App herunterladen
38.88% MENGEJAR CINTA MAS-MAS / Chapter 42: MCMM 41

Kapitel 42: MCMM 41

Happy Reading Guys ❤

Matahari masih bersinar malu-malu saat Gladys mengarahkan kakinya menuju taman. Di belakangnya Endah mengikuti.

"Ndah, gimana outfitku pagi ini?" tanya Gladys pada pelayan pribadinya. "Nggak terlalu seksi kan?"

"Hmm.. nggak seksi-seksi amat kok kak. Celana olahraga selutut dipadu dengan kaos, menurut Endah aman kak." jawab Endah hati-hati.

Sejak minggu lalu, Endah dibuat pusing oleh nona mudanya ini. Setiap mau pergi majikannya ini pasti sibuk memilih outfit. Sebenarnya sih itu hal biasa karena selama ini Gladys memang cukup rewel mengenai pakaian yang akan dikenakan. Namun kerewelannya bertambah karena ia lebih memilih menggunakan pakaian yang tidak terlalu terbuka. Hal ini tentu agak menyulitkan Endah memilihkan pakaian. Karena rata-rata pakaian Gladys berpotongan seksi atau pendek sehingga cenderung mempertontonkan sebagian auratnya.

Contohnya pagi ini. Sejak subuh, Endah sudah disibukkan dengan pemilihan baju olahraga yang lumayan menutup paha sang majikan. Sebagian besar baju olahraga Gladys adalah celana pendek dan kaos you can see. Pagi ini Gladys monta disiapkan training dan kaos. Akhirnya Gladys harus puas dengan pilihan Endah. Celana selutut dan kaos lengan pendek.

"Ndah, nanti kamu tolong fotoin saat aku jogging ya. Ambil yang bagus. Buat aku posting di IG." perintah Gladys.

"Siap kak."

Setelah satu jam berolahraga, Gladys mengajak Endah mampir ke warung lontong sayur. Endah mengikuti Gladys dengan perasaan bingung. Majikannya mau makan di pinggir jalan. Ini bukan mimpi kan? tanya Endah dalan hati. Setau dia, Gladys paling anti makan di warung pinggir jalan.

"Kak Gladys beneran mau makan di sini?" tanya Endah ragu saat memasuki warung tersebut. "Memangnya kakak doyan makan lontong sayur?"

"Hmm.. nggak tau juga doyan atau nggak. Tapi aku mau mencoba makan di tempat seperti ini. Biar aku nggak dibilang sok elit."

"Kak Gladys kan memang kaum elit. Biasanya kakak kan sarapan selalu di rumah. Makanannya juga nggak sembarangan. Nanti kalau perut kaka Gladys sakit gimana?"

"Tapi kamu doyan kan makanan model gini?" tanya Gladys. Endah mengangguk senang.

"Justru Endah doyan banget makanan-makanan tradisional begini kak. Makanan resto enak, tapi lama-lama bosan juga. Eh, maaf kak. Bukan berarti Endah nggak doyan makanan resto, tapi selain bosan porsinya juga dikit. Nggak bikin kenyang." Gladys tertawa mendengar penjelasan Endah yang polos. Memang benar sih, porsi makanan di restauran mewah memang terlalu sedikit.

"Ya sudah, kita coba yuk makan disini."

"Kak, yang Endah dengar dari mbok Parmi, lontong sayur disini top markotop rasanya. Mbok Parmi sering beli buat Eyang, kalau pas Eyang menginap di rumah."

"Oh ya? Kok mami nggak pernah menyediakan makanan seperti ini di rumah?"

"Pernah kok kak, tapi waktu itu kak Gladys sama sekali nggak mau mencoba. Padahal Ndoro Papi, Nyonya Mami, Den Ghiffari dan den Gibran doyan banget makanan-makanan model gini. Cuma kak Gladys yang menolak makanan kampung kecuali singkong goreng buatan mbok Siti."

"Ndah, apakah aku sombong?" tiba-tiba Gladys mengajukan pertanyaan yang mengejutkan.

"Hmm.. maaf Endah nggak berani menjawab. Takut salah, kak." cicit Endah perlahan.

"Jujur saja, Ndah. Kakak nggak akan marah."

'Beneran? Janji ya kalau kak Gladys nggak marah kalau mendengar jawaban Endah." Gladys mengangguk meyakinan.

