Gabriel POV
_________________________________________
Aku sepertinya habis tertidur panjang, saat mataku perlahan kubuka, hal yang pertama tampak dari penglihatanku yang masih sayu adalah langit-langit kamar, Aku tidak tahu Aku ada dimana, tapi pelan pelan kuedarkan pandanganku, Aku menemukan selang Infus yang terpasang.
Aku berusaha mengingat apa yang terjadi padaku, kenapa Aku bisa terbaring dirumah sakit, kepalaku rasanya sakit sekali, tapi Aku masih memaksa untuk berpikir, bagaimana Aku bisa disini dan apa yang terjadi.
Sekelebat bayangan-bayangan menyakitkan kembali hadir, Aku ingat saat itu Aku mengendarai mobil, namun Aku kehilangan sedikit kendali, Aku sudah berusaha menginjak Rem, namun Remku Blong, kemudian Aku menabrak pembatas jalan dan mobilku terlempar kedalam danau, setelah itu sepertinya Aku pingsan.
Tapi tak berselang lama Aku terbangun, posisi air masih belum masuk sepenuhnya didalam mobilku, namin perlahan lahan air memasuki mobilku lebih tinggi, Aku berusaha melepaskan diri namun seatbeltku terkunci, Aku meronta dan berusaha melepas seatbeltku, tapi tetap tidak bisa, hingga akhirnya air yang masuk kedalam mobilku semakin penuh, tubuhku tenggelam, terkurung didalam mobil yang terisi air, beruntung Aku lahir di kota yang memiliki banyak aliran air sungai, jadi Aku terbiasa menyelam didasar air sungai.
Tapi ini berbeda, tidak seperti saat Aku menyelam di sungai, saat itu yang kurasakan adalah pengap, dadaku sesak, kesulitan bernafas, hingga sedikit air terminum olehku, tapi Aku tetap berusaha meronta dari ikatan seatbelt yang membelenggu tubuhku, Aku cukup beruntung akhirnya seatbelt berhasil kulepas.
Aku berusaha menendang kaca dengan sekuat tenaga, tapi dengan posisi tubuh melayang oleh air, Aku kesulitan, ditambah lagi nafasku tercekat dan juga sedikit gelap, cahaya matahari tak begitu masuk kedasar danau, Aku memaksa tubuhku untuk tetap sadar, walau Aku kembali menegak air, Aku berusaha menarik sandaran kepala di bangku kemudi yang samar samar kulihat, setelah lepas, Aku berusaha menusuknya ke sisi kaca jendela, sehingga membuat kaca jendela mobilku pecah.
Aku berusaha berenang keluar melalui kaca, lagi lagi air masuk sedikit melalui hidungku yang tak kuat lagi bernafas, Aku berusaha menggapai permukaan, namun rasanya Aku tak juga sampai, padahal sudah terlihat cahaya diatasku, nafasku habis, Aku sudah tidak mampu lagi menahannya lebih lama, hingga mulutku kembali menegak air, Aku sudah tidak sanggup berenang ke permukaan sekalipun kupaksakan.
Tapi Aku masih merasakan tanganku dingin terkena hembusan angin dan juga sedikit panas karena terik matahari, namun Aku sudah tidak bisa menahan lagi, Aku sudah diambang batas, tubuhku kembali melayang pelan turun ke dasar, namun dalam samar Aku merasakan ada tubuh yang berenang menghampiriku dan menarik tanganku, setelah itu Aku tak ingat apa-apalagi.
Aku pikir yang menarikku adalah malaikat maut, Aku pikir diriku sudah mati, tapi ternyata Aku masih diberi keajaiban untuk tetap hidup.
Aku kembali mengingat sebelum kejadian itu, Aku pulang dari Apartement Ibrahim, Aku menampar dan menendang Ibrahim, dan Aku bertemu Rasty di Apartement Ibrahim.
