Lelaki dengan perawakan tinggi, setelan jas kantor rapi dengan rambut yang tertata dengan rapi berdiri di antara para karyawan wanita di kantin. Semuanya terlihat tampak terkejut, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"P—pak Sean?" ucap Amara dengan terbata. "Ada keperluan apa Tuan ke sini?"
Sean tidak menghiraukan, justru melipat tangannya di depan dada, matanya menyipit menatap Amara. "Bukankah seharusnya saya yang bertanya? Mengapa kalian semua berada di sini?"
"Maaf jika menyela, Tuan. Tapi karyawan baru ini yang berada di kantin saat jam kerja seperti ini, dan kami di sini untuk menasehatinya," jelas teman Amara yang berada di sebelahnya.
"Tapi saya tidak mendengar itu sebagai nasihat yang baik untuk sesame karyawan. Justru terdengar seperti penindasan terhadap karyawan baru. Benar begitu, Sarah?" Sean mengalihkan pandangannya pada Sarah yang kini hanya terdiam di tempatnya dengan wajah yang enggan mendongakkan wajahnya.
Pertanyaan itu akhirnya bisa membuat Sarah mengangkat wajahnya, pertama kali yang dilihatnya adalah Sean. Dia diam, tidak memberikan jawaban apa pun, takut-takut dia akan salah lagi dan membuatnya semakin mudah di bully oleh Amara dan teman-temannya.
"Hei, benar begitu, kan?" tanya Sean lagi. Dia masih belum puas jika Sarah tidak menjawabnya.
"Ti—tidak, Pak. Mbak Amara memang sedang menasehati saya, agar saya tidak melakukan kesalahan ini lagi untuk kedepannya."
Pernyataan dari Sarah membuat Sean mengernyit. Ingin mendesak Sarah pun sepertinya tidak perlu, mungkin hanya ada kesalahpahaman di sini. "Baiklah kalau begitu, kalian semua bisa kembali ke ruangan masing-masing," perintahnya, membuat para karwayan itu hendak melangkah pergi, hingga suara Sean kembali menahan langkahnya. "Kecuali Sarah."
What? Sarah tidak salah dengar, kan?
Sarah menggigit bibirnya gusar, di hari pertama kerjanya, dia kira terlibat masalah dengan Amara adalah awal dari masalah utamanya di sini, tetapi tidak. Kini Sarah akan terlibat juga dengan Sean, CEO dari Perusahaan tempatnya bekerja. Dan dia hanya bisa mengela napas lelah ketika semua Amara dan teman-temannya melangkah pergi meninggalkan Sean dan Sarah berdua, tidak lupa juga dengan bisikan-bisikan gossip sebelum pergi yang akan menjadi masalah berikutnya di sini.
"Ada apa ya, Pak?" Sarah memulai percakapan, dia tidak ingin berlama-lama, sebab saat berhadapan dengan Sean, jantungnya berdetak hanya saat Sarah menghirup aroma mint yang berasal dari tubuh lelaki itu.
"Sekarang hanya ada kita berdua di sini, jadi … mau jujur atau tetap akan menutupi semuanya?"
Sarah mengernyit bingung, apa maksud dari perkataannya barusan?
"Hm?" Sean tampak masih menunggu jawaban.
"Maksudnya … gimana ya, Pak?"
Wajah bingung Sarah mengundang tawa Sean, membuat mata lelaki itu menyipit. Sarah ikut tersenyum saat melihat senyuman manis dari wajah atasannya, ini memang tidak sopan, tapi Sarah menyukai senyumnya itu.
Keduanya saling tatap sebentar, sebelum Sarah lebih dulu mengakhirinya. "Lupakan saja yang tadi. Ngomong-ngomong kenapa kamu berada di kantin? Kamu lapar?" tanya Sean yang sedari tadi penasaran.
"Tidak, Pak. Saya hanya istirahat sebentar," jawab Sarah.
Sean merasa agak terganggu dengan Sarah yang terus menggerakkan kakinya. Dia menelusuri tiap inci tubuh wanita itu, apakah kehadirannya membuatnya tidak nyaman? "Ada apa?"
"Hah?"
"Kamu terlihat sedang tidak nyaman."
Sarah berpikir sejenak sebelum memberikan jawabannya. Dia menatap ke arah bawah, ke kakinya yang sedari tadi bergerak. Ya, sepatunya yang sempit sangat membuat kakinya tidak nyaman. "Oh … ini, Pak. Eh, tidak…"
Sean diam, masih membiarkan sarah melanjutkan ucapannya.