"Menurut saya, ada saat-saat kakak tuh sombong. Kata mbok Siti, ibu-ibu komplek bilang kak Gladys tuh sombong karena nggak pernah senyum atau menegur mereka. Tapi itu nggak selalu kok. Buktinya kakak selalu baik sama semua pekerja di rumah maupun di butik. Kalau menurut Endah wajar-wajar aja sih anak orang kaya seperti kak Gladys memiliki sikap sedikit arogan. Mungkin itu karena sejak kecil, Kak Gladys diperlakukan layaknya seorang putri oleh keluarga Tuan dan Nyonya." Gladys mengangguk-angguk mendengar penjabaran Endah.

"Ndah, umur kamu sekarang berapa?"

"Insyaa Allah bulan depan 20 tahun, kak."

"Kamu pernah punya pacar?"

"Hmm dulu pernah kak. Pas masih SMP. Tapi ya cinta monyet gitu deh. Cuma setahun pacaran habis itu bubar."

"Pernah nggak kamu naksir cowok lalu ditolak?"

"Mana saya berani naksir cowok, kak. Dulu pacar saya pas SMP itu tetangga sebelah rumah. Bapak saya kan cuma buruh tani. Kami keluarga miskin. Saya bisa lulus SMA saja juga sudah bersyukur banget. Itu juga berkat kebaikan Nyonya Eyang yang mengajak saya ke kota."

"Aku masih ingat, waktu itu kamu baru lulus SMP ya. Masih cupu banget. Rambut kamu dikepang satu. Baju yang kamu pakai nggak banget deh."

"Iya kak. Saya benar-benar bersyukur bertemu dengan Nyonya Eyang saat beliau menengok sawah yang kebetulan digarap oleh bapak saya."

"Pas kamu masuk SMA saya baru mau berangkat ke Paris, ya?"

"Iya kak."

"Masa pas SMA kamu nggak pernah naksir cowok?"

"Pernah kak. Saya sempat naksir ketua Rohis, tapi saya nggak berani bilang. Malu kak. Saya kan cuma pelayan di rumah kak Gladys. Sementara dia anak Kepala Sekolah. Mana ada orang tua yang mau anaknya pacaran dengan orang yang lebih rendah level sosialnya."

"Eh, bukannya kemarin ada kurir di kantor papi yang sempat ngedeketin kamu?"

"Iya kak. Dia mendekati saya karena dikiranya saya keponakan jauh tuan papi. Begitu saya bilang kalau saya cuma pelayan pribadi kak Gladys, dia langsung menghilang nggak ada kabar."

"Bagaimana perasaan kamu saat itu?"

"Sakit, kak. Sedih banget . Padahal saat itu saya sudah berencana mau mengenalkan dia kepada keluarga saya di kampung." Gladys termanggu mendengar cerita Endah. Cerita yang hampir mirip dengan dirinya. Ditolak oleh seorang pria.

"Kak, kata mbok Parmi, kak Gladys mau dijodohin sama dokter Lukas ya?"

"Aku bingung Ndah."

"Bingung gimana kak? Kalau Endah jadi kakak, dijodohkan dengan cowok ganteng dan mapan seperti dokter Lukas pasti nggak akan menolak. Apalagi orang tua kedua belah pihak sudah setuju."

"Walaupun kamu tidak mencintai pria tersebut?"

"Tapi dokter Lukas kan sangat mencintai kak Gladys. Kelihatan banget dia sangat memuja kak Gladys."

"Ah, sok tau kamu. Memangnya kamu pernah ketemu dia?"

"Pernah. Waktu kakak ke Paris, dia kan pernah main ke rumah. Waktu itu dia masih mahasiswa kedokteran. Dia ke rumah untuk bertemu den Ghiffari. Dia sempat minta den Ghiffari mengijinkannya masuk ke kamar kak Gladys. Kebetulan waktu itu saya yang ditugaskan menemani dia melihat-lihat kamar kak Gladys."

"Kok kamu nggak cerita? Terus ngapain aja dia di kamarku?"

"Dia melihat semua foto kakak yang terpajang di kamar dan dia mencium salah satu foto kakak. Pas saya tanya kenapa cium foto kak Gladys. Dia bilang karena dia cinta banget sama kak Gladys dan akan menjadikan kakak sebagai istrinya kelak."

