"Heh! Kamu ke mana aja dari tadi?" tanya Arif dengan berkacak pinggang.
Pria paruh baya itu melihat kedatangan Dika ke rumah, setelah cukup lama jalan ke luar. Tatapan mata yang tajam tak henti Arif layangkan padanya. Arif juga melihat penampilan Dika yang cukup rapi disertai dengan memakai masker.
"Jawab! Tadi kamu ke mana aja?" Arif meninggikan suaranya lagi karena tak kunjung mendapatkan jawaban dari Dika.
"Tadi aku ke luar sebentar doang, Yah. Ini aku sudah pulang, kan?" Dika juga menatap tajam ke arah sang Ayah.
Tak ingin berlama-lama menggubris Arif, Dika langsung menaiki anak tangga dan menuju ke kamarnya sendiri. Pria itu juga merasa bosan berada di rumah terus dan berhadapan dengan ayahnya sendiri. Sebelum masuk ke dalam kamarnya yang bersebelahan dengan kamar Rani, Dika masuk ke sana terlebih dahulu.
Gagang pintu dibuka dengan perlahan. Dika melihat Rani tengah berbaring di atas tempat tidur sambil tertutup syal di leher. Ia melangkah ke sisi ranjang.
"Bu ...," panggil Dika.
"Kamu dari mana aja, Dik? Ayah kamu nyariin terus dari tadi."
"Aku tadi cuma ke luar sebentar kok, Bu."
"Ya sudah. Mau gak pijitin kaki Ibu?" tanya Rani yang meminta untuk dipijit kakinya.
"Iya, Bu." Dika perlahan-lahan memijit kedua kaki sang Ibu secara bergantian.
Wanita paruh baya itu sedikit mengulas senyum tipis di wajah. Melihat hal itu, Dika semakin merasa bersalah karena sudah dekat dengan Leony tanpa sepengetahuan Rani. Sang Ibu tak menyukai Leony sejak pertama kali datang ke sini.
"Sudah, Nak, cukup. Kamu ke kamar aja sana kalau mau istirahat," ujar Rani.
"Baik, Bu." Dika mengangguk pelan sambil melangkah ke luar kamar.
Di depan pintu kamar Rani, sudah ada Arif yang menunggunya sedari tadi. Sang Ayah rupanya ingin bicara serius dengannya. Alhasil, Dika menurut dan turun ke bawah tangga menuju ke ruang tamu.
Ayah dan anak itu tak saling bicara. Mereka berdua akhirnya sudah sampai di ruang tamu. Dika duduk terlebih dahulu dan disusul oleh Arif.
"Ayah ingin bicara sama kamu."
"Bicara aja," jawab Dika dengan santai dan tak memandang wajah sang Ayah.
"Akhir-akhir ini kamu sering ke luar terus. Biasanya enggak. Apa kamu sudah mulai kencan dengan seorang wanita?"
Biar bagaimanapun, Arif adalah ayah bagi Dika. Pria itu ingin memberi perhatian pada anak semata wayangnya. Terlebih masalah jodoh, Arif harus turun tangan dan memilihkan yang terbaik untuk masa depannya kelak.
"Ya, seperti itulah, Yah."
Arif pun menepuk pundak Dika berkali-kali. "Perkenalkan sama Ayah kalau kamu sedang dekat dengan seseorang. Kalau kamu cocok, bawa dia ke pelaminan. Jangan sampai digait sama orang lain."
Dika tersenyum kecut. Ayahnya tak tahu, kalau wanita incarannya adalah Leony. Lantas, ia hanya mengangguk kecil tanpa ingin bicara panjang lebar.
"Aku kira Ayah bakalan marah besar karena akhir-akhir ini aku ke luar rumah."
"Kamu pun perlu refreshing, Nak. Supaya gak di rumah terus ngurusin Ibu kamu yang penyakitan itu! Ayah yakin, kamu pasti bosan juga ngurusin Rani."
"Ayah cukup! Gak usah bawa-bawa Ibu lagi." Dika meninggikan suaranya karena tak suka kalau Rani kembali diungkit-ungkit.