"Aku hamil, karena dia, riel"
Arghh, kata kata Rasty langsung terlintas di otakku, kepalaku sakit, Aku mencoba menggerakkan tanganku, tak sengaja menyentuh rambut seseorang, Aku berusaha menggerakkan kepalaku melirik orang yang kusentuh rambutnya.
Kenapa dia ada disini? Aku kenal betul sosok ini, bahkan hanya dari rambutnya saja Aku sudah tahu, Dia Ibrahim, Pria yang melukaiku saat kejadian itu.
Aku ingin berteriak tapi tidak bisa, Dadaku sesak, paru-paruku sakit sekali, tapi pelan pelan tanganku kugerakkan lagi, Aku bukanlah Gabriel yang lemah, Aku tidak mau mati hanya karena dilukai cinta, Aku harus kuat, Aku harus bangkit, akhirnya tanganku bisa digerakkan, dan berhasil menyenggol kepala Ibrahim lebih kencang.
Pria itu menggeliat, Ia terbangun dari tidurnya, kenapa Dia tampak lebih kurus dari sebelumnya? kenapa matanya sayu? kenapa lingkar panda di matanya semakin jelas terlihat? sudah berapa lama sebenarnya Aku berbaring disini? sehingga Aku seperti bertemu dunia baru, apakah Aku berada di neraka? apakah ini malaikat maut yang menyerupai wajah Ibrahim? banyak sekali pertanyaan yang berkelebat di pikiranku.
"Riel kkk--kamu udah sadar?" ujarnya berseru, Pria yang menyakitiku ini menangis, Aku ingin mengusirnya, Aku tidak mau dia ada disini, dia Pria jahat yang melukai perasaanku, namun lidahku masih kelu, susah untuk berucap.
Ia memencet tombol berwarna merah yang ada diatasku, Ia tampak begitu panik, mataku hanya bisa memandangnya, Ia sudah tak segagah dulu, apa yang dilakukannya hingga badannya kurus dan layu seperti itu, tapi tetap saja perasaanku masih ingin mengatakan Ia adalah kekasihku, namun hatiku menolak karena bayangan bayangan di apartemen hadir semakin nyata didalam pikiranku.
Aku masih bisa melihat Dokter menghampiriku, ada Mama dan Papa juga yang menangis, kenapa orang tuaku bisa ada disini? apa iya handphoneku masih menyala setelah ikut tenggelam di dasar danau, Aku juga masih ingat, kalau Aku tidak merevisi data pribadi di perusahaanku, nomor orang tuaku yang tercantum seharusnya sudah tidak aktif lagi, lalu bagaimana caranya mereka tahu Aku ada di rumah sakit? akh memaksa ingin tahu membuat tubuhku sakit.
Tubuhku mengejang, entah kenapa nadiku seperti mengeras, rasanya sakit sekali, tapi Aku masih mendengar dokter itu meminta Ibrahim dan Kedua Orang Tuaku untuk meninggalkan ruangan, aku juga masih bisa mendengar dokter meminta jarum suntik ke perawat yang ada disampingnya, setelah itu mataku terpejam lagi dan tak mengingat apapun setelahnya.
* * *
Mataku terbuka lagi, tapi kali ini lebih tenang, Aku ingat, terakhir tubuhku mengejang dikasur yang sama, sekarang pendengaranku lebih jelas dibanding sebelumnya, Aku masih mendengar suara Mama dan Papa yang berucap syukur, Aku juga mendengar tangis dari kedua orang tuaku.
Leherku juga sudah lebih nyaman untuk digerakkan, tanganku juga sudah sedikit mampu kukepalkan, suaraku, syukurlah suaraku kembali walau sedikit parau saat menyebut Mama, dan kepalaku, kepalaku masih sakit, padahal tidak ada perban.
"ma, pa" ujarku lirih, entah mereka mendengar atau tidak, tapi telingaku bisa menangkap suaraku sendiri.
"iya sayang, mama disini, papa disini juga" Mama berbicara sambil menangis, Ia menggengam tanganku tak begitu keras, rasanya sangat nyaman.