"An**r, aku kok malah merinding ya dengar cerita kamu. Kok kayak psikopat gitu." komentar Gladys sambil bergidik.

"Bukan psikopat kak. Tapi dia sangat mencintai kakak. Buktinya hingga usianya menjelang 30 tahun dia bertahan tidak menikah karena menunggu kak Gladys."

"Terserah deh apa kata kamu. Tapi buat aku dia itu terkesan misterius dan agak sedikit menakutkan. Agak-agak terobsesi kayaknya ya."

"Setelah Endah pikir-pikir iya juga sih, kak. Kemarin malam waktu dia mengantar kakak pulang, Endah perhatikan pandangan memuja berlebihan dari dokter Lukas."

"Ih, sok tau deh kamu. Belajar darimana masalah kayak gini?"

"Kebetulan Endah punya teman di IG yang sedang mengambil spesialis kejiwaan. Namanya Nick. Dia orang Jerman. Kami berkenalan secara nggak sengaja. Kebetulan guru kursus Endah punya adik ipar yang menikah dengan orang Jerman. Nah, Nick ini adik ipar dari adik ipar guru Endah. Aduuuh.. kok bingung ya menjelaskannya. Pokoknya gitu deh."

"Kamu ngobrol pakai bahasa Inggris?" Tanya Gladys tak percaya. Endah mengangguk.

"Guru kursus Endah, Miss Brenda, bilang, Endah harus berani ngobrol dengan orang asing supaya kemampuan bahasa Inggrisnya makin bagus."

"Wah hebat kamu. Kalau bahasa Inggris kamu sudah lancar, kamu boleh tuh kerja di butik. Kebetulan sekarang banyak pelanggan asing yang suka mampir ke butik. Pegawai di butik hanya Aku, Tatiana, dan Hasna yang lancar berbahasa Inggris."

"Beneran kak? Tapi itu artinya Endah nggak bisa menjadi pelayan kakak lagi."

"Memangnya kamu mau jadi pelayan terus menerus?" Endah terdiam. "Kakak nggak mau kamu menjadi pelayan seumur hidupmu. Hari esok harus lebih baik dari hari ini. Suatu saat nanti aku akan menikah dan belum tentu aku bisa membawamu. Kamupun suatu saat nanti akan bertemu jodoh. Bila kamu bekerja di butik, orang tak kan lagi memandang rendah dirimu."

"Apakah menurut kak Gladys, apa aku bisa bekerja di butik? Aku cuma lulusan SMA."

"Walau kamu cuma lulusan SMA tapi kamu pintar bahasa inggris dan komputer. Itu sudah nilai plus buat kamu. Belajar sedikit lagi kamu pasti bisa bekerja di kantor bang Gibran." puji Gladys.

"Terima kasih kak atas kesempatan ikut bekerja di keluarga Hadinoto - Van Schuman. Kalian semua baik sama aku dan adik-adikku. Sampai kapanpun aku nggak akan melupakan kebaikan keluarga kalian, terutama kebaikan kak Gladys. Maaf kalau selama ini Endah lancang menganggap kak Gladys sebagai kakak." Gladys memeluk erat Endah pelayan pribadi yang sudah seperti adiknya sendiri.

"Aku juga sangat berterima kasih padamu karena sanggup bersabar menghadapi sikapku yang menyebalkan ini. Benar kan aku menyebalkan?"

"Sedikit." Mereka tertawa sambil menikmati sarapan pagi lontong sayur.

"Ndah, lontong sayurnya enak banget nih. Wah, bahaya nih buat dietku." puji Gladys sambil menikmati sarapannya.

"Kapan-kapan kita nyobain nasi uduk yang di depan komplek, kak. Itu nasi uduk langganan bang Gibran dan nyonya mami."

"Siipp..👍👍"

⭐⭐⭐⭐

"Kak, itu mobil siapa?" tanya Endah sambil menunjuk mobil sport berwarna kuning menyala yang terparkir di halaman rumah.

"Nggak tau. Temannya bang Gibran atau Papi mungkin," jawab Gladys tak peduli.

"Selamat pagi sayang," sebuah suara maskulin menyapa telinga Gladys saat mereka memasuki ruang makan. Betapa terkejutnya Gladys saat dilihatnya Lukas duduk manis di ruang makan sambil menikmati sarapan bersama mami dan papi.

