Rindi mengemasi barang-barang miliknya. Tidak lupa dia mengecek tas yang berisi berkas-berkas miliknya yang tidak boleh tertinggal. Setelah berjuang sekian tahun untuk ikut ujian topik dan tes bea siswa. Akhirnya Rindiani yang biasa di panggil Rindi itu, bisa kuliah di salah satu universitas yang dia incar di Korea Selatan.
Setelah memastikan semua barang yang dia bawa tidak tertinggal, Rindi menutup koper ukuran sedang miliknya hati-hati. Rindi meletakkan koper itu di pojokan kamar samping pintu. Rindi kemudian merebahkan dirinya di atas ranjang pelan.
Dengan di antar bibi dan pamannya, Rindi bertolak dari bandahara Soekarno hatta menuju bandara internasional Incheon.
Setelah duduk di dalam pesawat kurang lebih 16jam, akhirnya pesawat Rindi pun landing di Incheon. Rindi yang begitu antusias, sampai melupakan baju tebal miliknya masih di dalam koper. Dengan cepat Rindi berdiri dan mencoba meraih pintu tempat bagasi di atas tempat duduknya. Tubuhnya yang tidak tinggi membuat Rindi kesusahan. Sebuah tangan seputih susu membanti Rindi membuka bagasi dan mengeluarkan koper Rindi.
"Berhati-hatilah nona, atau nanti Kau bisa terluka," ujar laki-laki itu kemudian berlalu pergi mengikuti orang-orang yang sudah berlalu keluar dari pesawat.
Rindi yang bahkan tidak bisa melihat wajah laki-laki iti dengan jelas, mengedip-ngedipkan matanya mencoba mengartikan apa yang laki-laki itu tadi katakan. Bahasa yang berbeda membuat Rindi masih sedikit atau bahkan banyak bingung.
"Aku baik-baik saja tante, besok Aku sudah mulai kuliah. Iya tante tenang saja, Aku tidak akan pernah lupa kewajibanku."
"Baiklah Aku tutup telponnya, besok Aku telpon tante lagi. Assalamualaikum."
Rindi kemudian menekan tombol merah dan meletakkan ponselnya pelan di atas ranjang. Rindi kemudian memandang keluar jendela kamar asramanya. Rindi seorang yatim piatu, mimpinya menjadi seorang penerjemah begitu mewah baginya. Dia harus merelakan 1tahun untuk bisa mendapatkan biaya kuliahnya. Beruntung dia mendapatkan bea siswa. Belum lagi dia mendapatkan gratis asrama untuk tinggal, karena mendapatkan nilai tertinggi saat tes.
Rindi belum terbiasa suasana di Seoul, jam 7 malam di sini masih seperti jam 5 sore di Jakarta. Rindi melihat jalanan di bawah asrama miliknya. Rindi kemudian tersenyum dan menguatkan hatinya sendiri.
"Kamu hanya butuh adaptasi dan menguatkan hatimu, Rin," Ujar Rindi bermonolog.
Rindi akhirnya memutuskan untuk merapikan barang-barangnya saja untuk mengulur waktu, setelah menata barang-barang bawaannya Rindi kemudian memasak makanan untuk makan malam.
Melewati sehari saja di tempat yang asing bagi Rindi bukan hal yang mudah, dia bahkan sampai tidak bisa tidur hingga pagi menjelang.
***
Stefano Chan baru saja memasuki studio pribadi miliknya, di dalam sudah ada beberapa temannya se grup dulu. Ada yang sedang bermain-main, ada juga yang sedang sibuk menulis lirik lagu.
"Oh,,,Kau sudah datang Hyung?" tanya Jason Kim teman sekaligus personil di grup Stefano yang termuda dulu. Stefano yang memang irit bicara hanya menganggukkan kepalanya mengiyakan, dia kemudian duduk di sofa sebelah Jay Aaron yang biasa di panggil Jay. Dia melirik kertas yang Jay pegang, di situ tertulis nama kekasih Jay tapi tidak di sandingkan dengan nama Jay. Stefano menatap Jay dengan wajah khawatir.
"Gwaenchnh-a?" -Baik-baik saja?- tanya Stefano to the point.
"An gwaenchanh-a," -Tidak baik-baik saja- singkat Jay menjawab pertanyaan Stefano.
Stefano terdengar menghela napas kemudian menepuk pundak Jay pelan.
"Sudahlah, Jay Hyung. Kau bisa mencari yang jauh lebih baik dari Hiejin," timpal Stefano lagi.
"Eo,,,majda! Aku tampan dan pasti banyak yang mau padaku," -Benar!- sahut Jay lagi menyenangkan hatinya sendiri.
Stefano tidak jadi merasa iba pada Hyung tertua itu, sifat narsisnya sedari dulu tidak pernah berubah walaupun dia sudah setua ini. Oh mungkin tidak, dia dan Jay hanya berbeda beberapa bulan saja kalau di hitung.
Setelah mereka semua menghabiskan waktu dengan banyak hal di studio Stefano, malam yang semakin larut membuat satu persatu dari mereka pergi pulang. Menyisakan Stefano yang sedang asyik mengedit lagu barunya untuk Jason yang bersolo karir. Setelah merasa sudah melewati batasannya, Stefano akhirnya mematikan komputernya dan berjalan menuju sofa. Hidupnya hampir 1x24 jam memang di dalam studio, terlebih lagi sekarang dia tidak perlu tur kemana-kemana dan hanya membuat musik dan lagu yang dia suka.