Aku memaksa tubuhku untuk bergerak, sedikit kaku tapi tetap kucoba, Aku ingin membuktikan jika Aku bukanlah Gabriel yang lemah, perlahan-lahan dibantu Mama dan Papa, Aku bisa bangkit dan menyandarkan punggungku di sisi ranjang dengan dialas bantal oleh Papa, "pelan-pelan sayang jangan dipaksakan" ujar Papaku penuh perhatian.
Aku melepas alat yang menutupi mulut dan hidungku, Aku juga masih ingat sebelumnya bukan Alat ini yang terpakai di mulutku, melainkan ada sesuatu yang menusuk bagian mulutku, rasanya sesak sekali saat memakainya, dan lega yang kurasakan saat alat itu terlepas dari mulutku, bibirku kelu, seperti bekas ditusuk sesuatu yang menempel sangat lama, entahlah Aku tidak tau nama-nama alat kedokteran.
"Puji tuhan kamu sudah sadar sayang, terima kasih tuhan, terima kasih bapa" Mama mengucapkan rasa syukur, Ia berusaha menghentikan tangis yang membuat matanya sembab.
"ma, pa" ujarku lagi, Aku masih belum bisa menggerakkan mulutku terlalu lebar, suaraku masih parau, tenggorokanku rasanya kering, namun tanpa diberitahu, Papa mengambilkan Air minum di meja, Aku berusaha meneguk air hingga habis, tapi dadaku sesak saat menelannya, dan juga lidahku pahit terkena air, padahal jelas sekali kulihat itu adalah air tawar.
"pah, panggilin dokter" perintah mama, papa mengangguk dan memencet kembali tombol merah yang menggantung didekat selang infus.
"kamu jangan maksa ngomong dulu, kamu belum sehat nian" Ujar mama dengan logat palembangnya.
Aku tersenyum, Aku tidak tahan jika hanya diam saja, Aku ingin mengobrol walaupun suaraku parau, "dak apo-apo ma, Gabriel sudah mendingan" Jawabku namun sedikit kurang jelas karena Aku masih kaku untuk membuka mulutku lebih lebar saat berbicara.
Tak lama Dokter masuk ke kamarku, "syukurlah, Pak Gabriel sudah sadar, maaf pak, boleh berbaring lagi saja" perintah Dokter laki-laki yang kulihat nametagnya bertuliskan Ronald.
Aku menggeleng, karena posisi setengah tidur begini lebih nyaman bagiku, rasanya aliran darahku lebih bisa mengalir lebih normal.
"Baiklah pak jika bapak lebih nyaman dengan seperti ini, saya lakukan pemeriksaan sebentar ya pak" Ujar Dokter Ronald meminta Ijin, Aku mengangguk.
Dokter Ronald menyingkap bajuku, ada bekas jahitan didadaku walaupun bentuknya samar, ternyata Aku habis menjalani operasi.
"coba pak, pelan-pelan, tarik nafas, lalu buang" Dokter Ronald mengatakan itu berkali-kali dengan menempelkan benda didadaku yang terhubung di telinganya, Dia seperti orang yang sedang mendengarkan lagu, Aku mengikuti sarannya, lama kelamaan nafasku seperti kembali ke sedia kala, Aku seperti hidup lagi setelah mati.
"Puji tuhan, untuk keadaan jantung sudah mulai normal, tapi Pak Gabriel masih perlu dilakukan perawatan intensif, jadi sampai waktu ditentukan Pak Gabriel jangan melakukan pergerakan yang lebih ya pak, jika butuh apa apa, panggil pihak Rumah sakit saja" Ujar Dokter Ronald lagi.
"terima kasih Dok" jawab Papaku.
"saya kenapa ya dok?" Tanyaku penasaran, tubuhku benar benar sedikit membaik berkat suntikan Dokter tadi, tapi kuperhatikan lenganku sedikit menyusut.
"mungkin ada baiknya nanti orang tua pak Gabriel saja yang menceritakan" Jawab Ronald dengan ramah, "kalau begitu saya permisi pak" ujarnya lagi yang kubalas anggukan.