"Maaf jika terlihat mengganggu, saya sepertinya harus pergi ke toilet dulu, Pak. Kaki saya mulai merasa sakit dan membuat saya tidak nyaman," ucap Sarah seraya meringis kecil. Tanpa menunggu persetujuan dari lelaki itu, Sarah sudah melangkah dengan cepat meninggalkannya.
Sarah pikir, Sean tidak memedulikan sebegitunya. Tetapi ternyata lelaki itu justru melihat Sarah membuka sepatunya, melanjutkan langkahnya dengan kaki yang telanjang. Dan kejadian itu cukup membuat Sean terkekeh pelan.
****
Kini Sarah sudah berada di meja kerjanya. Kursi kerja di perusahaan ini terasa sangat empuk di bokongnya. Fasilitas di perusahaan ini pun sangat memadai dan mewah.
Saat sedang mengamati komputer serta meja kerja miliknya, setumpuk kertas dengan kasar diletakkan di atas mejanya. Disusul dengan masalah lagi.
"Kerjakan semua desain ini!" perintah Amara.
"Se—semua? Sekarang?"
"Tahun depan! Ya sekarang lah!" Sepertinya sejak bertemu dengan Sarah, hobi Amara menjadi marah-marah.
"Tapi kata Pak Budi, pekerjaan saya di mulai besok, bukan hari ini."
"Kamu itu benar-benar, ya! Tinggal kerjakan saja apa susahnya, sih?! Mentang-mentang kamu rekomendasi dari Pak Sean, bukan berarti kamu kerja seenaknya begitu! Saya ini senior kamu! Ingat itu!" teriak Amara geram.
Sarah sudah berusaha untuk menahan emosinya sejak pagi, tapi Amara terlihat tidak ingin mengakhiri ini cepat-cepat. Masalah di hari pertamanya kerja bahkan masih berlanjut, enggan untuk pergi.
"Dasar kamu tidak tahu malu! Anak pelakor tidak tahu diri!"
Sarah berdiri, tangannya terkepal. Sudah cukup Sarah menahan diri sejak tadi. Amara benar-benar mengangkat bendera perang ke arahnya. Jika sudah tertindas begini, Sarah tidak boleh diam saja, kan?
Amara balas menatap Sarah di hadapannya dengan tatapan tajam. Dia tidak pernah takut. Justru jika Sarah meledak juga seperti dirinya, itu akan menjadi masalah baru untuk Sarah, bisa-bisa perempuan itu di depak dari perusahaan ini sebelum bekerja.
"Tolong hentikan, Amara. Aku di sini untuk bekerja, bukan untuk bertengkar dengan kamu. Berhenti membuat kita di hadapkan dengan masalah," ujar Sarah masih sangat sopan, berharap Amara mengerti itu.
Tapi yang didapatkan Sarah justru sebuah decakan dari Amara. Dia tampak tidak menggubris ajakan damai dari Sarah. Dia masih tetap keras kepala. "Kamu kira aku bisa baik-baik saja saat Ibumu yang tidak tahu malu itu merusak kebahagiaan keluargaku? Dan sekarang kamu datang ke perusahaan ini, berlagak seperti seorang putri yang disayang atasannya? Jangan bermimpi!"
Sarah mengembuskan napas sebelum akhirnya kembali duduk. Tangannya terulur, mengambil lembar paling atas yang ada di meja. "Aku akan mengerjakan ini," ucapnya pada akhirnya. Dia tidak ingin masalah ini berlarut-larut.
Amara berdecak. "Ya! Memang seharusnya kamu mengerjakan itu semua! Dan mulai sekarang, kamu harus tahu posisimu di sini hanyalah anak baru, dan aku di sini adalah seniormu! Kamu harus mengingatnya baik-baik, Sarah."
Sarah berusaha mengabaikannya. Matanya terpejam, membiarkan emosinya yang tertahan hilang, terbang dibawa angin. Dia kembali fokus pada lembaran kertas yang berada di tangannya, tentang konsep desain yang harus dia kerjakan.
"Selesaikan semuanya hari ini sebelum jam pulang kantor," ucap Amara lalu kembali duduk ke meja kerjanya sendiri.
Dan Sarah hanya bisa menggeleng pasrah.