Happy Reading❤
Jangan lupa vote dan komennya ya😘
⭐⭐⭐⭐
"Dys, tadi sebelum berangkat papi nyuruh kamu mampir ke kantor. Kata papi ada produk baru yang mau launching." Cecile memberitahu Gladys yang sedang sarapan. "Mami perhatiin beberapa hari ini kamu benar-benar nggak makan karbo ya? Kamu lagi diet? Buat apa dek? Badan kamu tambah kurus lho."
"Kata siapa adek kurus. Badan adek mungkin keliatannya kurus tapi sebenarnya berat. Makanya adek lagi berusaha mengurangi berat badan, Mi."
"Astaga adek, kalau terlalu kurus juga nggak bagus sayang. Kamu keliatan tua jadinya."
"Masa sih, Mi? Endah, mana cermin aku?" Tanya Gladys pada Endah yang sedari tadi setia duduk di kursi tak jauh darinya. Siap menerima perintah dari majikannya. Dengan sigap Endah memberikan cermin yang diminta Gladys.
"Ah, mami ngada-ngada nih. Wajah adek nggak jadi tua kok. Mami jangan nakut-nakutin adek dong."
"Maksud Mami, kamu itu nggak usah diet ketat deh. Badan kamu sudah cukup proporsional kok tanpa perlu diet. Apalagi kamu sama sekali nggak makan karbo. Mami khawatir kamu jatuh sakit. Kamu itu kan ada sakit maag, sayang."
"Tenang aja, Mi. Adek kan tetap rutin makan cuma nggak makan karbo aja. Lagipula kata om Tobias gak papa kok ngurangin makan karbo. Sekalian mencegah diabetes." Sahur Gladys keras kepala.
"Tobias kan bilangnya mengurangi karbo bukan nggak makan karbo sama sekali, Dek. Ah, terserah adek aja deh. Mami jadi pusing." Cecile melangkah meninggalkan Gladys yang masih asyik menikmati sarapannya.
⭐⭐⭐⭐
"Nyu, tadi ibu ditelpon sama ayahmu. Dia minta kamu datang ke rumahnya."
"Buat apa? Banyu nggak mau menginjak rumah itu lagi, bu." Jawab Banyu sambil menyiapkan tas kuliahnya. "Bu, ini Banyu ada sedikit kelebihan rejeki. Ibu pegang aja ya, buat kebutuhan ibu dan adik-adik."
"Nyu, biar bagaimanapun dia itu ayahmu. Ada bekas istri, tapi nggak ada yang namanya bekas anak." Aminah mencoba membujuk Banyu. "Mungkin ayahmu kangen. Kemarin dia bilang ke ibu kalau bulan lalu ibu tirimu sakit."
"Please bu, perempuan itu bukan ibu tiri Banyu. Sampai kapanpun Banyu nggak akan mengakui dia sebagai istri lelaki itu. Bahkan Banyu nggak mau mengakui lelaki ba****an itu sebagai orang tua Banyu."
"Nyu, jangan begitu. Ibu saja bisa memaafkan dia, kenapa kamu nggak? Jangan pernah memutus silaturahmi dengan ayahmu. Kamu sudah dewasa, kamu juga tau agama kita melarang hal tersebut."
"Agama kita juga melarang perzinahan kan, Bu? Banyu bingung sama ibu. Sudah jelas lelaki itu mengkhianati dan menyakiti bukan hanya perasaan tapi juga fisik ibu. Banyu nggak buta, Bu. Banyu tau kalau lelaki itu suka memukuli ibu." Ucap Banyu penuh emosi sambil memeluk tubuh mungil Aminah. "Maafkan Banyu yang saat itu nggak bisa melindungi ibu."
Aminah memandang anak sulungnya dengan perasaan sayang sekaligus miris karena sampai saat ini Banyu masih belum bisa memaafkan ayahnya. Aminah membalas pelukan Banyu.
"Jangan suka menyimpan dendam, Nyu. Allah saja maha pemaaf, masa kita yang manusia biasa dengan angkuhnya menolak memaafkan orang lain."
"Tidak untuk saat ini, Bu. Sudah ah, Banyu berangkat dulu. Doain ya bu, semoga skripsi Banyu di acc oleh dosen. Kalau sudah di ACC Banyu bisa sidang dalam waktu dekat. Banyu sudah nggak sabar melepas status mahasiswa. Malu sama teman-teman yang usianya jauh di bawah Banyu."
"Iya Nyu. Ibu selalu mendoakan kalian, terutama kamu Nyu. Ibu juga pengen kamu cepat-cepat lulus dan bisa bekerja di kantor. Bukan sebagai tukang sayur lagi."
"Ibu malu punya anak tukang sayur?" Banyu balik bertanya.
"Bukan itu alasannya, Nyu. Ibu pengen kamu bisa cepat menikah. Kalau kamu terus menjadi tukang sayur, ibu khawatir akan dipandang rendah oleh calon mertuamu nantinya."
