App herunterladen
75% MENGEJAR CINTA MAS-MAS / Chapter 81: MCMM 80

Kapitel 81: MCMM 80

"Dalam cinta, menyerah tak selalu berarti kamu lemah. Kadang itu hanya berarti kamu cukup kuat untuk melepaskannya"

⭐⭐⭐⭐

Happy Reading

"Nyu, kamu nggak papa?" tanya Aminah sore itu sambil menikmati teh hangat di ruang tamu.

"Nggak papa kok, bu. Dalam bekerja pasti akan ada kejadian seperti ini. Mungkin memang bukan disitu rejeki Banyu."

"Lalu sekarang gimana?"

"Ya biasa aja. Banyu masih bisa jualan sayur dan mengajar di bimbel."

"Kenapa kamu nggak terima saja tawaran ayahmu untuk bekerja di perusahaannya?"

"Banyu nggak mau orang berpikir Banyu memanfaatkan ayah yang lagi sakit. Mungkin memang sudah jalan dari Allah Banyu harus berhenti bekerja sementara, biar bisa menemani ayah berobat."

"Syukurlah kalau kamu bisa mengambil hikmah dari permasalahan yang kamu hadapi saat ini."

"Banyu hanya minta maaf nggak bisa memberi uang ke ibu seperti biasanya. Karena sekarang penghasilan Banyu nggak seperti saat masih jadi asdos."

"Hei, nggak papa Nyu. Kamu sudah banyak membantu ibu dan adik-adikmu. Lagipula ibu juga masih punya gaji dari mengajar di sekolah dan kemarin ustadz Arman menawarkan ibu mengajar di sekolah Al Qur'an yang akan beliau buka. Untuk adik-adikmu kamu nggak usah khawatir, ayahmu memberi lebih dari cukup."

"Ibu jangan bilang sama ayah kalau Banyu sudah nggak bekerja sebagai asdos. Banyu nggak mau ayah khawatir."

"Ayahmu sudah tahu. Ibu malah dikasih tahu sama Agus. Tadi siang Agus mengabari."

"Ayah tahu darimana bu?"

"Entahlah. Mungkin ayah mengirim orang untuk mengikuti aktivitasmu, sekaligus menjagamu. Ayahmu bilang dia nggak ingin sesuatu terjadi sama kamu. Dia khawatir keluarga Danudirja melakukan hal-hal yang tak diinginkan. Bahkan ayahmu juga bilang kalau pemecatan kamu itu atas permintaan Gilang Danudirja. Kebetulan dia adalah salah satu pendiri yayasan tersebut."

Banyu termanggu mendengar penjelasan Aminah. Ia tak menyangka ada konspirasi untuk mengeluarkan dirinya dari kampus.

"Tapi kenapa bu?"

"Kamu masih tanya kenapa? Ya tentunya ini berkaitan dengan Senja. Sepertinya suami Senja melapor kepada ayahnya tentang masalah rumah tangganya. Bukan mustahil kalau Gilang Danudirja merasa kamulah yang menyebabkan keretakan dalam rumah tangga anaknya."

"Senja ingin meninggalkan Awan karena mendapat perlakuan yang tidak baik dari suaminya. Bukan karena Banyu." Banyu membela diri.

"Nyu, ibu sudah berkali-kali bilang ini sama kamu. Kamulah salah satu penyebab Awan memperlakukan Senja seperti itu. Dia sepertinya sangat cemburu padamu dan tak percaya kalau Senja bisa melupakanmu. Dan kenyataannya memang begitu. Kamu dan Senja tidak bisa saling melupakan."

"Sulit untuk Banyu melupakan Senja."

"Semua akan terasa mudah kalau kamu mau membuka hatimu untuk wanita lain. Semua akan terasa mudah kalau kamu benar-benar berniat melupakan dia. Nggak ada gunanya kamu terus hidup dalam kenangan masa lalumu. Hanya akan menyulitkan bila kamu terus berharap pada kenangan itu. Belum apa-apa saja keluarga Danudirja sudah menjegal langkahmu. Entah apa yang akan mereka lakukan bila mereka mengetahui kehamilan Senja atau bila mereka berdua sampai bercerai. Bukan hal mustahil kamu akan dikambinghitamkan dalam permasalahan ini."

"Banyu harus bagaimana, bu? Ini bukan hal yang mudah buat Banyu."

