Setelah mencoba mempercayai Night, Eliana tampak mulai lebih nyaman berada di sana. Untuk pertama kalinya dia memeriksa keadaan di sekitar. Memandang takjub pemandangan malam dari negeri yang diperintahkan oleh Ayahnya itu. Eliana tersenyum senang, memandang istana tempatnya tinggal yang berdiri kokoh di pusat negeri.
"Saya sering sekali memandang bukit ini dari istana dan bertanya-tanya akan seperti apa pemandangan yang bisa terlihat dari atasnya. Saya tidak menyangka kalau akan sangat indah seperti ini. Lebih indah daripada angan-angan saya selama ini," kata gadis itu senang sambil tersenyum pada Night. Perlahan dia terlihat menaikkan salah satu tangannya ke udara, membiarkan angin yang berhembus untuk menyentuh lembut jemarinya. Ini semua benar-benar kebebasan yang diinginkannya selama ini.
"Ini adalah bukit di mana saya sering menghabiskan waktu ketika sendirian. Ketika melihat anda tadi, entah mengapa saya ingin sekali membawa anda kemari. Anda terlihat begitu terkekang sehingga itu sebabnya saya ingin anda merasakan kebebasan di tempat seperti ini."
"Ya, saya sangat menyukainya. Selama ini sebenarnya kehidupan di istana benar-benar membuatku jenuh. Bukannya saya membencinya, hanya saja saya ingin melihat dunia luar juga. Saya ingin bertemu lebih banyak orang, menikmati suasana keramaian di desa, memetik lebih banyak bunga yang tidak ada di istana, bahkan belajar berkuda – tapi mereka tidak mengizinkannya. Mereka bilang seorang putri harus selalu tinggal di istana agar terhindar dari segala jenis bahaya."
Night mendengar celotehan sang putri dengan senyuman lebar di matanya. Untuk pertama kalinya dia bertemu dengan seseorang yang memiliki cara pandang yang sama dengannya. Sejujurnya ini begitu menyenangkan.
"Asal Anda tahu kalau saya sering mendapat hukuman karena melanggar peraturan itu. Baru tadi saya harus melakukan hukuman sumpah karena melanggar. Kalau mereka tahu saya pergi lagi, Ayahanda pasti akan sangat marah," gumam Putri Eliana lagi sambil kembali melirik istana yang masih terlihat tenang-tenang saja sepeninggalannya.
"Untuk hal itu Tuan putri tak perlu khawatir. Saya sudah pastikan bahwa tidak akan ada yang menyadari kepergian Anda. Kita nanti juga bisa kembali dengan mudah tanpa harus mengendap-endap…."
"Benarkah? Terima kasih, Tuan. Anda benar-benar hebat. Saya iri sekali dengan kemampuan sihir Anda yang hebat," balas Eliana dengan senyuman riang.
Night terdiam untuk beberapa saat. Ia kini hanya menatap Eliana yang masih terus menikmati kebebasan yang dia rasakan. Hati yang sedih ini akhirnya bisa terasa hangat karena kehadirannya, sejenak melupakan duka yang tadi dirasakan.
"Astaga, maafkan saya." Eliana sedikit tak enak padanya. "Padahal Anda sedang sedih. Tapi bisa-bisanya saya malah tertawa seperti ini. Maafkan saya karena tidak peka."
Night tersenyum kecil sambil menggeleng. "Tidak apa-apa. Justru saya senang dengan kehadiran Anda. Sejenak bisa membuat saya melupakan kesedihan ini. Sebenarnya tadi setelah ditinggal beliau saya sempat kebingungan hendak kemana. Anda tiba-tiba terpikirkan begitu saja sehingga itu sebabnya saya menemui Anda dan membawa Anda ke tempat ini."
Eliana bergerak mendekati Night. Duduk di sampingnya. "Kalau boleh tahu… apa yang terjadi? Kenapa beliau meninggal?" Dia bertanya dengan berhati-hati.
"Beliau pergi karena sakit. Sebenarnya sejak ditinggal mendiang Ibunda sekitar dua bulan yang lalu, kondisi beliau memang terus menurun."
"Jadi Anda juga baru saja kehilangan Ibunda Anda juga? Astaga, itu pasti adalah hal yang berat." Eliana tampak memandang prihatin. "Saya harap Anda tegar menghadapinya, Tuan. Walaupun berat… tapi saya harap Anda bisa tetap melanjutkan hidup."
Night kembali tersenyum dan mengangguk. "Saya pasti akan melanjutkan hidup. Ini memang berat, namun saya akan menjalankan harapan mereka berdua untuk tidak pernah menyerah dengan kehidupan ini. Untuk terus melakukan yang terbaik, serta berguna bagi kaum kami."