Aku bertanya ke Mama setelah Dokter Ronald pergi meninggalkan kami,"Ayil kenapa ma?" Tanyaku menyebut nama kecilku, memang sudah kebiasaan di kota kelahiranku jika aku dipanggil dengan nama manja yaitu Ayil.
"Ayil abis kecelakaan sayang" jawab Mama, tapi maksudku bukan itu yang ingin kuketahui.
Masih dengan tenaga yang belum sepenuhnya pulih, Aku bertanya lagi,"maksud Ayil, Apa Ayil pingsan?"
Mama dan Papa berpandangan, tidak menjawab pertanyaanku, mereka seperti menutup nutupi, Aku membaca dari guratan wajah mereka.
"kok gak dijawab ma" ujarku melihat mereka yang hanya diam.
"udah sayang, ayil gak usah ngomong dulu, nanti aja ya kalo udah bener bener pulih, mama bakal ceritain"
"Ayil maunya sekarang, beneran gak apa apa kok" Ujarku memaksa.
Mama menghirup nafas dalam, lalu menghembuskannya cukup kencang, Ia memandangi Papa, Papa akhirnya mengangguk, "kamu koma sayang" ucap mama menangis lagi.
Aku berusaha untuk tetap tenang, seperti yang kukatakan, Aku bukanlah Gabriel yang lemah, Aku harus kuat.
"ooh, berapa lama?" Tanyaku dengan santai, Aku penasaran karena sepertinya Aku habis tidur panjang.
"masuk--bulan--ke--" Mama seperti berat mengatakan, tapi Aku sudah siap, Aku hanya ingin tahu, Mama memandangi Papa lagi, dan Papa mengangguk seperti sebelumnya, "7 sayang" Jawab mama akhirnya.
Aku tersenyum getir, berusaha untuk tidak terkejut, selama itu Aku Koma, benar benar sebuah keajaiban Aku bisa hidup lagi, Aku pikir sudah mati.
"lama juga ya" Jawabku berusaha terlihat santai, agar mama menghentikan tangisnya.
"Ayil yang sabar ya sayang" ujar mama mencium keningku, Aku menjawabnya dengan anggukan.
Pintu ruanganku terbuka, membuat mataku melotot tajam kearah tubuh yang muncul dari balik pintu, Aku menatapnya nanar, Aku ingin berteriak mengusirnya, namun kutahan, karena Aku tidak mau dicurigai Mama dan Papa.
"Baim dari mana? sini nak" ujar mamaku menyapanya, kenapa mama sudah seakrab ini dengannya, bahkan Papaku memeluk laki-laki yang sudah menyakitiku itu.
"Riel--Alhamdulillah kamu udah siuman" ujarnya menunduk, aku melihat dengan jelas matanya berkaca-kaca menahan tangis, tubuhnya tampak lusuh, kurus, tak sesegar biasanya, Apa yang dilakukannya sehingga bisa menjadi berantakan seperti ini, apa mungkin dia meratapiku.
Ah sudah 7 bulan ya rupanya, bukannya saat kejadian di apartement, Rasty sudah hamil 3 bulan, berarti Rasty sudah melahirkan, kenapa Ibrahim tampak kusut, atau mungkin dia stres memikirkan pernikahan dengan Rasty, karena yang kutahu di Agamanya, jika perempuan hamil diluar nikah, maka wajib menunggu bayi yang dikandung lahir terlebih dahulu, barulah boleh dinikahi.
"Baim ini yang jagain kamu yil, kamu harus terima kasih sama dia, kamu beruntung, kamu punya temen yang baik seperti Baim" ujar Papa memecahkan kecanggungan.
Aku mengangguk, "makasih ya im" ujarku pelan tanpa menatapnya.
"ss--sama sama Riel" jawabnya sedikit melirikku sebentar namun kembali menunduk.