"Pa-pagi. Ngapain kamu pagi-pagi kesini?" tanya Gladys. "Bukannya kamu ada jadwal operasi pagi ini?"

"Dibatalkan karena pasiennya keburu meninggal," jawab Lukas santai. "Syukurlah aku jadi bisa ketemu kamu pagi ini."

"Sayang, masa nggak cium tangan sama calon suamimu? Dia sudah hampir satu jam lho menunggu kamu." tegur Cecile.

"Dih, kan belum jadi suami. Ngapain juga Adis mencium tangan mas Lukas. Belum tentu juga kita bakal menikah."

"Adek, jangan begitu ah ngomongnya." tegur Praditho. "Kamu dari mana? Kok tumben lama banget joggingnya."

"Tadi adek makan lontong sayur yang di dekat taman situ. Adek baru nyobain yang namanya lontong sayur. Ternyata enak ya Pi." Gladys duduk di kursi yang berada di samping Praditho.

"Lho, kok kamu malah sarapan duluan. Aku kan mau ajak calon istriku sarapan di resto yang berada di hotel Vermont."

"Lah, kamu aja malah numpang sarapan disini. Kamu datang kesini pagi-pagi beneran mau ajak aku sarapan atau cari sarapan gratis?" sarkas Gladys.

"Itu karena kamu kelamaan joggingnya, sayang." sahut Lukas tetap menampilkan sikap dan senyum sempurnanya.

"Waah, bakal ada yang nikah dalam waktu dekat nih," goda Gibran yang baru saja masuk ke ruang makan. "Kapan datang bro? Eh, atau gue panggilnya adik ipar ya?"

"Abang apa-apaan sih? Nggak lucu tau!!"

"Abang kamu kan nggak lagi melawak, sayang. Memang benar kan nggak lama lagi kita akan menikah." tegur Lukas.

"Wah, manggilnya sudah pake sayang-sayangan nih. Jangan-jangan minggu depan manggilnya sudah ayah bunda. Kayak pacaran anak-anak jaman sekarang." kembali Gibran menggoda Gladys.

"Abaaang!!" Gladys sudah bangkit hendak mengejar Gibran, namun tangannya ditahan oleh Praditho.

"Dek, duduk. Malu sama nak Lukas."

"Abang tuh nyebelin banget!" omel Gladys. "Heran punya abang kok gitu banget nyebelinnya."

"Dek, jaim dikit dong depan calob suami," sekali lagi Gibran menggoda Gladys.

"Bang, jangan godain adek!" tegur Praditho sedikit keras. Gibran yang sudah membuka mulut untuk meledek adiknya langsung menutup mulutnya.

"Nak Lukas, maaf ya. Gibran dan Gladys memang dari dulu selalu begini. Kayak anak kecil. Beda dengan Ghiffari."

"Nggak papa tante. Nanti kalau sudah jadi istri saya pasti nggak begini lagi. Saya akan ajarkan dia untuk bersikap lebih dewasa. Iya kan sayang?" ucap Lukas sambil mengedipkan sebelah matanya kepada Gladys.

"Kok masih panggil tante. Kan kamu sudah mau jadi menantu kami. Panggilnya mami saja. Biar sama kayak Gladys. Jangan sungkan-sungkan ya calon mantu."

"Baik mami." jawab Lukas sambil tersenyum yang entah mengapa malah membuat Gladys merinding melihatnya.

⭐⭐⭐⭐


Load failed, please RETRY

Wöchentlicher Energiestatus

Rank -- Power- Rangliste
Stone -- Power- Stein

Stapelfreischaltung von Kapiteln

Inhaltsverzeichnis

Anzeigeoptionen

Hintergrund

Schriftart

Größe

Kapitel-Kommentare

Schreiben Sie eine Rezension Lese-Status: C42
Fehler beim Posten. Bitte versuchen Sie es erneut
  • Qualität des Schreibens
  • Veröffentlichungsstabilität
  • Geschichtenentwicklung
  • Charakter-Design
  • Welthintergrund

Die Gesamtpunktzahl 0.0

Rezension erfolgreich gepostet! Lesen Sie mehr Rezensionen
Stimmen Sie mit Powerstein ab
Rank NR.-- Macht-Rangliste
Stone -- Power-Stein
Unangemessene Inhalte melden
error Tipp

Missbrauch melden

Kommentare zu Absätzen

Einloggen