Arif sengaja tak mempekerjakan seorang pembantu di rumah ini dan membiarkan Rani mengurus pekerjaan rumah sedikit demi sedikit. Pria itu bahkan menginginkan istrinya meninggal dan ia bisa menikah lagi dengan Leony. Arif menunggu saat itu tiba. Namun, Dika tak akan membiarkan hal itu terjadi.
"Ayah sudah bosan sama Ibu kamu. Gak ada gairahnya sama sekali. Gimana Ayah mau betah tinggal di rumah, Dik? Mending Ayah kelayapan di luar dan menemui Leony di sana."
Tekad Arif tetap bulat, bahwa dirinya ingin menikahi Leony secepatnya. Dika dan Rani setuju atau tidak, ia akan tetap melancarkan niatnya. Pria itu berkacak pinggang dan tertawa lebar.
Dika merasa tak senang hati kala nama Leony disebut oleh sang Ayah. Sebegitu inginnya Arif menikahi wanita itu, padahal Dika sudah mulai menaruh perasaan yang lebih padanya. Ia pun tak akan menyerah untuk bisa mendapatkan hati Leony sepenuhnya.
'Leony bahkan gak mau sama Ayah. Ayah gak sadar diri ternyata.'
"Terserah Ayah aja! Aku gak ada urusannya sama itu semua. Toh, palingan Leony-nya masih gak mau nikah sama Ayah." Dika menampilkan senyum menyeringai pada Arif.
"Semua wanita itu pasti mau sama pria yang ada duitnya." Arif menjentikkan jari-jarinya sembari memperagakan saat mendapatkan segepok uang.
Dika mengibas-ngibaskan tangannya. Ia tahu, semua orang juga mau dengan yang namanya uang, tapi Leony juga punya akal untuk bisa menerima pria yang sudah paruh baya seperti ayahnya sendiri. Leony juga sering berkata bahwa tidak akan pernah mau dengan Arif.
Terpenting sekarang Dika harus bisa mengeluarkan Leony dari tempat prostitusi itu bagaimanapun caranya. Ia akan membawa wanita itu pergi bersamanya dan jauh dari jangkauan orang-orang jahat.
***
Brak!
Pintu kamar Leony dibuka kasar oleh Mira. Leony yang tengah berpakaian seksi dan mematut diri di depan cermin tampak menoleh padanya. Wanita berusia dewasa serta berdandan menor itu berjalan mendekat.
"Hei, ada mangsa baru tuh! Beri dia pelayanan yang bagus, ya. Jangan buat kecewa pelanggan," ucap Mira seraya memberi komando.
Leony hanya diam saja. Tiba-tiba ia teringat dengan perkataan Dika tadi. Dika tak suka kalau dirinya melayani pria-pria hidung belang lagi.
"Kok jadi bengong sih! Awas aja ya kalau kamu mikir yang macam-macam." Mira menunjuk-nunjuk ke arah wajah Leony.
"Iya, Mi."
Setelah puas mendengar jawaban Leony, maka Mira pun segera ke luar dari kamar bernuansa remang-remang ini. Ucapan Dika tadi bagaikan sebuah sihir yang membuatnya tak langsung mengiyakan ucapan Mira.
"Kok jadi kepikiran Dika, ya?"
Tak berselang lama, datanglah Mira kembali lagi ke dalam kamar, tetapi bersama dengan pria lain. Leony pun bangkit dari duduk.
"Nah, ini tamunya, Ony. Layani dia, ya." Mira memberi perintah kepada Leony, anak kesayangannya di sini.
Entah kenapa, Leony jadi gugup sendiri, tak seperti biasanya. Mira lekas ke luar lagi dan membiarkannya bersama dengan pria dewasa ini. Pria itu menjulurkan sebelah tangan seraya ingin mengajak berkenalan. Namun, Leony tak serta merta mau diajak kenalan.
Tangan pria itu kosong, tak menggenggam apa pun. Tak mendapat balasan uluran tangan dari Leony, membuatnya mengembuskan napas panjang.
"Kamu ini sok jual mahal, ya. Padahal cantik loh," ucapnya sambil memuji Leony.
"Ma–makasih."
Pria itu melangkah mendekatinya. Leony pun melangkah mundur ke belakang, hingga dirinya kepentok sisi ranjang dan terduduk di tempat tidur. Pandangan keduanya saling tajam menatap.
'Ya Tuhan, aku gak mau melayani para pria lagi.'