Napas Stefano tidak beraturan, napasnya putus-putus dan keringat dingin membanjiri keningnya sekarang. Dia merasa lehernya tercekik sekarang, susah payah Stefano mencoba membuka matanya sekarang.
"Aku benci gelap, lepaskan aku dari gelap ini," umpat Stefano dalam hati.
Setelah berhasil membuka mata benar saja lampu studio mati, sepertinya ada pemadaman listrik. Stefano merogoh saku celananya dengan kesusahan, dia benar-benar dalam kondisi yang tidak baik-baik saja sekarang. Stefano berhasil menemukan ponselnya dan segera menghidupkan lampu flash ponsel miliknya. Akhirnya Stefano bisa bernapas dengan lega setelah ada cahaya yang bisa menerangi studionya sekarang.
Bersamaan dengan itu pintu studio terbuka dengan keras, dan menampilkan sosok Jay yang napasnya juga putus-putus sekarang. Stefano mengerutkan keningnya menatap Jay, sedangkan Jay lalu berlari dan menubruk Stefano yang masih dalam posisi berbaring.
"Kau tidak apa-apa kan?" nada bicara Jay terdengar sangat khawatir.
Stefano hanya bisa mengangguk dan menunjuk ponselnya yang sebagai penerangan. Jay bisa bernapas dengan lega dan mengusap rambut Stefano sekarang.
Stefano yang terlihat baik-baik saja, sebenarnya tidak sedang baik-baik saja. Sejak 7 tahun lalu dia tersesat di sebuah tempat asing saat tur. Stefano jadi takut pada kegelapan, karena saat itu dia harus melihat orang lain meninggal karena menyelamatkan dirinya. Stefano yang melihat dengan mata kepalanya sendiri saat orang itu terjatuh ke jurang hanya supaya Stefano bisa naik keatas tidak bisa berlama-lama dalam kegelapan. Gelapnya ruangan membuat Stefano teringat akan jurang dan kematian orang asing yang tidak Stefano kenal itu.
***
Rindi baru saja akan keluar asrama sudah seminggu ini dia memulai kegiatan perkuliahan. Lelah sudah pasti karena ternyata kuliah di Korea tidak segampang di Indonesia. Disini Rindi harus benar-benar banyak belajar, terlebih lagi jurusan yang dia ambil bukan jurusan yang mudah.
Bukan hanya itu perbedaan budaya dan cuaca juga menjadi penghambat Rindi untuk beradaptasi. Rindi dengan membulatkan tekatnya terus menguatkan hatinya supaya tidak banting setir pulang lagi ke Indonesia.
Rindi mengambil jurusan penerjemah bahasa dan hari ini dia akan mengadakan kunjungan ke gedung salah satu agensi terkenal di Korean Selatan. Rindi yang berambut panjang menguncir rambutnya seperti ekor kuda. Rindi kemudian memandang dirinya sendiri di pantulan kaca. Dia kemudian tersenyum puas melihat penampilannya sendiri di kaca. Rindi kemudian menggendong backpacknya dan meninggalkan asrama dengan langkah kaki riang.
Rindi duduk didalam bis sembari membaca beberapa catatan yang dia buat, Kim Nana satu-satunya teman yang Rindi kenal sedang asyik mendengarkan musik sambil menggerakkan badannya random. Rindi tertawa kecil melihat kelakuan temannya itu. Nana kemudian menempelkan satu headset miliknya di telinga Rindi.
"Dengerin lagunya maka moodmu akan membaik sampai malam," ujar Nana.
Rindi memandang sekilas pada Nana kemudian mengerutkan keningnya, dia pernah mendengar lagu ini di Indonesia. Dia yang bukan penikmat lagu Kpop sangat hapal dengan lagu ini.
"Punya Agust D? Sekarang sudah pensiun kan?" tanya Rindi.
Nana menutup mulutnya karena terkejut, dia pikir orang seperti Rindi tidak akan mengenal lagu Agust D yang hip hop ini. Jempol Nana kemudian teracung keduanya di depan Rindi, dia benar-benar takjup Rindi mengenali lagu Agust D. Rindi sendiri tersenyum kecil kemudian ikut menikmati lagu Agust D sembari membaca catatannya.
Setelah hampir satu jam di dalam bis, Rindi dan rombongan satu jurusannya akhirnya sampai di salah satu agensi terbesar di Korea Selatan. Di atas gedung bertengger huruf B sangat besar, Rindi sendiri sampai takjub dan seperti mimpi sampai di tempat ini. Tangan Rindi kemudian di gandeng Nana paksa, mereka berjalan sedikit cepat memasuki gedung mewah itu.
Setelah melakukan touring mengelilingi gedung sebagai pengenalan, Rindi sekarang terpaksa mengelilingi gedung mencari toilet. Dia celingukan dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Kenapa tadi Aku gak ajak Nana aja sih," gerutu Rindi yang sudah benar-benar ingin ke kamar mandi.
Rindi kemudian melihat satu ruangan yang lampunya menyala sangat terang, tanpa ragu Rindi membuka kenop pintu dan terpampang pemandangan laki-laki tanpa menggunakan kaos di hadapannya sekarang. Bukannya menutup mata atau semacamnya Rindi justru membuka lebar bibirnya karena terkejut, laki-laki itu juga hanya terdiam di tempat dengan masih memegang kaos yang akan dia kenakan.
***