"Ibu tahu ini bukan hal mudah, tapi tolonglah, Nyu. Jangan hanya memikirkan dirimu sendiri. Pikirkan juga kami, ibu dan adik-adikmu. Sekarang Gilang Danudirja hanya menjegal langkahmu. Bukan hal sulit bagi mafia seperti dia untuk mencelakaimu. Kami nggak mau kehilangan kamu, Nyu."

"Banyu akan berhati-hati bu."

"Mas, nggak ada salahnya mendengarkan pendapat ibu," imbuh Aidan yang baru saja keluar kamar. "Kami semua mengkhawatirkan mas Banyu."

"Nyu, ibu benar-benar khawatir. Beberapa hari terakhir ini ada pria berjaket hitam mengawasi rumah ini dari warung kopi milik bang Somad."

"Iya mas. Bang Somad sendiri yang ngomong sama Aidan kalau ada pria asing yang bertanya-tanya tentang keluarga kita. Sudah hampir seminggu ini pria tersebut rutin datang ke warungnya bang Somad. Dia nggak terang-terangan menanyakan tentang keluarga kita. Dia bilang, dia lagi mencari saudaranya yang sudah lama terpisah. Dia juga menanyakan tentang tetangga kita. Tapi paling banyak ya mencari tahu tentang keluarga kita."

"Mungkin itu orang suruhan ayah, Dan."

"Kalau orang suruhan ayah, Aidan mah kenal baik. Itu kan om Purba, yang sering parkir motor trailnya di depan rumah bang Cole. Kalau om Purba malah sudah memperkenalkan diri ke kita dan bilang kalau dia orang suruhan ayah untuk menjaga kita."

"Apakah om Purba sudah pernah bertemu dengan pria misterius yang tadi kamu ceritakan?" tanya Banyu penasaran. "Kalau memang dia mengawasi rumah kita, seharusnya dia tahu kalau ada pria misterius tersebut."

"Dua hari yang lalu om Purba melihat pria itu di warung bang Somad. Saat ditegur, pria tersebut langsung pergi. Untung saja pria itu sudah membayar makanan dan minuman yang dia pesan dari warung bang Somad," jelas Aidan.

"Kamu sudah dapat kabar lagi dari om Purba, Dan?" tanya Aminah.

"Om Purba masih mencari info tentang pria itu. Nanti kalau sudah dapat infonya dia akan langsung melapor ke om Agus."

"Kenapa lapor ke om Agus?" tanya Banyu heran.

"Om Agus nggak mau ayah khawatir. Nggak baik buat kesehatan ayah."

"Nah, kamu sudah dengar sendiri dari adikmu kan. Tolong kamu pikirkan hal ini dan jangan lagi kamu berhubungan dengan Senja. Ibu juga yakin, papanya Senja akan kembali memilih Awan."

"Kenapa begitu? Kalau papanya Senja tahu Banyu bukan tukang sayur biasa, tapi anak dari Pramudya, pasti dia akan menerima Banyu."

"Nggak bisa Nyu. Dia akan tetap memilih Awan. Dia berhutang budi kepada keluarga Danudirja. Papanya Senja bisa menjadi seperti saat ini karena jasa keluarga Danudirja. Merekalah yang pertama mengajak papanya Senja bekerja di perusahaan Danudirja hingga sukses seperti sekarang ini."

"Ibu tahu darimana semua ini?"

"Ayahmu yang cerita saat ibu dan adik-adikmu mengunjungi dia tiga hari yang lalu." Banyu termanggu mendengar jawaban Aminah. Ia hanya mampu menghela nafas sambil memijat keningnya yang mendadak terasa sakit.

"Tuh kan, lebih enak pacaran sama kak Gladys daripada sama istri orang," ledek Aidan sambil nyengir. "Mumet ya mas?"

"Dan, sudah ah jangan meledek mas mu," tegur Aminah. "Coba deh kamu shalat istikharah. Minta petunjuk sama Allah. Jangan hanya mengikuti kata hatimu."

"Dengerin tuh mas apa yang ibu bilang. Kasmaran boleh tapi jangan sampai keblinger. Aidan dan Bila senang kalau mas Banyu memiliki pasangan. Apalagi kalau bisa jadian sama kak Gladys, tapi sebenarnya buat kami siapapun calon mas Banyu, selama itu bukan istri orang, kami fine-fine saja."

"Halaaaah... sok dewasa kamu Dan," goda Aminah sambil mengacak rambut Aidan. "Sana kamu jemput adekmu di tempat les. Nanti kalau kesorean dia ngambek lho."