Aku tahu, laki-laki ini ingin mengatakan sesuatu kepadaku, dia beruntung, Dia menyakiti Aku, orang yang masih bisa tenang dengan masalah sebesar ini, lagipula kenapa harus dipermasalahkan, memang inilah jalannya, Aku dan Ibrahim sudah seharusnya berpisah.
"ma, pa,maafin Ayil, boleh minta tolong tinggalin ayil sama baim bentar, ada yang mau ayil omongin berdua" ujarku menatap orang tuaku bergantian.
"ya udah, kebetulan mama sama papa juga belum makan, mama sama papa makan dulu ya, Im, Papa titip Gabriel ya" Ujar papa menarik tangan mama meninggalkan kami berdua.
Mama dan Papa sudah menghilang dari balik pintu, menyisakan kami berdua saja.
Melihatnya yang masih tertunduk lesu, tak ada lagi rasa marah dan ingin mengusirnya, Aku justru ingin mengatakan bahwa Aku sangat merindukannya, Aku sangat ingin memeluknya, Aku ingin dia tahu, bahwa sesakit apapun aku dibuatnya, Aku sangat mencintainya, Aku tidak bisa membencinya, Aku tidak bisa membenci laki-laki yang ada didepanku ini, rasa cintaku, melebihi rasa sakit yang kuderita.
"maafin Aku riel, maafin Aku"
Baim berlutut disamping ranjangku, Ia menangis begitu pilu, hatiku hancur melihat tangisannya, ingin rasanya kuhapus air matanya, tapi hatiku menahan keinginanku.
"Aku minta maaf karena sudah menyakitimu riel, Aku minta maaf karena sudah berbuat bodoh, Aku sadar Riel, dengan hanya meminta maaf, Aku tidak bisa mengembalikan keadaan kita seperti dulu lagi, Aku ikhlas jika kamu pergi dari kehidupanku riel, Aku rela kalau Aku harus kehilangan kamu, Aku rela jika Aku harus dibunuh kamu sekalipun, Aku rela riel, asal Aku bisa mendapatkan maaf dari kamu, apapun, apapun akan Aku lakukan untuk menebus kesalahanku"
Ibrahim menangis lebih pilu, Aku mengerti, yang dikatakannya adalah sebuah penyesalan, Ibrahim bukan tipikal laki-laki yang bersembunyi dibalik kesalahan, Ia sosok yang bertanggung jawab, Ia sosok yang berani mengakui kesalahan, Ibrahim bukan laki-laki pengecut.
Aku berusaha menghapus air mataku, Aku berusaha tersenyum walau hatiku pilu.
"Rasty udah ngelahirin kan?" Tanyaku mengalihkan pembicaraan, Ibrahim mengangguk.
"sudah test DNA untuk ngeyakinin itu anak kamu atau bukan?" Tanyaku lagi, Ibrahim masih bersimpuh mengangguk.
"jadi, apa hasilnya?" Tanyaku lagi dan lagi.
Ibrahim menatapku namun tak berani lama, Ia menunduk lagi, dalam isaknya bibirnya lirih berkata, "dia-- dia memang Anakku Riel".
Aku tersenyum Getir, sakit, ya sakit sekali rasanya menerima kenyataan ini, rasanya nafasku tercekat, ingin rasanya Aku mati detik ini juga, tapi Aku tidak mau dipandang sebagai sosok Gabriel yang lemah, Aku Gabriel yang kuat, sesuai namaku didalam ajaranku, Gabriel yang diambil dari nama malaikat, yang artinya dalam bahasa ibrani tuhan adalah kekuatanku.
Ya, Aku harus tetap kuat, karena aku masih punya tuhan tempatku mengadu.
Kupandangi Ibra dengan senyum dan perasaan yang mencoba merelakan.
