"Saya butuh kamu." Elanda berbisik lagi di telinga Lita. Namun Lita berusaha melepaskan diri dari Elanda.
"Kenapa? Kamu pikir saya disfungsi seksualkan? Kamu enggak mau cari tahu jawaban pertanyaan kamu tentang keperkasaan saya?" Tanya Elanda seraya menghirup wangi rambut Lita, sisa makeup mahal Dirga masih tertinggal di sana dan itu membuat Lita terlihat cantik meskipun beberapa riasan sudah luntur.
"Pak, kita enggak boleh-" Lita berusaha menahan desah saat Elanda terus mengecup hingga cekung tulang lehernya.
"Kenapa enggak boleh? Kamu harus tanggung jawabkan?" Elanda kembali mengecup lehernya, semakin turun ke arah dadanya. Lita meringis, ia tak bisa menahannya, perlahan tekanan panas mulai terasa merayap di antara kedua kakinya.
"Pak sadar! Eling Pak! Kita enggak boleh-"
"Kenapa kamu mau bunuh tunangan kamu?"
Lita tercekat mendengar pertanyaan itu lalu teringat dengan suara menjijikkan Harry dan ibunya di toilet restoran tadi. Haruskah ia menceritakan masalah ini pada Pak Elanda?
"Katanya Ibu saya lebih bisa memuaskan dia, dari pada saya. Pas saya ke toilet buat cek makeup saya, saya dengar suara mereka." Lita bercerita tanpa melihat Elanda. Elanda terlihat diam sejenak, Lita pasti berusaha menahan sakit hati dan menyembunyikan perasaan kecewanya.
"Oh ya? Mungkin, saya juga bisa berpikir kayak gitu." Elanda memutar bola matanya terlihat berpikir.
"Jadi menurut Bapak juga, saya kurang menarik? Lebih menarik Ibu saya, gitu? Oh ... Bapak mau juga pacaran sama Ibu saya? Biar saya jodohin sekalian." sindir Lita kesal, namun kekesalan itu malah membuat Lita melupakan tangisnya.
"Ya terkadang pria suka wanita berpengalaman," Elanda kembali merendahkan wajahnya. "Nah, kamu berpengalaman tidak?"
Lita memutar bola matanya malas, "Bapak kalau turn on gara-gara obat yang enggak sengaja saya kasih, mending cari cewek lain, ya Pak. BO, misal." Lita berusaha menepis tangan Elanda namun Elanda menahannya dengan kuat.
"Pantas tunangan kamu malah tertarik sama Ibu kamu."
Lita menatap Sang Bos dengan tatapan tajam, namun akhirnya kedua netranya malah terpaku pada sosok tampan Pak Elanda. Rambut hitam kecoklatan yang terjatuh menutupi sedikit wajahnya, tulang rahangnya yang tegas, serta hidung mancung yang tinggi lalu manik gelapnya menyedot seluruh atensi Lita, hingga membuat Lita tak bisa mengedipkan netranya.
Ah Gusti ... Lita tahu bahwa Bosnya ini memang tampan. Tapi ia tak tahu jika dalam jarak sedekat ini selain tampan, Bosnya ini begitu mempesona dan terlihat sangat menggoda.
"Pak tadi kita udah bahas soal privasi ya,"
Lita berusaha mengingatkan Elanda dan dirinya sendiri. Tidak, ia tidak boleh terpesona pada Bosnya yang galak dan menyebalkan ini seberapa tampan pun bosnya itu. Ia tidak mau membuat skandal dan menjadikan Bosnya ini sebagai pelampiasan sakit hati karena perselingkuhan Harry. Ia akan menemukan cara balas dendam yang luar biasa untuk mantan tunangannya itu.
"Kamu sakit hati kan? Saya tahu kamu mau nangis tapi kamu tahan-tahan terus. Dengar ya Lita, siapa pun, akan sakit hati melihat orang yang mereka cintai berselingkuh apalagi selingkuhnya dengan orang terdekat." Elanda menggantung katanya untuk menarik napas.
"Tapi itulah cara Tuhan memberi tahu kamu, bahwa tunangan kamu itu adalah pria yang tidak pantas untuk kamu. Coba bayangkan kalau kamu melanjutkan tunangan ini dan ternyata mereka terus melakukan itu di belakang kamu?" Elanda merubah posisinya yang semula mengukungi Lita, kini ia terduduk dengan menyenderkan punggungnya pada kepala ranjang di samping Lita.
Sementara Lita terdiam, tatapannya terkunci pada lampu temaram kamar Elanda. Matanya kembali terasa panas, benar apa yang di katakan Elanda. Ia mungkin malah harus berterima kasih pada Tuhan karena menunjukkan pengkhianatan Harry sebelum mereka menikah. Lita tak bisa membayangkan, bagaimana rumah tangga yang ia impikan sebagai sesuatu yang bahagia berubah menjadi bencana menyedihkan karena ia baru tahu perselingkuhan dua orang itu menikah.
"Kamu udah benar enggak menangisi orang, hanya orang kuat yang--Lho kamu nangis ternyata?" Elanda terkejut tatkala ia menoleh mendapati Lita yang mengusap air matanya dengan sebelah tangannya.
"Bapak jangan ngomong saya nangis dong! Saya malah jadi makin nangis ini." Lita berusaha mengusap air matanya yang semakin deras.
"Ya sudahlah. Kalau mau nangis, nangis-"
"Enggak mau Pak! Masa saya nangisin cowok brengsek, jelek, kaya gitu. Terus ini foundation, eyeshadow, lipstik jutaan dari Mas Dirga. Saya enggak mau makeup jutaan luntur gara-gara lelaki brengsek kaya gitu. Mana saya enggak sempat foto, Kan! Ih kesel! k
Kesel saya tuh, Pak." Lita kini terduduk seraya mengangkat wajahnya tinggi-tinggi. Dua tangannya mengipas-ngipas di sekitar wajahnya seakan berharap air mata itu mengering.
