.

Riki yang begitu asik bermain sampai tak menyadari keberadaan ayahnya yang sudah cukup lama berdiri di belakangnya.

"Wow! Kau hebat, Nak," ucap sang ayah sambil menepuk tangan. "Setelah ini biar Ayah yang main," pintanya.

"Oke," ujar Riki dengan senyuman.

Permainan Riki selesai dengan keluar sebagai pemenang dalam permainan solitare level hard. Kemudian sang ayah pun memulai permainan baru. Awalnya Riki hanya memilih duduk di atas pangkuan dan membiarkan ayahnya bermian sendiri. Namun, lama kelamaan Riki terlihat kesal.

"Aduh! Kenapa itu yang dipindah, Yah. Harusnya yang ini. Itu tadi jangan dipilih, nah kan, sekarang Ayah enggak punya kartu lagi," ujar Riki dengan wajah kecewa.

Ayahnya hanya bisa terdiam dengan mulut ternganga. Awalnya ia mengira ini permainan yang mudah, hingga ia ingin mencobanya. Namun, ternyata ia salah duga. Ini permainan yang sulit dan untuk anak seusia Riki, kemenangannya merupakan rekor.

"Klik."

Ayah memilih lambang silang, namun dengan segera ditahan oleh Riki.

"Pilih permainan ulang, Yah!" pintanya.

Ternyata permainan kembali terulang dan kali ini Riki yang main, masih dengan posisi duduk di pangkuan ayahnya. Dengan lihai dan cepat ia memindahkan kartu demi kartu yang ada. terlihat ada slot kosong, lalu dengan mudah Riki memindahkan kartu king, queen dan jack ke slot kosong. Lalu memindahkan susunan kartu lain ke bagian itu hingga tersusun rapi sampai ke as.

Sang ayah hanya bisa terpelongo. Bahkan jakunnya bergerak naik turun melihat gerakan Riki dalam menggerakkan mouse.

Perlahan kartu tersusun rapi dengan urutan King hingga As. Satu, dua, tiga, hingga tujuh slot. Lalu, "Klik!" kartu automatis tertarik dan keluar tulisan "Winner!"

Ayahnya hanya bisa menggeleng dengan tatapan bangga. Ia tak menyangka, Riki memiliki kelebihan dalam bidang ini. Lalu mata sang ayah beralih ke Riko yang berada di bawah kolong tempat tidur, ia merayap layaknya tentara yang sedang melakukan pelatihan. Lalu ia keluar dari kolong dan berlari, memanjat ke tempat tidur bagian atas tanpa melalui tangga. Tangannya dengan gesit melompat untuk meraih besi yang ada di bagian atas. Lalu berusaha keras menarik tubuhnya hanya dengan mengandalkan kekuatan kedua tangannya.

Awalnya sang ayah ingin marah dan melarang, namun ia tahan. Setelah ia melihat sendiri kelebihan anaknya Riko. Melihat kedua anak kembarnya memiliki kebiasaan yang berbeda, sang ayah memutuskan untuk membiarkan mereka tumbuh dengan kemampuan masing-masing.

Hingga akhirnya sang ayah mati dalam kecelakaan kerja. Tepat diusia mereka yang ke dua belas tahun. Semenjak itu mereka tak lagi dilatih.

Riki memiliki komputer pentium 4, ia begitu ingin membeli yang lebih tinggi prosesornya, namun keterbatasan dana membuatnya menyerah. Sedangkan Riko masih terus melatih kebiasaannya. Ia bermain dengan anak-anak lain di taman. Dimana ada banyak peralatan olahraga yang tersedia. Bahkan ia rela menjadi petugas bersih-bersih di sebuah gym demi bisa latihan gratis setiap harinya.

Bayangan wajah Riki terus terbayang, hal ini membuat Riko berusaha keras menahan kesadarannya. Namun, itu tidaklah mudah. Riko yang merasa yakin melihat Riki berada di luar pintu pun merasa sedih.

"Maafkan aku, Ki," gumamnya disela hilangnya kesadaran. Baginya jika Riki tertangkap dan terluka, itu adalah kesalahannya. Karena ide gilanya yang memaksakan saudara kembarnya dalam menjalani misi ini.

***

Kembali ke dalam virtual game

Kini tersisa enam siswa yang selamat. Mereka dalam posisi tidak sadarkan diri setelah menghirup aroma aneh yang menusuk hidung mereka. Tertidur begitu nyenyak dengan posisi tubuh terkulai di atas lantai.

Perlahan air masuk ke dalam ruang kelas. Sedikit demi sedikit hingga menenggelamkan sebahagian tubuh mereka. Air terus bertambah hingga kini benar-benar mencapai wajah mereka. Semua ruang kelas dipenuhi dengan air.