"Aku--Aku sudah memaafkan kamu Ibra, kamu tidak perlu mengorbankan nyawa kamu hanya untuk mendapatkan maaf dariku, Aku mencintai kamu lebih dalam daripada rasa sakit yang Aku terima, tapi seperti yang kamu katakan, kita memang sudah tidak bisa seperti dulu, yang harus kamu lakukan sekarang adalah bertanggung jawab dengan keadaan Rasty"
Air mataku mengalir lagi, tak dapat kuhentikan, sakit sekali rasanya, merelakan orang yang dicintai. "kita harus saling melupakan, jika kamu menginginkan maafku, jadilah Ibraku yang bertanggung jawab, Ibraku bukan seorang pengecut, Ibraku selalu menepati janjinya, kalau kamu memang Ibraku, lakukan apa yang Aku minta, Aku mohon-- menikahlah dengan Rasty, cintai dia, seperti kamu mencintai Aku" Lega rasanya bisa mengatakan ini kepada Ibra, memang belum sepenuhnya, tapi Aku akan terus belajar mengikhlaskan, tidak ada gunanya lagi menangis, semua sudah terjadi, jalan ini memang sudah ditentukan.
Lagipula didalam kitabnya, Ibrahim memang tercipta untuk siti hajar dan siti sara, sedangkan didalam kitabku, Ibrahim/abraham tercipta untuk Sara, Hagar, dan Ketura.
Jadi sudah sepantasnya, Ibrahim Yusuf Al Muzakky tercipta untuk seorang Diandra Rasty Subagja, bukan untuk Gabriel Florentinus Lauw.
Ibra kembali menangis, Ia menekuk lututnya bersandar di kaki ranjang, mungkin menyesali perbuatannya.
Aku mencoba untuk tetap tersenyum, "untuk terakhir kalinya, apa aku boleh memeluk Ibraku?"
Ibrahim bangkit dan memelukku, rasanya begitu hangat, aku sangat merindukan ini, ini memang untuk terakhir kalinya, karena kedepannya Ibraku akan menjadi milik orang lain seutuhnya.
Ibra mengecup bibirku, mendiamkannya tanpa memberi lumatan, bibir yang kurindukan, nafas hangat keluar dari hidungnya, tangis dari kelopaknya membasahi pipiku.
Dalam kesedihan kami berdua yang saling merelakan, Pintu ruanganku dibuka dengan sedikit paksaan, beberapa pria berpakain polisi menerobos menghampiri kami.
"Bapak Ibrahim, Anda kami tahan dengan dugaan kasus percobaan pembunuhan Bapak Gabriel"
Ujar seorang polisi menarik tangan Ibrahim dan memborgolnya, sedangkan Ibra, dia tidak memberontak sama sekali.
Mereka membawa Ibra dengan paksa, Aku terkejut bukan main, tidak mengerti dengan apa yang terjadi.
"kami minta maaf pak, karena mengganggu istirahat bapak" Ujar salah satu polisi yang masih ada di ruangan.
"i--ini ada apa pak? saya Gabriel yang kalian anggap sebagai korban, saya sudah siuman, jadi masalah ini tidak perlu panjang, lagipula saya tidak mengajukan laporan ke kepolisian" ujarku dengan wajah yang penuh kebingungan.
Aku ingin bergerak, tapi tubuhku masih terlalu lemah, tidak mungkin Ibra mencelakaiku, Aku yakin dia difitnah.
"sekalipun bapak tidak melapor, Ini sudah menjadi tanggung jawab kami untuk menyelediki kasus kecelakaan bapak, tali rem mobil bapak disabotase, sehingga menyebabkan bapak mengalami kecelakaan yang hampir membahayakan nyawa bapak" Ujar Polisi itu menjelaskan.
"ya tapi kan saya sudah sadar pak, sudah siuman, kalian ada bukti apa menyatakan Ibra bersalah!?" tanyaku dengan sedikit menaikkan nada bicara.
