Kamu nggak pernah menyadari arti kehadirannya di sampingmu selama ini. Hingga akhirnya dia pergi meninggalkanmu untuk mengejar kebahagiaannya yang ternyata bukan bersamamu.
⭐⭐⭐⭐
Banyu menatap jalan raya yang ada di depan cafe. Saat ini ia sedang bersama Senja.
"Nyu, aku harus bagaimana? Kemarin Awan datang ke rumah kami."
"Ada apa dia datang menemuimu?"
"Ia ingin aku kembali padanya," jawab Senja lirih.
"Setelah apa yang ia lakukan padamu, ia masih ingin kamu kembali padanya? Dasar ba****an!"
"Ia menolak bercerai denganku. Ia bilang akan menerima semua hukuman atas semua tuntutan hukum yang kuajukan. Tapi dengan syarat aku harus mau kembali padanya."
"Lalu kamu mau?"
"Entahlah Nyu."
"Senja, kamu tahu kan bagaimana perasaanku padamu. Aku yakin kamu juga masih memiliki perasaan yang sama denganku. Aku selama ini menunggumu. Dan aku siap menikahimu bila nanti kasus perceraianmu selesai."
"Nyu, aku memang masih memiliki perasaan terhadapmu. Aku masih sayang sama kamu, tapi kehadiran bayi ini mengubah segalanya."
"Kenapa? Aku nggak keberatan dengan kehadiran bayi itu. Aku akan menganggap dia anakku sendiri."
"Masalahnya Awan nggak akan menyerah begitu saja kalau dia mengetahui aku hamil."
"Kamu sudah memberitahu dia tentang kehamilanmu?" Senja menggeleng.
"Tapi kamu tau kan Awan dan keluarganya memiliki mata dan telinga dimana-mana. Aku takut, Nyu."
Banyu meraih tangan Senja dan menggenggamnya erat. Namun hal itu tak berlangsung lama karena Senja segera menarik tangannya. Banyu menghela nafas kesal. Kenapa semuanya terasa begitu rumit bagi mereka. Ya tuhan, kapan Engkau akan mempersatukan kami?
"Kamu nggak usah takut. Ada aku yang akan melindungimu."
"Justru aku takut terjadi sesuatu kepadamu, Nyu. Aku nggak mau hal buruk menimpamu."
"Kalau memang itu yang harus kutempuh untuk bisa bersamamu, aku siap."
"Nggak Nyu. Aku hanya akan menjadi tokoh jahat dalam cerita ini bila terjadi sesuatu kepadamu. Aku akan terus menyalahkan diriku sendiri kalau terjadi sesuatu yang buruk pada dirimu. Aku nggak mau membuat keluargamu sedih dan marah."
"Gadisku, kenapa begitu sulit bagi kita untuk bersatu?"
"Mungkin kita memang tak berjodoh, Nyu."
"Jangan bicara seperti itu. Aku yakin kita berjodoh." Banyu bersikeras.
"Rezeki, jodoh dan maut itu semua rahasia Allah. Kita hanya manusia yang nggak pernah tahu tentang hal itu. Bisa saja kita berkeyakinan kita berjodoh satu dengan yang lain, namun ternyata tidak. Bahkan disaat kita berdoa agar dapat berjodoh dengan seseorang, ternyata Allah memiliki rencana lain untuk kita. Atau mungkin orang yang kita benci atau orang yang kita dorong untuk menjauh dari kita, sesungguhnya dialah jodoh kita."
Tiba-tiba Banyu terpikirkan Gladys. Mungkinkah.... Ah, dia bukan jodohku. Lagipula sebentar lagi dia akan menikah dengan Lukas. Ada rasa cemburu di hati Banyu bila mengingat hal itu.
"Gadisku, minggu depan aku akan ke Malaysia untuk menemani ayah berobat kesana."
"Berapa lama? Hanya bersama ayahmu?"
"Kurang lebih seminggu. Aidan dan Nabila juga ikut."
"Semoga ayahmu bisa sembuh, Nyu."
"Kamu nggak papa kan kalau aku tinggal?"
"Ya nggak papa, kan ada mama papa."
"Aku khawatir terjadi sesuatu sama kamu saat aku pergi nanti."