Satu per satu dari mereka tersadar dengan kondisi tubuh sudah mengambang di dalam air.

Dito yang mencoba berenang ke atas permukaan air tersadar, ada sesuatu yang mengikat kakinya hingga ia tidak bisa bergerak. Sesuatu seperti besi namun tak terlihat. Ia mencoba berenang ke arah lantai berusaha mencari sesuatu yang mengikat kakinya. Namun, tak terlihat. Dengan sigap, Dito menggerak-gerakkan tangannya mencoba menyentuh sesuatu yang mengikat kakinya.

"Dapat!"

Ternyata benda itu begitu tipis seperti benang. Namun sayang, benda itu tidak mudah diputuskan. Ia sudah berusaha keras untuk melepasnya dengan kedua tangan, namun begitu keras layaknya besi tebal.

Begitu pula Beni yang juga mulai tersadar, ia sempat kaget dan mengangakan mulut dengan lebar hingga ia nyaris menelan banyak air di dalam mulutnya. Kacamata yang Beni pakai menjadi penghalang, hingga ia memutuskan untuk membuka kacamatanya. Sama seperti Dito, ia mencoba berenang ke permukaan, namun sesuatu menahan kakinya.

Dito tidak berbicara namun ia menunjuk ke arah kakinya dan mengisyaratkan terikat dengan menyatukan kedua tangannya. Keduanya tampak bingung, sedangkan mereka mulai kesulitan menahan napas.

Jessy dan Andin masih belum tersadar. Mereka masih mengapung di dalam air. Keadaan ini membuat Dito dan Beni menjadi bingung. Sedangkan kedua temannya yang lain tak terlihat seakan menghilang.

Mata Dito melihat sekitaran, ia berharap ada benda yang bisa melepaskan kakinya. Begitu pula Beni yang berusaha mencari cela agar air bisa keluar dari ruangan.

Sesuatu terlihat, Dito teringat akan hadiah jam dinding yang memiliki batu intan sebagai hiasannya. Ia berharap batu intan itu bisa ia gunakan untuk memotong tali pengikat kakinya. Ia pun menunjuk ke arah jam dinding yang berada di belakang Beni. Ia meminta Beni mengambilkan untuknya.

Begitu pula Beni yang melihat sesuatu di atas lantai. Benda hitam yang menyerupai penutup lubang yang ada di wastafel. Dengan menggunakan isyarat tangan, Beni meminta Dito berenang ke ujung lalu mengangkat benda hitam itu. Agar semua air terbuang.

Keduanya mengangguk, begitu pula Beli yang mulai berenang menuju jam dinding. Meskipun ia tak tahu apa guna Dito menyuruhnya mengambil jam dinding itu.

Bagi Beni mengambil jam dinding bukanlah hal yang sulit. Karena kini ia sedang berenang, maka tanpa bantuan tangga dan sejenisnya ia dengan mudah mengambil jam yang ada. Namun, saat ia hendak berenang mendekati Dito jam itu terjatuh dari tangannya dan terlempar jauh.

Kejadian buruk juga terjadi pada Dito. Ia seperti kehilangan tenaga dan tak bisa mengangkat benda hitam itu. Meskipun ia mendorong dengan kedua kakinya, namun benda itu terasa begitu berat hingga tak bergerak sedikit pun. Untuk yang ketiga kalinya, Dito kembali berusaha dan perlahan benda itu mulai terangkat, namun kembali terjatuh.

Beni yang kini berusaha kembali mendekati Dito berniat membantu sudah lebih dulu kehilangan kesadaran. Tubuhnya pun mengambang bersamaan dengan tubuh Andin dan Jessy.

Melihat ketiga temannya terancam, Dito berusaha keras untuk mengangkat benda hitam itu kembali.


Load failed, please RETRY

Wöchentlicher Energiestatus

Rank -- Power- Rangliste
Stone -- Power- Stein

Stapelfreischaltung von Kapiteln

Inhaltsverzeichnis

Anzeigeoptionen

Hintergrund

Schriftart

Größe

Kapitel-Kommentare

Schreiben Sie eine Rezension Lese-Status: C8
Fehler beim Posten. Bitte versuchen Sie es erneut
  • Qualität des Schreibens
  • Veröffentlichungsstabilität
  • Geschichtenentwicklung
  • Charakter-Design
  • Welthintergrund

Die Gesamtpunktzahl 0.0

Rezension erfolgreich gepostet! Lesen Sie mehr Rezensionen
Stimmen Sie mit Powerstein ab
Rank NR.-- Macht-Rangliste
Stone -- Power-Stein
Unangemessene Inhalte melden
error Tipp

Missbrauch melden

Kommentare zu Absätzen

Einloggen