"Baguslah kalau begitu. Selalu semangat ya, Tuan. Anda pasti bisa."
Sepasang anak muda yang berasal dari asal berbeda itu tampak berbeda itu tampak kembali bertatapan. Saling tersenyum. Merasakan sejenis rasa nyaman dan senang karena saling memiliki satu sama lain.
"Jadi… mulai sekarang apa Saya boleh sering-sering menemui Anda bukan, Tuan Putri? Apa Anda keberatan?"
Setelah beberapa saat sang vampir bertanya lagi. Dengan berhati-hati memandang anak manusia itu.
"Tentu saja. Dengan senang hati…." kata Eliana berterus terang. Kedua matanya tampak berbinar, sehingga membuat Night juga merasakan senang. "Tapi, bolehkah saya menanyakan sesuatu pada anda, Tuan?"
Sang pangeran langsung memberikan perhatian penuh padanya. "Apa itu?"
"Kalau boleh tahu, siapa nama Anda?" tanyanya kemudian.
Night bangkit dari tempat duduknya. Menghadap sang putri, lalu berlutut di bawah kakinya. Mahluk itu kemudian mengulurkan tangannya pada si anak manusia.
"Panggil saya Night, Tuan Putri…."
"Night? Wah… nama yang begitu indah," gumam Eliana dengan nada polos. Dengan senyuman lebar dia menerima jabatan tangan dari sang vampir. "Namaku Eliana. Putri Eliana."
"Nama yang begitu cantik. Sama seperti pemiliknya."
Kedua orang itu saling tersenyum. Benar-benar mendapatkan kebahagiaan mereka sendiri saat tengah bersama. Melupakan segala jenis tekanan dan masalah yang mereka dapatkan di luar sana.
Di sisi lain, wajah Honey tampak memerah menyaksikan momen kebersamaan itu. Sulit dikatakan, namun entah mengapa dia mendadak merasa canggung melihat gadis yang berwajah persis dengan dirinya itu kini tersenyum malu-malu pada sosok Night di masa lalu. Rasanya aneh saja, seakan dirinya sendiri yang mengalaminya.
Sang raja terlihat juga tidak terlalu nyaman dengan apa yang dilihatnya. Diam-diam ia melirik Honey, namun secepatnya ia langsung memalingkan wajahnya lagi ketika pandangan mereka bertemu. Merasa sedikit malu.
Sementara Larry tampak senyum-senyum sendiri memandangi keduanya. Sepertinya ia satu-satunya yang menikmati suasana penuh kecanggungan ini.
***
Puas bersenang-senang, Night kembali membawa Eliana pulang. Dalam sekejap mata membawa sang putri pindah tempat dengan selamat. Dari bukit kembali ke kamarnya.
"Astaga, aku benar-benar tak bisa mempercayai ini. Bagaimana mungkin ini terjadi." Eliana berbisik takjub. Takut didengar oleh penjaga yang masih mengawal di depan pintu. "Terima kasih ya, Tuan. Ini semua berkat Anda. Saya tak akan mungkin mengalami hal yang mengagumkan ini kalau bukan karena Anda."
"Saya yang harusnya berterima kasih, Tuan Putri. Terima kasih telah menghibur saya hari ini. Berkat Anda, kesedihan di dada ini akhirnya bisa lebih ringan."
Kedua orang itu kembali saling berbagi senyuman. Sejenak wajah sama-sama merona. Tampak malu-malu.
"Baiklah. Sekarang saya harus pergi. Beristirahatlah, Tuan Putri. Semoga malam ini Anda bermimpi indah."
"T-Tunggu." Eliana menahan mahluk itu ketika hendak pergi. Menatapnya dengan ragu. "T-Tapi Anda… akan kembali kan, Tuan? Kita bisa bertemu lagi, bukan?"
"Selama Anda menghendaki saya akan mengunjungi Anda setiap harinya, Tuan Putri."
"S-Setiap hari." Eliana tampak sangat senang mendengarnya. "T-Tentu. Saya tak keberatan sama sekali. Saya malah senang kalau Anda melakukan itu. Karena saya menikmati waktu bersama Anda."
Lagi-lagi keduanya saling tersenyum senang. Sangat bahagia dengan momen ini.
"Kalau begitu sampai jumpa besok, Tuan Putri."
"Ya, Tuan. Sampai jumpa besok."
Maka dimulai dari hari itu. Mereka terus menghabiskan waktu-waktu terbaik. Hal yang kemudian menjadi awal tumbuhnya sebuah perasaan yang disebut terlarang.
***