"Tenang saja. Di rumah ada mama papa yang menjagaku. Lagipula sepertinya Awan nggak akan berani menggangguku lagi setelah dia tau aku menggugatnya secara pidana."
"Beneran kamu nggak pa-pa aku tinggal?"
"Ya ampun Nyu, nggak usah terlalu khawatirlah. Lagipula kamu itu kan bukan suami atau pacarku. Jadi ya nggak usah terlalu berlebihan khawatirnya."
"Tapi kamu itu calon istriku."
"Please Nyu, jangan mengatakan hal absurd seperti itu. Awan memiliki mata dan telinga dimana-mana. Aku nggak mau disangka selingkuh sama kamu Aku nggak mau dia merasa menang karena kecurigaannya terbukti."
"Kalau itu bisa membuat dia menceraikanmu, aku akan umumkan pada semua orang bahwa kamu adalah calon istriku. Dengan begitu aku bisa segera menikah denganmu."
Entah semesta memiliki rencana apa terhadap hidup Banyu, di saat yang bertepatan Gladys, Khansa dan Ayu memasuki kafe tersebut. Dan entah apakah itu suatu kebetulan, Gladys mendengar kalimat terakhir yang Banyu ucapkan. Gladys berdiri mematung sambil menatap nanar ke arah Banyu yang masih belum menyadari kehadiran Gladys karena duduk membelakanginya. Namun Senja melihat kehadiran Gladys dan ia bisa melihat betapa terlukanya Gladys akibat kata-kata Banyu tadi.
"Nyu....." Senja menyentuh pelan tangan Banyu.
"Kamu nggak percaya kalau aku masih mencintaimu? Hanya kamu satu-satunya wanita yang kucintai, selain ibu dan Nabila. Katakan apa yang harus kulakukan agar dia mau menceraikanmu."
"Nyu, jangan ngomong kayak begitu."
"Kenapa? Kamu takut ada yang melaporkan hal ini kepada Awan? Biar saja. Aku nggak peduli."
"Nyu... Gladys..."
"Aku nggak punya perasaan apapun terhadap gadis itu, Senja."
Senja tak tahu harus berkata apa karena dilihatnya wajah Gladys yang memperlihatkan betapa terlukanya dia.
"Nyu, ada Gladys," bisik Senja.
"Mas, makasih ya. Kata-katanya sangat menghibur dan menginspirasi." Itu bukan Gladys yang bicara, melainkan Ayu yang selama ini terkenal lembut. "Ayo Dys. Mendadak kafe ini terasa gerah. Kita pindah ke kafe sana aja."
"Dys....." Banyu berusaha mengejar Gladys namun Ayu menahannya.
"Kalau memang mas nggak bisa melupakan mantannya, nggak usah memberi harapan palsu pada sahabat saya. Dia itu cuma wanita biasa yang bisa terluka saat menghadapi kenyataan pria yang dicintainya selama ini ternyata tak pernah mencintainya sama sekali."
⭐⭐⭐⭐
"Dek, semuanya sudah siap kan?" tanya Aidan sambil membantu Pramudya masuk ke dalam mobil yang akan membawa mereka ke bandara. Hari ini mereka akan berangkat ke Malaysia.
"Sudah siap semua, mas. Oh iya, sebentar ada yang hampir ketinggalan." Nabila masuk ke dalam rumah Pramudya dan tak lama keluar membawa scarf berwarna abu-abu. "Hampir saja ketinggalan. Ini scarf kesayangan ayah. Hadiah dari kak Gladys waktu ayah ulang tahun."
"Ulang tahun ayah? Kalian merayakan ulang tahun ayah?"
"Memang nggak dirayakan mas. Cuma waktu itu kak Gladys datang kesini buat kasih hadiah ini. Adek juga baru tiga hari lalu pas main kesini. Ayah yang cerita ke adek. Iya kan, Yah?"
"Iya, itu kan hadiah dari kamu dan nak Adis saat ayah ulang tahun. Ayah terharu kamu masih ingat ulang tahun ayah. Ayah aja lupa kalau hari itu ulang tahun ayah. Nak Adis datang bersama asistennya. Dia memberi ayah scarf ini dan membawa kue ulang tahun. Kata nak Adis, kamu menitipkan scarf ini karena nggak bisa datang. Kalau nggak salah kamu lagi mengawas UTS. Waktu itu hanya ayah, nak Adis, Daffa, Agus dan Nungki yang merayakannya."