"Okay bu. Aidan pamit ya."

"Ibu mohon kamu memikirkan baik-baik pembicaraan kita sore ini. Lepaskan dan relakan Senja. Itu yang terbaik untuk semuanya. Kamu boleh mencintai seseorang, tapi cinta itu tak harus memiliki. Dalam cinta, menyerah tak selalu berarti kamu lemah. Kadang itu hanya berarti kamu cukup kuat untuk melepaskannya."

Banyu hanya menatap keluar rumah dan menatap langit senja yang semakin memerah. Di kejauhan awan mendung menggantung. Mendung di kejauhan seperti masa depannya yang tertutup mendung. Suram. Haruskah aku melepas Senja? Bisakah aku melepasnya?

⭐⭐⭐⭐

"Sayang, kamu mau maafin aku kan?" tanya Lukas sambil menggenggam tangan Gladys. Tatapannya memuja sekaligus memohon. Gladys membuang pandangnya. Di meja lain, Endah dan Husna menahan tawa melihat betapa sang dokter ganteng memasang wajah memelas.

"Na, dokter Lukas masih tetap ganteng ya walau memelas begitu," bisik Endah pada Husna.

"Iya Ndah. Bahagia banget ya jadi mbak Gladys. Dicintai dan dipuja oleh pria seperti dokter Lukas. Seandainya aja kita berdua bisa mendapat pasangan seperti dokter Lukas. Ganteng, kaya, sukses, mencintai kita."

"Hush.. jangan menilai dari luarnya saja. Apa yang terlihat bagus, belum tentu aslinya juga bagus."

"Lho, memangnya dokter Lukas nggak sesempurna itu?" tanya Husna kepo.

"Kalau aku sebenarnya lebih senang melihat kak Gladys bersama saudaramu itu."

"Ooh.. mas Banyu maksudmu? Tapi gaya hidup mereka jauh berbeda, Ndah."

"Gaya hidup itu muncul karena suatu kebiasaan. Kalau menurutku kebiasaan masih bisa dirubah kok. Lah wong, sifat keras kepala dan manjanya kak Gladys saja bisa berubah sejak dia bertemu mas Banyu. Apalagi kalau dilandasi dengan cinta, semua akan lebih mudah," sahut Endah.

"Memangnya kak Gladys mencintai mas Banyu? Bukannya dia calon istri dokter Lukas?" tanya Husna heran.

"Panjang ceritanya Na. Kapan-kapan aku ceritain deh ke kamu," jawab Endah

sambil menghela nafas. "Kayak sinetron banget."

"Kamu kok bisa tahu? Memangnya mbak Gladys selalu cerita sama kamu?"

"Selalu cerita sih nggak juga, tapi karena aku sering mendampingi kak Gladys jadi aku bisa tahu gimana perasaannya. Jadi kak Gladys itu serba bingung, Na. Dia mencintai orang lain, tapi di saat bersamaan dia dicintai setengah mati sama dokter Lukas."

"Aku mau tuh kayak mbak Gladys."

"Mengalami cinta segitiga maksudnya?"

"Bukaaaan. Tapi dicintai oleh pria seperti cara dokter Lukas mencintai mbak Gladys. Memangnya kamu nggak kepengen kayak gitu, Ndah? Dunia kita pasti jadi indah banget."

"Entahlah Na. Kalau memang indah kenapa aku kok merasa kak Gladys nggak bahagia ya? Aku melihat dia seperti terpaksa menjalaninya."

"Kita doakan saja semoga mbak Gladys dan dokter Lukas benar-benar bisa bahagia, Ndah, Siapa tahu menurut Allah, dokter Lukas ini orang yang paling tepat untuk mendampingi mbak Gladys."

"Walaupun dia tidak mencintai dok ter Lukas?"

"Cinta akan datang karena terbiasa dicintai terus menerus. Wanita kan hatinya lemah dan baperan. Contohnya kamu."

"Kok aku?"

"Iya, kamu baper kan waktu dapat perhatian lebih dari mas Fakhri, security gedung sebelah," ledek Husna. Endah hanya bisa nyengir di ledek seperti itu.

Sementara itu Lukas masih terus menggenggam dan mengelus tangan Gladys.