"Ada saksi mata yang menemukan ID Card Bapak Ibrahim mengapung didekat danau, dimana lokasi kecelakaan bapak berada, kami sudah menghubungi bekas perusahaan pak Gabriel dan Pak Ibrahim bekerja, pihak bagian terkait menjelaskan bahwa 7 bulan yang lalu saat bapak Ibrahim mengundurkan diri dari pekerjaanya, Pak Ibrahim tidak mengembalikan ID Card miliknya, Dugaan sementara ID card itu tersebut jatuh saat Pak Ibrahim membuka kap mobil dan memotong rem Pak Gabriel, dan Pak Ibrahim juga sudah mengakui percekcokan hubungan asmaranya dengan Pak Gabriel saat kejadian kecelakaan di hari itu" jelas polisi itu panjang lebar.
"baiklah pak Gabriel, saya permisi, semoga kondisi anda cepat pulih" ujarnya lagi meninggalkan ku yang masih melongo diatas kasurku.
Aku tidak percaya, Ibra tidak akan mungkin melakukan itu, Aku yakin dia difitnah, bisa bisanya hubungan asmaraku dan Ibra dijadikan kambing hitam atas motif percobaan pembunuhan, ini tidak bisa dibiarkan, aku harus menolong Ibra.
To Be Continued
_________________________________________
Special Part
Lusi dan Mba Mel sudah menunggu dicafe yang sudah mereka tentukan untuk bertemu Ibra, hari ini Mba mel berulang tahun, mereka sudah berjanji untuk merayakan berempat bersama Ibra sekaligus mendoakan kesembuhan Gabriel.
Tak lama Lita datang menghampiri, Ia terlihat berlari dikarenakan dia sudah terlambat datang.
"ishhh dari mana sih lu? bisa bisanya telat?" Tanya Lusi ketus.
Lita duduk di bangku yang mengelilingi meja luas yang berbentuk bulat, diatasnya sudah ada kue tart dan kado dari Lusi untuk Mba Mel.
"sorry gua telat, jangan ngambek gitu dong sahabat sipitku" ujar Lita mencolek dagu sahabatnya.
"oh iya mba mel, Mas Baim gak jadi kesini, tadi mas ngehubungin Lita, katanya Ko Gabriel udah siuman" Ujar Lita lagi.
Mata sipit Lusi hampir saja terpental mendengar kabar yang membahagiakan hatinya, "lu gak boong kan Lit?"tanya Lusi mencari tahu.
"Mas Baim gak pernah boong, mas baim sendiri kok yang bilang, tar sore gua malah mau ke rumah sakit" terang Lita menjelaskan.
"Gua ikutttt" pekik Lusi, dijawab kerlingan mata dan anggukan oleh Lita.
"Oh iya mba, ini titipan dari mas baim, katanya sih dari ko gabriel, ini dibeliin udah lamaaaa banget, ko gabriel emang sengaja buat ngasih di hari ulang tahun mba mel, sayangnya dia malah koma dan baru sadar hari ini jadi gak bisa kasih langsung, untung mas baim inget kalo ini buat mba mel" Ujar Lita menyodorkan kado dari Gabriel.
"apaan ya kira-kira" Ujar Mba Mel membongkar kado yang dibelikan Gabriel sejak lama.
"buka dong mba!" pinta Lusi "penasaran nih apa yang dikasih Ko Gabriel buat mba".
Mba mel membuka kado pemberian Gabriel, setelah dibuka, Mba mel menangis terharu, isinya adalah Lensa Camera yang pernah ia katakan dulu kepada Gabriel, Mba mel masih mengingat ia berkeinginan membelikan lensa type favorite suaminya yang baru saja menggeluti dunia Photography, namun mba mel mengeluhkan kebutuhan sekolah 2 anaknya dan suaminya yang masih serabutan, Ia tidak menyangka hari ini Ia dapatkan dari Gabriel, bahkan Gabriel sudah menyiapkan dari jauh hari.
"Kita ke rumah sakit aja ya, rayain sama Gabriel" usul mba mel, ia berusaha menghapus air matanya yang mengalir semakin kencang.
"asyiikk, yuk berangkat" Ujar Lita dan Lusi bersamaan.
_________________________________________
otw tamat nih, ya paling nanti dibikin 2 atau 3 part lagi untuk menuju ending.