Apakah dia benar-benar tulus menyayangi keluargaku? Bahkan dia begitu baik pada pria yang selama ini kubenci. Dia juga berusaha membuatku terlihat baik di mata ayahku. Gadis itu benar-benar berusaha memperbaiki hubunganku dengan ayah.
"Ayah suka hadiah ini?"
"Suka sekali. Apa lagi ini hadiah dari kamu dan nak Adis." Wajah Pramudya terlihat berseri‐seri saat menjawab. Banyu tak tega merusak kebahagiaan sang ayah dengan memberitahu yang sebenarnya.
"Maaf waktu itu Banyu nggak bisa datang." Banyu terpaksa berbohong.
"Nggak papa. Kehadiran nak Adis cukup mengobati kerinduan ayah terhadap kalian."
"Bagaimana kalau nanti di sana kita rayakan ulang tahun ayah?" usul Aidan. "Aidan ingat dulu pernah merayakan ulang tahun ayah saat kita berlibur ke Bali. Waktu itu kamu masih kecil banget, dek."
"Hmm.. boleh juga. Tapi kayaknya kali ini kita merayakannya di rumah sakit deh. Soalnya ayah kan harus menjalani treatment."
"Nggak papa, mas. Nggak usah dirayakan besar-besaran. Cukup kita sekeluarga saja. Secara sederhana." sahut Nabila. "Bukan perayaannya yang penting, tapi kebersamaan kita di hari istimewa ayah. Walaupun mungkin sudah terlewat."
"Oke. Nanti kita atur. Kalau memungkinkan kita bisa rayakan ulang tahun ayah bersama-sama."
Sesampainya di bandara, setelah mengurus berbagai hal akhirnya mereka bisa masuk ke lounge. Agus sengaja memilihkan penerbangan yang nyaman untuk Pramudya dan anak-anaknya. Ia tak ingin kakaknya kelelahan.
"Nyu, om titip ayahmu ya. Ini kartu ATM ayahmu dapat dipergunakan untuk kebutuhan kalian selama di sana. Mulai sekarang om akan menyerahkan kartu ini kepadamu."
"Jangan om. Banyu nggak mau memegang ATM ini. Om cukup transfer saja ke rekening Banyu sejumlah uang yang kira-kira akan kami butuhkan disana." Agus terkekeh mendengar penolakan Banyu. Hal yang sudah ia duga sebelumnya.
"Nyu, kamu tahu kan kalau om lah satu-satunya kerabat ayahmu? Sejak kecil om diurus oleh ayahmu. Bahkan hingga kini om selalu dibantu oleh mas Pram. Bukannya om tidak mau membalas budi kepada ayahmu, tapi om dan tante dalam waktu dekat harus berangkat ke Australia. Ibumu pasti pernah cerita tentang hal ini." Banyu mengangguk.
"Untuk urusan perusahaan, om akan selalu membantu sampai nanti kamu bisa menjalankan perusahaan tersebut. Namun untuk saat ini ada hal-hal yang harus kamu segera ambil alih. Di antaranya memegang kartu ATM ini. Jumlahnya tak seberapa. Masih ada beberapa tabungan lain yang nanti akan om urus pengalihannya kepadamu selaku anak tertua mas Pram."
"Om, Banyu berbaikan dengan ayah bukan karena menginginkan hartanya. Tapi memang sudah saatnya Banyu berdamai dengan masa lalu dan memperbaiki hubungan dengan ayah. Banyu nggak mau memakai uang ayah untuk keperluan kami. Banyu masih bisa membiayai adik-adik."
"Kita bicarakan hal itu nanti setelah kalian kembali dari Malaysia. Om mohon, kamu mau memegang ATM ini untuk kalian pakai selama di Malaysia. Mas Pram sudah berpesan supaya kamu pakai uang yang ada di ATM ini untuk biaya kalian selama di sana, terutama untuk adik-adikmu. Mengenai biaya pengobatan ayahmu, kamu nggak udah khawatir. Om sudah mengurusnya. Jadi pergunakanlah ATM ini untuk kalian bersenang-senang selama di sana. Mas Pram ingin kalian, terutama adik-adikmu, bahagia."