"Ya ampun ibu mikirnya kejauhan. Banyu nggak mau buru-buru berumah tangga. Banyu mau urus ibu dan adik-adik dulu."
"Jangan bilang begitu, Nyu. Ibu nggak mau kamu mengorbankan masa depan kamu. Ibu nggak mau membebani kamu.
"Ibu dan adik-adik bukan beban kok. Itu memang tanggung jawab Banyu, Bu, sebagai anak sulung. Ibu tenang saja. Kalau memang sudah waktunya Banyu pasti akan menikah."
"Jangan kelamaan, Nyu."
"Ibu pengen punya cucu ya?"
"Itu salah satu alasan ibu minta kamu cepat menikah. Kamu ingat tante Tini, sepupu ayahmu? Kemarin ibu ketemu dia di depan bank. Dia cerita sama ibu kalau Tendry, anaknya yang seumuran kamu, sudah punya anak."
"Tendry yang dulu suka main ke rumah kita bawa ceweknya, Bu?"
"Iya, kamu ingat dia kan? Kalau nggak salah dulu kalian satu sekolah pas SMP."
"Ingatlah, Bu. Dia kan sampai sekarang masih suka hubungi Banyu buat kasih kerjaan. Ibu nggak usah ngiri sama tante Tini. Tendry itu bisa punya anak duluan karena dia menghamili pacarnya. Gara-gara itu makanya waktu Tendry menikah nggak mengundang siapa-siapa."
"Kamu tau dari mana? Jangan su'udzon dan hati-hati bicara. Khawatir nanti malah jadi fitnah."
"Tendry sendiri yang cerita ke Banyu, Bu. Jadi ini fakta bukan fitnah. Sudah ah, Bu. Keenakan ngobrol, nanti Banyu telat sampai kampus."
"Hati-hati di jalan, Nyu. Nggak usah ngebut bawa motornya. Ingat, ibu masih nunggu cucu dari kamu," ledek Aminah.
"Nanti beli cucunya di pasar aja ya, Bu." Balas Banyu. "Atau ibu mau dapat cucu kayak tante Tini?"
"Iih.. amit-amit deh. Jangan sampai kejadian kayak gitu, Nyu."
"Banyu berangkat dulu ya, Bu." Banyu berpamitan pada Aminah, tak lupa mencium tangan ibunya. "Assalaamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalaam. Hati-hati ya, Nyu."
⭐⭐⭐⭐
"Bang, gue sudah sampai di depan kantor nih" Banyu memberitahu Ghiffari melalui hpnya.
"Langsung aja naik ke lantai 5, Nyu. Bilang saja elo sudah ada janji sama gue." Sahut Ghiffari.
"Bang, adek pulang duluan ya. Lapar nih. Nungguin abang, keburu kumat deh maag adek."
"Makanya nggak usah gaya-gayaan diet. Biasa makan banyak tiba-tiba diet. Aneh kamu tuh. Tadi Mami telpon abang. Mami pesan supaya abang memastikan kamu nggak skip makan siang. Tunggu sebentar lagi Khansa juga datang. Dia ngajak abang nyobain resto baru milik ambu."
"Iya, kemarin dia juga ngajakin adek kesana. Tapi kemarin itu kan adek puasa."
"Bayar puasa dek?" Tanya Ghiffari tanpa mengangkat wajahnya dari berkas yang ada di hadapannya.
"Iya, skalian diet."
"Kalau puasa niatnya yang benar, dek. Qadha puasa atau diet?" Tanya Ghiffari sekali lagi. Belum sempat Gladys menjawab, masuklah asisten pribadi Ghiffari diikuti oleh seorang pria.
"Bang, ini mas Banyunya sudah datang," lapor Edo. "Oh iya bang, ada pak Wira menunggu di ruang meeting. Beliau kebetulan lewat, sekalian mampir untuk membahas acara anniversary pernikahan beliau, yang rencananya akan dilaksanakan bulan depan."
"Wah dadakan banget. Kebetulan aku mau makan siang sama Khansa dan Gladys."
"Katanya cuma sebentar, Bang."
"Okelah. Nyu, elo dan Gladys tunggu sebentar ya disini. Sebentar lagi Khansa datang. Setelah gue selesai kita makan siang dulu, habis itu kita bahas pekerjaan."
"Bang, gue pamit aja deh. Nanti gue balik lagi kalau elo sudah selesai makan siang. Gue tunggu di masjid seberang sana aja."
"Elo kan sudah sampai disini. Sekalian ajalah makan siang bareng kita."
"Gue nggak mau ganggu acara keluarga lo, Bang." Tolak Banyu sambil melirik Gladys yang sedang asyik dengan hpnya.
"Nggak boleh nolak rejeki, Nyu. Sudahlah, elo kayak baru kenal sama gue. Nanti sambil makan gue ceritain sekilas proyek yang waktu itu. Gimana?" Desak Ghiffari. "Kalau lihat tampilan lo, pasti habis dari kampus. Gue yakin elo belum makan siang."