"Sayang, apakah kamu benar-benar nggak bisa memaafkan aku? Kita berdua sama-sama melakukan kesalahan. Seharusnya kamu tau bagaimana aku setengah mati menahan diri setiap kali berdekatan sama kamu," ucap Lukas tanpa melepaskan pandangannya dari Gladys.

"Mas, aku juga minta maaf karena sudah membuatmu marah hingga terpancing melakukan itu. Tapi aku tetap tak bisa begitu saja melupakan kejadian malam itu. Aku khawatir hal itu akan terulang lagi di saat kamu marah."

"Makanya ayo kita segera menikah, sayang. Dengan demikian pria itu tak lagi berani mengganggumu dan aku tak perlu lagi bersusah payah menahan diri saat berdekatan denganmu."

Gladys tak berkata apapun. Ia hanya menatap dalam-dalam mata Lukas. Ia mencoba mencari dusta di mata itu, namun ia tak menemukannya. Justru yang ia lihat lagi-lagi pandangan penuh cinta dari mata Lukas. Sudut hatinya sedikit bergetar melihat kesungguhan di mata Lukas. Mungkin yang terbaik untukku memang dicintai olehnya dan mencoba mencintainya, walau itu mungkin akan membutuhkan waktu.

"Baiklah. Ayo kita menikah. Aku akan berusaha melupakan dia dan aku akan belajar mencintaimu. Tapi kuharap takkan ada lagi kesalahan seperti malam itu. Ayo kita benar-benar memulainya kembali dati awal. Namun sekali saja salah satu di antara kita melakukan kesalahan, maka aku akan pergi dan takkan ada pernikahan di antara kita. Kuharap keputusanku memilihmu bukan keputusan yang salah."

"Terima kasih sweetie. Aku berjanji tak kan lagi khilaf sebelum nanti kita menjadi pasangan sah dan halal."

"Kamu yakin tak ada hal lain yang membuatku harus berhati-hati menghadapimu?"

"Sweetie, seharusnya aku yang mengajukan pertanyaan itu padamu. Maukah kamu benar-benar melupakan pria s****n itu? Aku akan menunggu sampai kamu benar-benar bisa melupakannya." Lukas mengecup lembut punggung tangan Gladys. "Aku berjanji hanya akan mencintaimu. Aku berjanji takkan menyakiti hatimu."

"Apa yang akan mas lakukan bila ternyata mas Lukas menyakiti hatiku? Kuharap mas Lukas akan bisa melepaskanku bila suatu saat mas menyakitiku. Aku nggak mau hidup berdampingan dengan seseorang yang tak bisa menepati janjinya." Sekali lagi Lukas mencium punggung tangan Gladys

"Percayalah sayang, aku hanya mencintaimu. Kamu boleh meninggalkanku bila hal itu terjadi." sahut Lukas yakin. "Sampai kapanpun hanya ada kamu di hatiku, sayang."

"Boleh aku tahu kenapa kamu mencintaiku dan ingin menikah denganku?"

"Apakah itu perlu dipertanyakan? Ketika bertemu seseorang yang tepat, kamu akan tahu dia adalah satu-satunya tanpa perlu alasan, kan? Demikian juga apa yang selama ini kurasakan. Yang kutahu aku mencintaimu dan ingin memilikimu. Itu yang paling penting, sayang. Tidak usah memikirkan hal lain lagi." Lukas berusaha meyakinkan Gladys yang masih terlihat ragu.

"Kuharap keputusanku menikah denganmu adalah keputusan yang tepat," gumam Gladys.

⭐⭐⭐⭐


Load failed, please RETRY

Wöchentlicher Energiestatus

Rank -- Power- Rangliste
Stone -- Power- Stein

Stapelfreischaltung von Kapiteln

Inhaltsverzeichnis

Anzeigeoptionen

Hintergrund

Schriftart

Größe

Kapitel-Kommentare

Schreiben Sie eine Rezension Lese-Status: C81
Fehler beim Posten. Bitte versuchen Sie es erneut
  • Qualität des Schreibens
  • Veröffentlichungsstabilität
  • Geschichtenentwicklung
  • Charakter-Design
  • Welthintergrund

Die Gesamtpunktzahl 0.0

Rezension erfolgreich gepostet! Lesen Sie mehr Rezensionen
Stimmen Sie mit Powerstein ab
Rank NR.-- Macht-Rangliste
Stone -- Power-Stein
Unangemessene Inhalte melden
error Tipp

Missbrauch melden

Kommentare zu Absätzen

Einloggen