"Tapi om, kami kesana bukan untuk liburan atau bersenang..."
"Om tahu itu. Tapi ini pesan ayahmu supaya kamu mengajak adik-adikmu menikmati perjalanan ini sebagai liburan yang tak pernah ia berikan selama ini. Dan kamu nggak boleh menolaknya. Ini keinginan ayahmu untuk membahagiakan mereka sebagai penebus rasa bersalahnya."
Banyu tak mampu berkata-kata. Ia tak ingin memanfaatkan kekayaan ayahnya. Namun ia juga tak bisa menyalahkan keinginan sang ayah untuk membahagiakan adik-adiknya.
"Baiklah om. Banyu akan terima kartu ATM ini dan menggunakannya untuk keperluan Aidan dan Nabila selama di Malaysia. Ini karena Banyu menghormati om dan permintaan ayah."
"Terima kasih Nyu. Oh ya, nanti sesampainya di Malaysia akan ada orang yang menjemput dan mengurus segala akomodasi kalian termasuk mengantar ayahmu ke rumah sakit yang akan merawatnya. Urusan akomodasi kalian nggak perlu pusing, karena semua sudah diurus oleh pegawai perusahaan mas Pram yang ada disana. Kabari om kalau kalian sudah sampai sana ya."
"Baik om. Terima kasih om Agus dan tante Nungki selama ini sudah mengurus ayah."
⭐⭐⭐⭐
"Mas, itu bukannya kak Gladys ya?" tanya Nabila saat mereka memasuki lobi hotel tempat mereka akan menginap.
"Ah, mana mungkin. Kamu salah lihat kali, dek. Mungkin hanya mirip dia." Banyu masih sibuk dengan urusan reservasi kamar. Banyu agak tak percaya dengan kamar yang disediakan untuk mereka. Bagaimana tidak bingung kalau mereka mendapat kamar penthouse.
"Are you sure this is our room?" tanya Banyu pada resepsionis.
"Yes sir. It's reserved by Mr. Agus Hermawan for Mr. Banyu Bumi Nusantara. I will tell the bell boy to escort to you room. Please wait for a moment."
"Gimana mas urusan kamarnya?" tanya Aidan yang datang menghampiri. Sebelum ke hotel, mereka telah mengantar Pramudya ke rumah sakit.
"Sudah beres. Yuk kita ke kamar," ajak Banyu.
"Mas, tadi adek kayak lihat kak Gladys deh."
"Oh ya? Kamu salah lihat mungkin. Lagian ngapain Gladys menginap disini. Hotel keluarganya kan ada di Malaysia."
"Hmm.. iya ya.. mungkin adek salah lihat. Mas, ini kamar hotel atau rumah sih? Gede banget ya. Sama rumah kita kayaknya gedean kamar ini ya." Nabila melakukan room tour. Untuk pertama kalinya ia menginap di hotel sebesar ini.
"Mas, ayah tuh orang kaya ya?"
"Kenapa memangnya?"
"Adek takut."
"Takut kenapa? Kan enak dek jadi orang kaya. Mau apa aja tinggal beli. Mau liburan kemana saja tinggal berangkat." sahut Aidan yang langsung duduk di depan TV dan mulai mencari channel TV.
"Kata ustadzah, orang kaya dihisabnya lama. Soalnya dia harus mempertanggungjawabkan setiap harta benda yang dia miliki. Mas Aidan ingat cerita tentang sahabat rasul yang menangis karena hartanya tak habis-habis padahal sudah disedekahkan."
"Sok tau kamu, dek." ledek Aidan. Dia tahu apa yang disampaikan oleh Nabila benar, tapi ia senang meledek adiknya.
"Iih.. mas Aidan tuh yang sok tahu. Makanya mas kalau lagi pengajian jangan asyik main hp aja. Dengarkan kajian biar tambah pintar," balas Nabila tak mau kalah. Aidan langsung mendekati Nabila dan menggelitik pinggangnya sehingga membuat Nabila tergelak.
Banyu memperhatikan betapa kedua adiknya terlihat bahagia, terutama Nabila, dengan perjalanan ini. Ada rasa sesal di hati Banyu karena selama ini melarang mereka bertemu dengan Pramudya. Karena keegoisannya, ia mengajak adik-adiknya melalui hidup yang susah.
⭐⭐⭐⭐