"Iya bang, gue habis ketemu dosen pembimbing. Beneran gak papa nih gue gabung sama kalian?"
"Nggak papa kan dek kalau Banyu gabung sama kita?" Tanya Ghiffari pada Gladys yang masih terus asyik dengan hpnya. Gladys hanya mengangkat bahu tak peduli.
"Gue tinggal sebentar ya. Do, bilang ke pantry untuk bikinin minum buat Banyu dan juga pak Wira." Perintah Ghiffari pada Edo.
Sepeninggal Ghiffari dan Edo, suasana terasa canggung di antara mereka berdua. Sejak kejadian waktu itu mereka memang belum pernah bertemu lagi. Banyu menaruh tas kuliahnya dan duduk di sofa yang berseberangan dengan sofa yang diduduki Gladys. Setelah beberapa menit terdiam Banyu mencoba mencairkan suasana dengan menanyakan kabar Gladys.
"Gimana kakinya? Masih sakit?" Yang ditanya tak menjawab. Hanya melirik sekilas lalu melengos. Banyu tersenyum tipis melihat reaksi Gladys. Tak lama seorang staf mengantarkan minuman untuk Banyu.
"Terima kasih ya, mbak." Banyu mengucapkan terima kasih pada staf tersebut seraya tak lupa memberikan senyum ramah. Sesaat staf tersebut terpana oleh senyuman Banyu.
"Ehem.. Ehem.. Hesti, kalau sudah selesai kamu boleh keluar." Tegur Gladys ketus. "Pekerjaan kamu masih banyak, bukan cuma bengong disini."
"Eh iya mbak. Ma.. maaf." Staf bernama Hesti itu bergegas keluar ruangan.
"Aku kok gak yakin kamu anak kandung om Pradhito dan tante Cecile," celetuk Banyu setelah menyesap minumannya.
"APA LO BILANG?!" sergah Gladys. "JANGAN SEMBARANGAN NGOMONG YA. SIAPA ELO SEENAKNYA NGOMONG KAYAK GITU?!"
"Kalau mau kenalan sama aku bilang aja. Nggak usah pake marah-marah begitu. Kenalin aku Banyu, anak bu Aminah. Aku teman sekolah Gibran." Banyu mengulurkan tangannya sambil tersenyum menggoda. Ia tahu bukan itu yang dimaksud oleh Gladys. Tapi setiap bertemu dengan gadis ini pasti berakhir dengan perdebatan. Dan entah kenapa ia senang melihat Gladys sewot seperti saat ini.
"Nggak usah kepedean lo. Siapa juga yang mau kenalan sama tukang kue kayak elo. Nggak level!" Balas Gladys ketus.
"Lho, tadi kamu kan yang nanya siapa aku ini. Oh ya, hati-hati kalau ngomong."
"Hati-hati kenapa?" Gladys balik bertanya tak mengerti
"Batasan antara benci dan cinta tuh tipis banget. Banyak kasus, saking bencinya eh tau-tau malah jatuh cinta." Goda Banyu.
"Gilaaa.. pede banget lo! Cih.. siapa juga yang mau jatuh cinta sama tukang kue kayak elo. Najis!!"
"Eh, aku nggak bilang nanti kamu jatuh cinta sama aku lho. Tapi kalau lihat kamu kayaknya benci banget sama aku bukan nggak mungkin malah kamu nanti jadi cinta banget sama aku."
"Astagaaaa..."
"Assalaamu'alaykum ...." Masuklah Khansa bersama Ghiffari.
"Sa, lama amat sih lo!" Omel Gladys.
"Sorry tadi pas keluar lift gue ketemu sama bang Ghif, terus ngobrol sama pak Wira yang ternyata relasi bokap gue." Khansa cengar-cengir tanpa merasa bersalah. "Lagipula tadi bang Ghif bilang kalau elo ada yang nemenin. Makanya gue santai aja."
"Bang, gue pulang ya. Males gue makan bareng orang kepedean kayak dia." Tunjuk Gladys ke arah Banyu yang masih duduk santai sambil menikmati minumannya.
"Jangan dong, Dys. Elo kan sudah janji mau nyobain makanan di resto nyokap gue." Cegah Khansa. "Kemarin elo sudah batal kesana. Masa sekarang batal lagi. Ayolah kan ada gue dan bang Ghif."
"Sebagai seorang muslim, kalau sudah berjanji nggak boleh diingkari. Merpati aja nggak pernah ingkar janji." Celetuk Banyu. "Bang, gue aja yang balik. Kasian kalau tuan putri nggak jadi makan gara-gara tukang kue kayak gue."
"Kalian berdua nih apaan sih? Kayak anak kecil aja pake ngambek segala." Cegah Ghiffari. "Ayolah dek, cuma makan siang aja kok. Habis itu abang janji ajak kamu beli Gelato kesukaan kamu."
"Kalau bukan karena abang dan elo, Sa, malas banget gue liat muka nih orang." Ucap Gladys ketus. Banyu hanya tersenyum mendengar ucapan Gladys.
⭐⭐⭐⭐