Elanda hanya bisa tersenyum melihat tingkah karyawannya itu. Lita tetaplah Lita dengan segala kekonyolannya. Ia jadi membayangkan jika Dirga melihat usaha Lita yang begitu menyukai karya Dirga hingga mati-matian berusaha mempertahankan sisa riasannya. seperti ini, Dirga pasti menyukai gadis ini. Elanda tercekat. Ia teringat kata-kata Dirga.
"Gue enggak suka sih, masak gue enggak kenal dia tapi gue harus puk-puk kepala dia karena dia nangis? Tapi ajaib sih, cara simpel kayak gitu bisa buat tuh cewek berhenti nangis. Anehnya gue juga ngerasain perasaan gimana gitu, pas lihat dia bisa senyum lagi. ya udah, gue lanjut puk-puk, deh."
Elanda terdiam, tiba-tiba ia teringat cerita Dirga saat harus menenangkan gadis yang menangis di suatu acara modeling. Karena mengingat itu, Elanda mendekatkan tubuhnya pada Lita lalu mengelus kepala gadis itu dan menepuknya halus.
Lita refleks mengangkat kepalanya melihat wajah Bosnya yang lebih tinggi darinya itu. Perasaan asing muncul, hatinya menghangat lalu berdesir saat melihat sekali lagi wajah yang dimiliki Bosnya ini, keindahan dari orang yang menjabat sebagai Bos dan sering memperlakukan karyawannya dengan menyebalkan, lalu kemudian terperangah tak percaya bahwa ini adalah orang yang sama dengan orang yang tadi sore membuatnya mengumpat, menangis, dan sakit hati.
"Kamu benar. Sayang air mata kamu, sia-sia juga cantiknya kamu buat dapetin orang brengsek kayak gitu."
Degup jantung Lita berdebar dan terus bertalu tidak karuan. Rasa panas terasa dengan cepat menyebar di wajahnya seperti baru saja ditumpahi air panas. Ah tidak, mungkinkah ini efek dari pil biru yang tadi ia minum bersama Pak Elanda? Kenapa desiran darah di dalam tubuhnya bergerak semakin cepat?
Tatapan Lita terjatuh pada bibir pria di hadapannya itu, begitu pun Elanda yang menatap gadis itu dengan tatapan sayu, bahkan entah sejak kapan tangan Elanda sudah berada di pipi Lita, mengelus pipi hingga bibir penuh Lita yang sedikit terbuka dengan gerakan berulang.
"Kamu cantik, Lita." bisik Elanda dengan suara serak.
"Bapak mau saya puji ganteng juga?" Tanya Lita terkekeh, diikuti Elanda. Gadis ini bahkan masih bisa bercanda?
"Efek obatnya masih ada, Pak?" Tanya Lita dengan suara lembut, begitu pun rona wajahnya. Ah, jadi Lita bisa bersuara seperti ini juga selain berisik dan panik?
"Kamu mau cek?" Tanya Elanda yang menarik dagu Lita mendekat ke arahnya. "Tapi kamu harus tanggung jawab sehabis cek."
Lita terkekeh pelan dalam pagutan Elanda lalu balas memagut bibir Elanda.
"Kata Bapak saya harus tanggung jawabkan?" Jawab Lita membuat Elanda tersenyum bersemangat. Elanda bahkan tak memberi kesempatan Lita untuk mengisi rongga parunya dengan oksigen. Ia kembali menyambar bibir Lita beringas.
Pagutan itu berubah menjadi pergulatan lidah yang panas, sementara kedua tangan masing-masing sibuk berlomba melucuti pakaian yang dikenakan orang di hadapannya tanpa melepaskan pagutannya.
Malam itu keduanya berakhir dengan saling memenuhi kebutuhan tubuh mereka masing-masing akan afeksi. Lita bahkan tak ingat bahwa beberapa jam lalu ia baru saja melihat hal menjijikkan Harry dan Ibunya, serta. Ia bisa mengobati patah hatinya untuk sesaat dengan melakukan hal yang sama.
Jadi, ini impas bukan?
"Terima kasih Pak, untuk hari ini. Bapak enggak usah khawatir, saya enggak akan singgung masalah ini sedikit pun, dan saya janji akan melupakan semua yang terjadi malam ini." Ujar Lita seraya menunjukkan lambang peace sign tepat di depan wajah Elanda. Elanda terdiam lalu terbahak hingga Lita yang semula berada di atas tubuhnya terpental ke sampingnya.
"Ya itu terserah kamu cerita atau enggak. Pertanyaannya, mungkinkah para karyawan percaya sama cerita kamu?" Tanya Elanda yang membuat Lita sebal.
"Iya Pak, saya tau saya mah apa atuh, cuma remahan rengginang." Lita merajuk.
"Saya suka kok remahan rengginang." Sahut Elanda cepat membuat wajah Lita merona panas. Apa-apaan maksudnya itu?
"Tapi bukan berarti saya suka kamu." Jawab Elanda dengan senyum yang membuat Lita sebal.
"Udah, cepat tidur. Besok kerja." Titah Elanda menarik selimut untuk Lita dan dirinya sendiri.
"Bapak ternyata perhatian ya. Perhatian kayak gini, enggak mungkin jomblo, kan?" Tanya Lita penasaran.
Lita menunggu jawaban Elanda namun, bukannya jawaban yang ia dapatkan malah terdengar dengkuran keras Elanda.